Oleh: Mira Alnofrita

Di sebuah taman kota yang masih sedikit pengunjungnya, Hanna duduk ditemani mama papanya di bawah pohon pelindung yang sangat rimbun. Mereka menggelar tikar bermotif boneka teddy bear berwarna coklat. Angin sepoi-sepoi membelai siapa pun yang berada di sana sore itu. Papanya memainkan boneka yang digerak-gerakkan ke arah Hana. Melihat tingkah papanya yang lucu membuat Hanna tertawa geli. Mamanya, sedang merapikan tikar dan menggelar beberapa makanan yang tadi mereka bawa di keranjang rotan.

Tidak terlalu jauh dari sana, seorang anak perempuan sebaya Hanna berdiri memperhatikan tingkah Hanna. Anak perempuan itu memakai dress biru yang warnanya tampak pudar, rambutnya panjang dijalin menjadi satu, di ujungnya diikat dengan pita yang juga biru. Ada sebuah tas yang agak besar tak pernah lepas dari tangannya. Ukurannya besar, tapi tampaknya ringan, barangkali boneka.

Dia ikut tersenyum menyaksikan Hanna dan papanya yang gembira. Tapi, mama Hanna melihatnya dan berusaha memanggilnya untuk bergabung. Sambil melambaikan tangan kanannya, dia berseru, “Hei, anak manis, ayo kemari. Di sini ada roti dan es krim. Kamu pasti menyukainya!

Tiba-tiba Hanna berhenti melanjutkan permainan boneka dengan papanya. Matanya mengikuti arah lambaian tangan mamanya. Dia berseru, “Mama, jangan panggil dia ke sini. Ini es krim dan rotiku!” Hanna mendekat dan memeluk mamanya dan matanya berkaca-kaca.

“O, iya sayang, mama pikir kamu adalah anak baik yang peduli dengan teman?” Mama membalas pelukan Hanna dan membelai rambutnya.

“Bukan mama, aku adalah anak yang tidak peduli dengan teman. Dia bukan temanku. Jangan panggil dia ke sini.” Hanna menangis dan tidak mau melihat si baju biru.

Anak perempuan itu tampak bingung, dia berhenti tersenyum dan ikut sedih melihat Hanna menangis di pelukan mamanya.

(bersambung