M. Muttaqwiati

M. Muttaqwiati dengan M tak terdefinisi, demikian bapa ibu memberikan nama untuknya. Ia alumni jurusan Kimia IKIP Malang dan sekarang menjadi praktisi PAUD di r...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENGASAH KECERDASAN INTRA PERSONAL ANAK LEWAT OBROLAN

MENGASAH KECERDASAN INTRA PERSONAL ANAK LEWAT OBROLAN

MENGASAH KECERDASAN INTRA PERSONAL ANAK

LEWAT OBROLAN

M. Muttaqwiati

“Ummi, gimana kabar Ummi?” pertanyaan anak ke empatku kelas VIII mengawali pembicaraan kami lewat telepon.

“Lombanya gimana, Mi?” tanyanya lagi

“Kalah, Nak. Yang menang yang dimuat koran semua. Tulisan Ummi kan ada di majalah. Apa karena faktor itu atau memang tulisan ummi yang kalah keren, “ jawabku sambil ketawa.

“Ummi, emang enak ya ikut-ikut lomba begitu?” sebuah pertanyaan yang memerciki kepekaanku sebagai ibu. Hmm.. kesempatan untuk mengajaknya mengasah kemampuan mengenali diri sendiri. Anakku sangat tahu ibunya suka sekali dengan petualangan kompetisi. Beberapa tahun yang lalu menang juara 3 guru berprestasi tingkat provinsi yang hadiahnya bisa dioper menghadiahi anak kedua yang hapal 30 juz Al-Qur’an. Dilanjut masuk 10 besar dan 5 besar GTK berprestasi tingkat provinsi dan beberapa bulan yang lalu masuk final simposium nasional meski gagal berangkat ke Jakarta.

“Kompetisi itu enak sayang. Pertama membuat kita bersemangat dan selalu ingin belajar. Kan pengin menang. Kedua paham bahwa dalam perlombaan itu ada menang dan kalah. Menang dilaluinya dengan jujur dan kesungguhan tanpa kesombongan. Kalah membuat kita tahu bahwa ada orang lain yang lebih baik dari diri kita yang mesti kita akui tanpa harus minder. Bahkan banyak belajar dari para juara. Orang yang suka kompetisi, peluang untuk maju lebih besar, karena terus mengasah kemampuan diri. Kalau enggak kan seringnya, aku seperti ini saja sudah cukup, ah. Bener nggak?”

“Tapi mentalku suka kurang percaya diri tu Mi kalau mau ikut lomba-lomba.”

“Belajar berani sayang. Tenang saja, nggak usah takut kalah. Kalah itu biasa. Yang penting mencoba kemampuan diri dengan menandingkannya dengan orang lain. Semangat dan sportif, itu yang penting. Bismillah.” Aku menyemangati.

“Hapalanmu gimana, Nak?” tanyaku pindah tema.

“Belum tasmi’ juga Mi. Ustadznya nggak ada terus. Eh Ummi, tahu nggak, temanku yang dulu tahsin bareng aku, hapalannya cepet banget. Sekarang sudah dapat 13 juz. Katanya dia nggak ikut akselerasi tapi reguler saja. Tapi targetnya selesai 30 juz lho Mi. 10 hari 1 juz target dia. Pas tasmik Juz 2 ustadz kan nggak dateng-dateng, dia lanjut sendiri juz 3 sambil menunggu Ustadz. Pas aku cek mutqin Mi. Kuat banget hapalannya.”

“Masya Allah. Mas deket-deket tuh, sama anak-anak yang seperti itu.” Aku jadi ingat teori Montessory tentang otak penyerap. “Kamu perhatikan bagaimana cara dia belajar. Orang beda-beda sih gaya belajarnya. Cuma siapa tahu menginspirasi kamu bahwa ada hal yang tak terpikirkan olehmu tentang cara belajarnya dan ternyata cocok untuk kamu. Kalau cocok, pakai saja. Atau kadang dengan melihat orang lain, kita jadi tahu diri kita sendiri, wah kalau aku terapkan yang beda dengan dia, yang model begini, akan efektif nih buat aku.”

“Iya Mi. Eh, Mi, aku kan pas kemaren-kemaren tasmi’ku ulang terus. Aku perhatikan, aku terlalu mengejar hapalan, tapi nggak muroja’ah yang sudah aku hapal. Akhirnya nggak lulus mulu.”

“Nah, berarti mas sudah tahu kan, di mana titik lemah mas? Berarti mas harus menyisihkan waktu untuk muroja’ah. Kan sama saja akhirnya waktunya, ngejar target hapalan ternyata nggak lulus-lulus. Mendingan nambah agak pelan tapi muroja’ah sehingga hapalannya kuat.”

“Iya Mi, aku sekarang kayak gitu.”

“Sipp.. Giman dengan target selesainya 30 juz?”

“Aku Insya Allah mau ikut akselerasi semester depan, Mi.”

“Saratnya 10 juz kan? Dah dapat berapa sekarang?”

“5 Juz, kurang 5 juz lagi.”

“Bisa ngejar nambah 5 juz lagi zemester ini?”

“Insya Allah, Mi. Aku akan berusaha untuk bisa.”

“Masya Allah.” Aku terharu mendengar semangatnya. “Coba saja mas hitung-hitung harus berapa halaman sehari mas hapalkan untuk mencapai target itu dan kaitkan dengan kemampuan diri. Ummi doakan Allah memudahkanmu, Nak.”

Kami terus mengobrol tentang banyak hal lewat telepon hari itu. Dan penguatanku pada setiap pembicaraan kami adalah aku ingin ia memahami siapa dirinya agar ia bisa memosisikan diri dan bisa mencari strategi di titik mana bisa melejitkan potensi diri.

Selamat menghapal Qur’an dan selamat menyiapkan diri menjadi generasi Qur’ani, sayang. Ummi dan Abi tidak menarget kamu harus jadi ini dan itu, jadi apapun kau nanti jiwai Al-Quran dalam pikir dan perilakumu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanallah... bikin tercengang, terharu, termotivasi, tapi tetap enak dibaca maa syaa Allah .. salut saya bun

13 Aug
Balas

Terimakasih, Bunda..

14 Aug

Obrolan yang cerdas nih. Siapa dulu dong uminya. Keren bu

13 Aug
Balas

Hmmm... jangan bikin umminy GR pak Yudha, he he

14 Aug

Ummi dan Abi tidak menarget kamu harus jadi ini dan itu, jadi apapun kau nanti jiwai Al-Quran dalam pikir dan perilakumu....subhanallah...

13 Aug
Balas

Terimakasih, bunda..

14 Aug

Sip informstif.. Kecerdasan dapat duoptimalkan..

13 Aug
Balas

Insya Allah.. :-)

14 Aug



search

New Post