Metros Prihatin

Metros Prihatin tinggal di Purbalingga. Sebagai guru di MI Al Islam Majasem, Kemangkon, Purbalingga....

Selengkapnya
Navigasi Web

Bukan Anak Putih Abu-abu Lagi

Bukan Anak Putih Abu‐abu Lagi

Namaku Meta. Aku memiliki tiga adik perempuan yangselalu memberikanku energi kebahagian setiap hari.Oleh karena itu, orang tuaku menjulukiku gadis kecilyang lincah dan ceria. Ya, walau aku tak selalu ceria setiaphari. Namun, di dalam keceriaan yang kerap kuhadirkan, akuberjanji akan membahagiakan mereka.Siang yang cukup panas. Sebuah sekolah swasta yangterletak di kawasan alun‐alun selatan Kota Purbalingga berdiri. Sekolah swasta yang cukup menjadi favorit ini berdirigagah di antara bangunan‐bangunan penting di Purbalingga,salah satunya gedung para narapidana berada.Singkat cerita, kotaku dijuluki Kota Mendoan, sebuah nama makanan yang terbuat dari tempe yang digorengberselimut tepung terigu dan tepung beras putih yangdigoreng dalam api panas, digoreng sebentar, dan santap.Selain julukan Kota Mendoan, kotaku ini juga dikenal sebagaitempat kelahiran sang Panglima Besar Jenderal Soedirman.Tepatnya di desa Bantarbarang, sang Panglima memulaihidup di sana.Kepadatan lalu lintas di kawasan alun‐alun selatan Kota Purbalingga, membuat kami, para siswa sudah terbiasamenangkap suara awak angkutan kota yang menawarkanjasanya. Bahkan dari atas lantai dua sekolah, kami bisamelihat aktivitas para napi. Para napi yang sedang melakukansenam pagi untuk menjaga kesehatan badannya atau agenda‘senam rohani’ untuk mendapatkan siraman rohani daripetugas penyuluh agama. Dari lantai dua di sekolah, kami juga kerap kali melihat para napi mendapat hukuman akibat pelanggaran kedisiplinan yang mereka lakukan, para napibertengkar, dan berbagai adegan seru lainnya.

Tiga tahun mengarungi bahtera masa SMA, beribu sukaduka masa SMA tentu meninggalkan berbagai perasaancampur aduk. Seperti perasaan kehilangan teman‐temanyang sudah menemani selama tiga tahun, kebahagiaankarena telah berhasil melalui tantangan‐tantangan masa SMA, dan ketakutan akan masa depan. Ya, masa depan.“Met, bapak kamu sudah datang ke sekolah belum?”sapa Rosi sahabat terdekatku.Sambil menjawab dengan tatapan hampa, aku berujarsambil memperhatikan mulutnya yang tengah mengunyahpermen nano‐nano. Sepertinya mendung sedang mengelompok di raut wajahku yang oval, apa yang ada dipikiranku? Mungkin aku takut dengan hasil ujian atau kebingungan hendak ke mana setelah lulus SMA semakin tak bisa kukendalikan. Entahlah….”Met, kamu kenapa? Tumben hari ini kamu nggak seceria biasanya, Hmm apa kamu sedih ya, bakal ninggalin Wahyusetelah ini?” tanya Rosi.“Wahyu,” adik kelas yang mencuri perhatianku, laki‐lakiyang telah membuat nilai Fisikaku turun drastis.Suara mikrofon dari ruang tata usaha berbunyi, memberiinformasi bahwa sebentar lagi pengumuman ujian akan dilaksanakan dan dimohon kepada seluruh orang tua muriduntuk segera masuk ke kelas anaknya masing‐masing. Aku gusar, mataku memandang ke ujung pintu gerbangsekolah. Orang yang aku tunggu belum juga tiba.“Eh, lagi nunggu siapa di sini? Teman‐teman semua sudah merapat di samping kelas, kok kamu masih mematung disini?” tanya Fajar, salah satu temanku yang polos tapi cukup pintar di kelasnya. “Ayo bareng aku, kita minum es dawet dulu aja biar ngga galau,” lanjut Fajar.“Makasih Jar, kamu dah baik banget sama aku selama ini.Jar, aku lagi nunggu bapak,” kata Meta“Eh Meta, lihat tuh dia, siapa yang datang, dari ujung gerbang? Hayo…buka mata dong, jangan melamun saja,masih muda jangan melamun saja, apalagi mikirin utang jajan kantin, hahaha…” tawa Fajar memecah kebisuan hati yangkubangun dari tadi. Akhirnya bapak datang dengan langkah yang cepat karena bapak memang terbiasa dengan langkah cepat kalau berjalan. Kebiasaan bapak berjalan cepat bagiku seperti gaya jalan orang barat yang selalu cepat, yang menandakan bahwa dia orang yang penuh semangat menjalani hidupnya.“Om, apa kabar?” kembali suara Fajar menyapa bapak.“Baik Jar, kamu sendiri bagaimana?” jawab bapak.“Baik Om.Cuma ada sedikit sakit Om,” jelas Fajar.”Lho, kamu sedang sakit apa?“ tanya bapak.“Saya sedang sakit hati, Om, karena sebentar lagi akan berpisah dengan Meta,” jawab Fajar.“Waduh… kamu itu ada‐ada saja. Kan masih bisa ketemu.Masih satu kabupaten, kan? Bisa mampir ke rumah kalau pengin ketemu Meta, rumah Om terbuka lebar untuk kamu kok,” jawab bapak.“Makasih Om atas kebaikannya,” ucap Fajar.Di tengah bincang‐bincang ringan kami bertiga. Kembali suara pak Dodi guru geografi yang merangkap sebagai kepala bidang akademik memberi pengumuman agar semua orang tua murid untuk masuk ke ruang kelas anaknnya.”Jar, Om mesti masuk dulu ya, itu sudah ada pengumuman dari bidang akademik bahwa acara pengumuman kelulusan akan segera dimulai,” ucap bapakMeta.“Baiklah Om, silakan masuk ke ruangan. Tenang saja Om,Meta saya yang temani,” kata Fajar.“Saya masuk kelas dulu ya, Jar. Eittt… jangan dicubiti lho anak saya,” canda bapak Meta.“Jangan khawatir Om, semua aman!” jawab Fajar.Lagi‐lagi Fajar berujar dengan penuh keceriaan.Maklumlah Fajar itu memang cukup pintar di kelas kami. Kelas yang kata anak‐anak kelas kami sebagai kumpulannya anak‐anak pintar di SMA kami. Kebetulan aku dan Fajar satukelas di Jurusan ilmu‐ilmu Fisik kala itu.“Met, ayolah kita jadiin rencana tadi!” ajak Fajar.“Ngapain coba?” aku balik bertanya.“Waduh kamu kok pelupa banget, masih muda kok pelupa, masa kalah sama mbok Simpen yang selalu teringatsama anak‐anak yang suka ngutang mendoan di kantinnya.Ndawet kita, biar jadi kenangan di masa tua, Met. Es Dawet mbok Rasmidi jadi saksi perpisahan ini, haha...,” seloroh Meta.Lagi‐lagi Fajar tertawa renyah dan lepas sambil sesekali mengibas poni rambutnya yang mulai memanjang. Akhirnyaaku pun menerima ajakan Fajar, karena memang tenggorokkannya mulai mengering karena sejak tadi belumsempat minum apalagi jajan di kantin. Mereka berjalan menuju Depot Es Dawet yang waktu itu memang berada diluar sekolah kami, tepatnya di batas tembok sekolah kami.Es Dawet ini rasanya legendaris dan khas banget karenacendolnya terbuat dari tepung beras ramuan dari mbok Rasmidi sendiri. Gulanya pun asli tanpa tambahan gulalainnya, harganya pun terjangkau di kalangan pelajar di seputaran alun‐alun Purbalingga.Saat yang mendebarkan pun tiba. Pengumuman kelulusan sudah dibagikan kepada para orang tua murid. Satudemi satu orang tua murid sambil membawa amplop putih, ada yang senyum bangga, ada yang berekspresi sedih,bahkan ada yang datar‐datar saja.”Met, pengumunan sudah dibagi, ayo kita menuju kelasmenemui orang tua kita!” ajak Fajar.“Ayo Jar,” jawabku ringan.Sepanjang perjalanan menuju kelas hingar bingar suaradari anak‐anak kelas III mulai terdengar campur aduk.Beberapa siswa laki‐laki dan perempuan sudah siap dengan senjata andalan yang sepertinya siap ditembakkan ketikamusim ujian tiba. Ya, pilok itulah pilok… mana pilok, manapilok….Bapakku yang sudah paham betul gelagat anak‐anak SMA, seketika juga langsung pasang pagar betis menahan seranganpilok ke baju seragam anak perempuannya. Sesekali senyum manis dan wajah bersahabatnya ia lemparkan ke gerombolananak‐anak putih abu‐abu.“Ayo kita pulang, alhamdullilah. Ini sudah lulus. Mari Nak Fajar, kita pulang duluan ya! Sampai ketemu lagi kapan-kapan,”kata bapak Meta.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post