Miftahul Husna Nasution

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Refreshing Untuk Healing Destinasi Yogyakarta

        Tren “healing” kerap digunakan di kalangan muda mudi terkini, untuk mengungkapkan sesuatu yang menyenangkan melalui unggahan media sosial. Pengertian healing tersebut bisa bermacam-macam ada yang beranggapan liburan ke tempat wisata, ada yang healing dengan makan yang enak, shopping baju dan sebagainya. 

          Dilansir dari Kompas.com, mengungkapkan bahwa seorang psikolog klinis bernama Veronica Adesla berpendapat proses healing itu ternyata dapat dilakukan oleh diri sendiri salah satunya dengan berlibur. Nah disini aku akan menceritakan proses healing dengan cara berlibur. Perjalanan kami seharusnya terjadwal dua tahun yang lalu. Tetapi dunia mengalami sakit yang luar biasa parah sehingga tertunda. Akhirnya dua tahun kemudian perjalanan itu dimulai. 

        Sekitar pukul 15.20 kami sampai di Bandara Kulon Progo. Alunan gamelan menyapa kami di saat pengambilan bagasi. Ini kali kesekian berada di kota Yogya kota sejuta kenangan bagiku. Sekalipun aku beserta rombongan hanya satu malam berada di kota ini tidak mengurangi rasa rindu terhadap kota tersebut. Dari bandara menuju penginapan menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam. Tempat peristirahatan kami di balai latihan kegiatan. Tempat yang sangat sederhana, nyaman, dan bersih itu sudah cukup bagi kami. Setelah tiba waktu membersihkan diri dari penatnya hari selama di perjalanan dan mengisi tenaga di malam harinya. Tidak mungkin dong sesampai disana hanya berkurung di kamar saja. 

        Kami melanjutkan perjalanan di suasana malam hari kota Yogya, seputaran Malioboro, alun-alun dan tugu nol kilometer. Ternyata aku masih mengingat di setiap sudut kota tersebut. Mungkin karena seseorang perempuan kali ya ahli sejarah sehingga terekam dalam memorinya. Bahkan aku menceritakan sama teman yang kami menyebutkan satu KK (kartu keluarga) dikarenakan se frekuensi, pernah mempunyai pengalaman ditinggalkan kereta api dari stasiun Tugu (Yogyakarta) tiket yang lumayan mahal bagi seorang mahasiswa menuju Jakarta. 

        Di saat itu situasi macet luar biasa parah malam minggu pula lagi. Hingga kami mengejar sampai ke stasiun Lempuyangan dan Wates menggunakan mobil abang sepupu teman. Alhasil terlewatkan, terpaksa kami membeli tiket kembali. Tiket ekonomi AC itupun tidak langsung sampai ke Jakarta, malah pemberhentian di stasiun Kiara Condong seputaran Bandung. Untuk mencapai tujuan akhir harus berganti kereta tiga kali lagi. Itupun untuk masuk kereta tersebut beberapa tahun lalu masih terbuka pintunya tidak seperti sekarang semua kereta sudah tertutup tidak ada orang bergantungan di area pintu. Aku mengatakan seperti adegan-adegan film India yang berkejar naik kereta di ulurkan tangan lelaki dari depan pintu agar si perempuan tersebut bisa masuk dan tidak tertinggal. Hal yang tidak bisa dilupakan. Itu sejarah bagiku dan beberapa temanku. 

        Setelah kami keliling kota menggunakan becak seputaran Malioboro, dan alun alun seperti pada umumnya, harus mengabadikan moment dengan jepretan kamera handhphone agar ada bahan pengingat. Aku pernah mendengar apa yang disampaikan oleh seorang senior yang berada di kota tersebut. Kami memanggilnya Cak Ema dikarenakan dia seorang asal Madura, “saya seorang pelupa berat, salah satu metode saya agar penyakit pelupa saya itu tidak semakin parah aku ungkapkan melalui tulisan, mungkin itu salah satu terapi bagiku,” Dan itu berdampak bagiku apa yang disampaikan beliau. 

        Keesokan hari perjalanan selanjutnya SERSAN (serius tapi santai) kami ke sekolah-sekolah dan panti asuhan, serta wisata religi dan ditutup dengan Pantai Parangtritis. Aku mencoba meng contact adik organisasi yang telah aku anggap keluarga. Kebangetan namanya kalau tidak mengabari sekalipun tidak ketemu juga. Karena terbatasnya waktu, dan perjalanan masih panjang. Sistem perjalanan kami harus on time ala-ala militer. Di penginapan selanjutnya kami tinggal di rumah salah seorang teman pimpinan asal Sragen tersebut begitu juga kami mengunjungi kampung pimpinan rombongan. Pelajaran yang aku petik dari mereka selaku tuan rumah sangat terbuka menerima kami rombongan sekitar 30an orang menampung, ditambah lagi suasana pedesaan saat malam harinya diiringi lagu campursari. 

         Perjalanan seminggu di beberapa kota dan provinsi diakhiri di stasiun Solo Balapan. 

 

 

 

 

 

 

BIODATA PENULIS

Seorang perempuan 32 tahun yang lalu di Medan. Saat ini beraktivitas sebagai pendidik di sebuah SMP swasta di Kota Medan tepatnya SMP Muhammadiyah 1 Medan. No handphone dan WA Insya Allah selalu aktif 081362296049 dan alamat email [email protected]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah asyiknya yaa..bisa bernostalgia di kota kenangan. Seminggu bersama "keluarga besar" tentunya full kisah, bisa jadi berapa tulisan nih ?

18 Jun
Balas



search

New Post