Mochamad Fuad Hasan

Kenikmatan terbesar yang saya rasakan adalah melihat orang-orang di sekitarku bahagia. Upaya membahagiakannya adalah fokus utama ku. Upaya menciptakan kebahagia...

Selengkapnya
Navigasi Web
Memungut Hidayah

Memungut Hidayah

Sabtu, 25 Juli 2020, perjalanan mudik kami kali ini berjalan seperti biasanya. Sepulang dari Madrasah, segera menyiapkan diri, mulai dari barang bawaan dan segala keperluan yang lain. Namun Sabtu ini ada yang istimewa. Saya kali pertama mengikuti kegiatan pelatihan menulis. Mungkin inilah jawaban dari yang satu tahun yang lalu saya mencatat niat untuk menulis. Walaupun sebenarnya ada rasa kurang percaya diri, namun di hati ada krentek ingin menulis.

Biasanya, kira-kira pukul satu sampai pukul dua siang, kami sudah berangkat mudik ke Kandangan Kediri. Namun karena Sabtu ini ada pelatihan menulis dari SAGUSABU, saya harus mengikutinya, mulai dari pukul satu sampai setengah empat. Alhamdulillah, kesan yang luar biasa dari pemaparan Pak Ihsan, tentang bagaimana membangun motivasi internal untuk semangat menulis.

Akhirnya, kami berangkat pukul 4 sore. Seperti sudah menjadi kebiasaan, sampai di Pare kami mampir di warung bakso kesukaan kami - bakso raksasa Pare. Karena sudah masuk waktu Magrib, saya meminta istri dan putri saya untuk di warung dulu, dan saya ingin menunaikan sholat di masjid terdekat. Waktu itu istri saya sedang datang bulan sehingga tidak saya ajak ke masjid, saya minta menunggu di warung bakso tersebut.

Alhamdulillah, saya menemukan masjid yang tidak terlalu jauh dari warung. Masjid yang cukup besar dan cukup terbuka lebar untuk jamaah dari luar. Biasanya di beberapa masjid, di masa pandemi ini terpampang tulisan "hanya untuk jamaah lingkungan masjid". Ditambah lagi ada fasilitas mencuci tangan dan hand sanitizer, namun ternyata di masjid ini sama sekali tidak ada itu semua. Padahal masjid ini terletak di pinggir jalan protokol.

Saya mulai masuk area parkir masjid, meletakkan helm, melepas jaket dan menuju ke serambi masjid. Sayangnya jamaah sudah baru saja selesai, sehingga saya harus munfarid. Dari serambi saya menuju tempat wudhu dan berpapasan dengan tiga orang paruh baya yang sedang bercengkerama. Saya menyapa dengan sapaan Jawa, "Monggo Pak". Salah seorang dari mereka menimpali dengan bertanya "Saking pundi Mas?". Saya menjawab, "Saking Blitar, ajenge ten Kandangan Pak." "Oh nggeh, monggo!" Timpal Bapak yang bertanya tadi. Percakapan sederhana itu menggambarkan tidak ada kecurigaan sama sekali pada pendatang seperti saya yang mampir untuk sholat di masjid tersebut. Padahal di desa saya saat ini sedang gencar-gencarnya diadakan ronda malam rutin setiap malam untuk mencegah terjadinya penyebaran Covid 19 dan mungkin juga untuk mengantisipasi kejadian kriminal yang terjadi sebagai dampak turunan dari Covid 19 ini. Saya sendiri juga mendapatkan jatah jaga pada hari Kamis malam Jumat. Bawaannya pada saat jaga, walaupun tempatnya di jalan, apabila melihat ada kendaraan lewat mesti ada kecurigaan. Dan saya merasakan hal lain di masjid ini. Sama sekali tidak ada kecurigaan.

Saya selesai wudhlu, dan masuk ke dalam masjid yang cukup luas, dengan arsitektur yang cukup indah. Saya mengambil posisi di bagian tengah agak kebelakang, di sebelah kanan. Saya mulai melaksanakan sholat magrib secara munfarid, dengan niat makmum. Siapa tahu ada yang berjamaah bersama.

Pada saat ruku' rakaat ketiga ada suara yang menggangu saya hingga saya selesai sholat. Ternyata ada dua orang perempuan yang sedang mengaji, belajar Al Qur'an. Selesai dzikir singkat saya penasaran dengan dua perempuan tadi. Menengok di tempat jamaah putri, saya tertegun melihat ternyata ada perempuan tua yang sedang belajar mengaji dan disimak oleh seorang perempuan yang lebih muda. Hebatnya lagi, perempuan yang menyimak tadi begitu tegas bahkan keras dalam membenarkan kesalahan bacaan. Namun, perempuan tua itu dengan asyik, tawadhu mengikuti setiap arahan dan bimbingan dari guru ngajinya tersebut.

Dalam benak saya berpikir, apa kira-kira yang menjadi motivasi perempuan tua tadi bersemangat mengaji. Tidak mungkin karena hanya ingin dilihat pandai membaca Al Qur'an. Tidak mungkin hanya ingin dipandang mahir membaca Al Qur'an. Tidak mungkin hanya ingin menjadi "pengajar Al Qur'an". Saya menduga, mungkin Ia hanya ingin memperbanyak amal Sholeh di usia senjanya. Bisa jadi Ia hanya ingin mendapatkan bekal cukup untuk kehidupan akhiratnya kelak. Memang, Al Qur'an diistimewakan bisa meny-syafati siapa saja yang mempelajarinya.

Peristiwa itu menjadi tamparan keras bagi saya. Betapa saya dalam mempelajari Al Qur'an masih ada niat yang "aneh-aneh", masih ada bau-bau "kedonyan". Bahkan sedikit sekali yang berorientasi akhirat. Astagfirullahal'adhim....

Allahummarhamna bil Qur'an...

Ya Allah, rohmati hamba, orangtua hamba, keluarga hamba, anak keturunan hamba, guru-guru hamba, sanak kerabat hamba, saudara-saudara hamba, murid-murid hamba, orang-orang yang berhubungan baik dengan hamba, seluruh muslimin-muslimat, dengan Al Qur'an.

Kandangan, Kediri, 26 Juli 2020

10.45

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren pak

26 Jul
Balas

Keren, Pak. Runtut mengalir tuturannya.

26 Jul
Balas

Keren banget Pak. Salam literasi

26 Jul
Balas

Terimakasih Pak Cusin. Terus semangat belajar dengan menulis . .

26 Jul

Subhanallah..keren pak follow back ya

07 Aug
Balas

Subhanallah..keren pak follow back ya

07 Aug
Balas

Sangat keren pak,salam literasi

02 Aug
Balas

Inspiratif ustadz

26 Jul
Balas



search

New Post