mohamad ridwan

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Peningkatan hasil belajar siswa dalam as-maul Husna melalui Model Discovery learning di kelas VIIG MTs Al Mukhtariyah Rajamandala Cipatat Kab. Bandung Barat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Materi pelajaran Akidah Akhlak untuk semester 2 (dua) yaitu berkaitan dengan Tema Al-Asmaul Al-Husna .sebagaimana yang terdapat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahwa salah satu Kompetensi Dasar yang harus dikuasi siswa adalah Meyakini sifat-sifat Allah SWT melalui al-asmaa' al-husna (al-‘Aziiz, al-Ghaffaar, al-Baasith, an-Naafi’, ar-Ra’uuf, al-Barr, al-Fattaah, al-‘Adl, al-Qayyuum).untuk indikator diharapkan para siswa : pertama dapat .Menyebutkan 9 nama Al-Asmaul Al-Husna. kedua Peserta didik mampu bertanya tentang materi yang berkaitan dengan Al Asmaul Al-Husna.baik secara lisan maupun tertulis. Dan ketiga Menyebutkan arti dari masing-masing Al-Asmaul Al-Husna.

Adapun tujuan dari materi yang ingin disampaikan yaitu : siswa dapat,

pertama : Meyakini sifat-sifat Allah SWT melalui al-asmaa' al-husna (al-‘Aziiz, al-Ghaffaar, al-Baasith, an-Naafi’, ar-Ra’uuf, al-Barr, al-Fattaah, al-‘Adl, al-Qayyuum)

Kedua : Meneladani sifat-sifat Allah yang terkandung dalam al-asmaa' al-husna (al-‘Aziiz, al-Ghaffaar, al-Baasith, an-Naafi’, ar-Ra’uuf, al-Barr, al-Fattaah, al-‘Adl, al-Qayyuum)

Ketiga : Menguraikan al-asmaa’ al-husnaa (al-‘Aziiz, al-Ghaffaar, al-Baasith, an-Naafi’, ar-Ra’uuf, al-Barr, al-Fattaah, al-‘Adl, al-Qayyuum)

Media yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah Buku Paket untuk Guru dan juga siswa ,Power Point, Kertas warna warni ,spidol dan lem kertas sedangkan metode yang digunakan adalah ceramah, Tanya jawab dan diskusi.

Langkah –langkah dalam pembelajaran meliputi :

(1) kegiatan awal :

a.berdoa bersama yang dipimpin oleh guru

b.absensi kehadiran

c.memberikan apersepsi dan motivasi kepada para siswa;

(2) kegiatan inti :

a.memberikan penjelasan secara keseluruhan berkaitan dengan tema yang diangkat

b.memberikan penjelasan secara khusus materi yang akan disampaikan yang diselingi dengan Tanya jawab.

c.memberikan catatan catatan khusus dan focus tujuannnya untuk dapat dimengerti oleh siswa.

d.peserta didik diberikan kebebasan untuk :

d.1.mengamati /observing buku paket / atau gambar yang berkaitan dengan Al-Asmaul Al-Husna,

d.2.menanya/questioning Guru mendorong peserta didik untuk mengajukan pertanyaan yang relevan dengan hasil pengamatan ;

d.3.menalar/ associating peserta didik melakukan diskusi dan analisa terhadap informasi-informasi yang telah mereka kumpulkan;

d.4.mencoba/ experimenting, mencakup peserta didik melakukan Kegiatan Belajar Mengamati gambar yang berkaitan dengan Al-Asmaul Al-Husna

d.5.mengkomunikasikan/ mempresentasikan:

penutup meliputi kegiatan Peserta didik dan guru melakukan refleksi terhadap hasil kegiatan pembelajaran, Guru memberikan penghargaan.(misalnya bentuk penghargaan lain yang relevan) kepada kelompok yang berkinerja baik.

Berdasarkan hasil tes tulisan menunjukan bahwa prestasi siswa di kelas tersebut beraneka ragam, yaitu ada yang telah mencapai KKM dan ada pula yang belum memcapai KKM . KKM pada kompetensi dasar ini adalah 70 (tujuh puluh) Untuk lebih jelasnya saya tampilkan prestasi belajar siswa kelas VII G sebagai berikut:

No

Nama Siswa

Nilai

Ket

1

ALMAN SAHID

40

2

ALYA WAKIAH

40

3

ANDRI F

53

4

ANISA NURUL HOPIPAH

53

5

APIPUDIN MAULANA

46

6

ARID ARDIANSYAH

33

7

AULIA NUR ASYIFA

40

8

AYU LESTARI SABRIANA

53

9

DEDEN ANGGARA

60

10

DEWI NUR ASYIFA

33

11

ELDA AULIA NURHALIZ

60

12

ERGI TIO ARMANSYAH

50

13

FITRIA SALSABILA

86

14

IQSAL JULIANSYAH

46

15

JENAB SITI FATIMAH

46

16

JULIANTI JULFIFAH

66

17

MUHAMAD ILHAM ALFA

53

18

MUHAMAD YUSUP J

53

19

MUTIA NURUL RAHMAN

80

20

NABILA YUNILAWATI

66

21

NUR AISYAH

40

22

PERMANA

60

23

RINA YUNIARTI

66

24

SITI PATIMATUNAITI SOLEHAJJAH

66

25

SRI NURLAELA SARI

53

26

SRI REZEKI

66

27

SRI YUSNIATI

80

28

WINI KUSMIATI

80

29

YUDI KURNIAWAN

33

30

DELA FEBRIANTO

66

Sumber: Buku daftar nilai mata pelajaran Aqidah Akhlak kelas VII H MTs Al-Mukhtariyah Rajamandala.(terlampir)

Tabel 2. Kelompok Nilai Hasil Belajar Berdasarkan Ketuntasan

No

Nilai

Jumlah Siswa

Persentase (%)

Kategori

1

≥ 70

6

13,33

Tuntas

2

24

80

Belum tuntas

Jumlah

30

100

Sumber: Buku daftar nilai mata pelajaran Akidah akhlak kelas VII G MTs AL-Mukhtariyah Rajamandala

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa hasil belajar Aqidah Akhlak siswa kelas VII G semester ganjil MTs AL-Mukhtariyah Rajamandala terdapat banyak siswa yang belum tuntas yaitu 80 % , dan yang tuntas hanya sebesar 13,33 % .dengan hasil tersebut perlu untuk remedial atau diperbaiki.

Berdasarkan hasil refleksi awal dari siswa melalui wawancara menyatakan ; bahwa guru memberikan apersepsi tapi kurang nyambung dengan materi yang dibahas, dan pemberian motivasi belum maksimal sehingga hanya beberapa siswa saja yang sudah memahami berkaitan dengan materi Al-Asmaul Al-Husna

Refleksi awal saya menyadari hal tersebut, sebab terbukti dari perilaku pembelajaran siswa menunjukan kurang aktif, kurang kreatif, kurang inovatif dan kurang menyenangkan.Untuk mengatasi hal tersebut dipandang perlu adanya suatu tindakan yang nyata, supaya masalah tersebut dapat diatasi secara tuntas.

Berdasarkan evaluasi dan analisis diantaranya yang harus ditata ulang yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang belum maksimal dan tepat dalam menyajikan pembelajaran. maka peneliti memutuskan untuk mengatasi masalah hasil belajar siswa dengan menggunakan “ MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING diantaranya menggunakan metode Make A-mach , metode diskusi dan ceramah yang diterapkan di kelas. tindakan melalui metode ini memiliki kelebihan sebagai berikut :

(1) metode diskusi dapat meningkatkan anak dalam pemahaman konsep dan keterampilan memecahkan masalah

(2) Make A-mach dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajarinya. Memberikan kesempatan kepada semua siswa bergerak aktif satu sama lain dan dapat bersosialisasi dengan semua kawan kawannya dikelas dan menjadikan siswa bergembira dan lebih dinamis.

(3). Metode ceramah, dapat berhasil dengan baik apabila didukung oleh metode motode yang lainnya, seperti Tanya jawab dan diskusi. Dengan menggunakan metode ceramah dilanjutkan dengan diskusi dan metode make a-mach. menjadikan siswa lebih mudah menganalisis. materi yang telah disampaikan serta dapat menarik kesimpulan sendiri tentang obyek/materi yang dipelajarinya.

Sehubungan dengan uraian di atas maka peneliti mengambil judul “PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM MATERI AL ASMAUL AL HUSNA MELALUI MODEL DISCOVERY LEARNING DI KELAS VII G MTs AL-MUKHTARIYAH RAJAMANDALA SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2016-2017”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yaitu ;

(1) Apakah model discoevery learning dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa?

(2) Seberapa besar siswa termotivasi dalam belajar menggunakan discovery learning ?

(3) Bagaimana penggunaan model discovery learning dalam meningkatkan aktivitas belajar akidah akhalk?.

C. Cara Pemecahan Masalah

Untuk memecahkan masalah yang dialami penulis diatas, maka penulis akan mencoba menggunakan suatu pembelajaran yang tidak hanya terfokus pada guru, tetapi suatu pembelajaran yang lebih terfokus pada aktivitas siswa (student centered approach) yang mengembangkan aspek kognitif, aspek sosial siswa untuk bisa menggali informasi sendiri dan bisa menemukan pemecahan masalahnya sendiri dan menuntut siswa untuk saling bekerja sama.

Penulis akan mencoba menggunakan model discovery learning dengan berbagai macam metode, diantaranya make a-mach, metode diskusi dan ceramah yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada materi Al Asmaul Al Husna. Dalam upaya pemecahan masalah ini dibantu pula dengan menggunakan media dengan kertas karton sebagai pendukung pada model discovery learning dan menggunakan pendekatan scientific.

D. Hipotesa Tindakan

Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah dijabarkan, maka dirumuskan hipotesis tindakan penelitian yaitu “Melalui model pembelajaran Discovery Learning dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VII G MTs Al-Mukhtariyah Rajamandala pada materi “Al Asmaul Al Husna”.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

1. Ingin memperoleh gambaran apakah model discovery learning dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa

2. Ingin memperoleh gambaran seberapa besar model discovery learning.dapat memunculkan motivasi pada diri siswa.

3. Ingin memperoleh gambaran dampak positif terkait dengan materi Al Asmaul Al husna melalui model discovery learning.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yang berarti bagi siswa, guru dan sekolah.

1. Manfaat bagi siswa

a. Sebagai motivasi untuk membantu meningkatkan keaktifan siswa yang dapat mendukung peningkatan hasil belajar siswa.

b. Memperjelas pemahaman siswa tentang Al Asmaul Al Husna melalui pemanfaatan model pembelajaran discovery learning.

c. dapat bekerja sama antara siswa yang satu dengan yang lainnya dalam kegiatan model pembelajaran discovery learning.

2. Manfaat bagi guru

a. Dapat meningkatkan kemampuan menggunakan model discovery learning.

b. Membantu guru dalam model pembelajaran, sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih menarik minat siswa.

c. Meningkatkan minat untuk melakukan penelitian.

3. Manfaat bagi sekolah

1.Meningkatkan gairah dewan guru untuk bersama sama membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

2.Meningkatkan Prestasi anak didik pada madrasah apabila semua gurunya aktif dalam pembuatan PTK

BAB II

KAJIAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A.KAJIAN TEORI

1.Pengertian Model Discovery Learning

Model Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103).

Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas. Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41).

Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219). Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving.

Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses penelitian.

Prinsip belajar nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan.

Penggunaan metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented (berorientaasi ke guru) ke student oriented (orientasi ke siswa) Mengubah modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasi sendiri. Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi.

Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events). Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43).

Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.

Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya.

Secara sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).

Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.

Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika.

Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yang lebih mandiri. Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41). Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

1.1.Ciri Pembelajaran Discovery Learning

Pertama, pembelajaran discovery learning menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan. Artinya, pada pembelajaran discovery learning menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima materi pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.

Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian pada pembelajaran discovery learning menempatkan guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi lebih diposisikan sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktifitas pembelajaran hiasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa.

1.2.Prinsip pembelajaran discovery learning

Pembelajaran Discovery learning mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini:

a. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual. Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar.

b. Prinsip Interaksi. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri.

c. Prinsip Bertanya. Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan pembelajaran ini adalah guru sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir. Dalam hal ini, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan. Di samping itu, pada pembelajaran ini juga perlu dikembangkan sikap kritis siswa dengan selalu bertanya dan mempertanyakan berbagai fenomena yang sedang dipelajarinya.

d. Prinsip Belajar untuk Berpikir. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.

e. Prinsip Keterbukaan. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya

1.3.Jenis

Model penemuan atau pengajaran penemuan dibagi 3 jenis :

a. Penemuan Murni

Pada pembelajaran dengan penemuan murni pembelajaran terpusat pada siswa dan tidak terpusat pada guru. Siswalah yang menentukan tujuan dan pengalaman belajar yang diinginkan, guru hanya memberi masalah dan situasi belajar kepada siswa. Siswa mengkaji fakta atau relasi yang terdapat pada masalah itu dan menarik kesimpulan (generalisasi) dari apa yang siswa temukan.

Kegiatan penemuan ini hampir tidak mendapatkan bimbingan guru. Penemuan murni biasanya dilakukan pada kelas yang pandai.

b. Penemuan Terbimbing

Pada pengajaran dengan penemuan terbimbing guru mengarahkan tentang materi pelajaran. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan atau dialog, sehingga diharapkan siswa dapat menyimpulkan (menggeneralisasikan) sesuai dengan rancangan guru.

Generalisasi atau kesimpulan yang harus ditemukan oleh siswa harus dirancang secara jelas oleh guru. Pada pengajaran dengan metode penemuan, siswa harus benar-benar aktif belajar menemukan sendiri bahan yang dipelajarinya

.

c. Penemuan Laboratory

Penemuan laboratory adalah penemuan yang menggunakan objek langsung (media konkrit) dengan cara mengkaji, menganalisis, dan menemukan secara induktif, merumuskan dan membuat kesimpulan.

Penemuan laboratory dapat diberikan kepada siswa secara individual atau kelompok.Penemuan laboratory dapat meningkatkan keinginan belajar siswa, karena belajar melalui berbuat menyenangkan bagi siswa yang masih berada pada usia senang bermain.

1.4.Komponen

Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran discovery learning sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton, 2005).

Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa. Untuk menjawab pertanyaan ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.

Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku, melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.

Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.

Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.

Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.

1.5.Langkah-langkah

Saat proses pembelajaran, diperlukan adanya langkah-langkah yang tepat agar pembelajaran dapat berjalan secara optimal. Langkah-langkah pembelajaran yang tepat juga sangat menentukan keberhasilan suatu metode pembelajaran.

Suryosubroto (2009: 184-185) mengemukakan langkah-langkah metode penemuan sebagai berikut:

a. Identifikasi kebutuhan siswa.

b. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.

c. Seleksi bahan, dan problema/tugas-tugas.

d. Membantu memperjelas

d.1.tugas/problema yang akan dipelajari.

d.2.peranan masing-masing siswa.

e. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.

f. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.

g. Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan.

h. Membantu siswa dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.

i. Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses.

j. Merangsang terjadinya interaksi antarsiswa dengan siswa.

k. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan.

l. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Menurut Bruner (dalam Winataputra, 2008: 3.19), tahap-tahap penerapan belajar penemuan, yaitu; (1) stimulus (pemberian perangsang/stimuli), (2) problem statement (mengidentifikasi masalah), (3) data collection (pengumpulan data), (4) data processing (pengolahan data), (5) verifikasi, dan (6) generalisasi.

Berdasarkan kajian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa metode guided discovery learning dilaksanakan dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut: (1) stimulus (memberikan pertanyaan atau menganjurkan siswa untuk mengamati gambar maupun membaca buku mengenai materi), (2) problem statement (memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis), (3) data collection (memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan informasi), (4) data processing (mengolah data yang telah diperoleh oleh siswa), (5) verifikasi (mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis), dan (6) generalisasi (mengadakan penarikan kesimpulan).

Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery Learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum antara lain sebagai berikut :

1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.

2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.

Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.

3) Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.

Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4) Data Processing (Pengolahan Data)

Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.

5) Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.

6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

1.6.. Penilaian pada Model Pembelajaran Discovery Learning.

Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian kognitif, maka dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa dapat menggunakan nontes.

2. Pengertian Model Pembelajaran Make a-mach

Pengertian Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pembelajaran kelas atau dalam pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Kemudian Joyce menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarah kita untuk mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, model dan teknik pembelajaran.

Make a match adalah teknik mengajar dengan mencari pasangan. Salah satu keunggulannya adalah siswa belajar sambil menguasai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

Pembelajaran model pembelajaran Make a-match yaitu pembelajaran yang teknik mengajarnya dengan mencari pasangan melalui kartu pertanyaan dan jawaban yang harus ditemukan dan didiskusikan oleh pasangan siswa tersebut.Model pembelajaran Make a-Match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran Make a-Match adalah pembelajaran menggunakan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu yang berisi soal dan kartu yang lainnya berisi jawaban dari soal-soal tersebut.

Model pembelajaran Make a-Match atau mencari pasangan seperti difirmankan dalam al-qur’an surat yasin ayat 36 yang berbunyi:

سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ ﴿يس : 36﴾

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.(QS. Yasin/36:36).”

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan sesuatu di dunia ini dengan berpasang-pasangan, baik yang diketahui oleh manusia maupun yang tidak diketahui oleh manusia. Salah satunya adalah mengenai model pembelajaran Make a-Match, dimana model pembelajaran ini menggunakan permainan kartu, jadi siswa harus mencari pasangan kartu yang dipegang.

Model Make a Match ini sangat efektif membantu siswa dalam memahami materi melalui permainan mencari kartu jawaban dan pertanyaan, sehingga dapat menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan.

Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan dibandingkan dengan model pembelajaran yang lainnya. Begitu juga model pembelajaran Make a-match, adapun kelebihan dan kelemahaannya adalah sebagai berikut:

2.1. Kelebihan

2.1.1) Siswa dapat belajar dengan aktif karena guru hanya berperan sebagai pembimbing, sehingga siswa yang mendominasi dalam aktifitas pembelajaran.

2.1.2) Siswa dapat mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dalam kartu yang ditemukannya.

2.1.3) Dapat meningkatkan antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.

2.1.4) Dengan penyelesaian soal (masalah), maka otak siswa akan bekerja lebih baik, sehingga proses belajarpun akan menjadi lebih baik.

2.1.5) Siswa dapat mengenal siswa lainnya, karena dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antar kelompok dan interaksi antar siswa untuk membahas soal dan jawaban yang dihadapi.

2.2. Kelemahan

2.2.1) Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan.

2.2.2) Guru memerlukan waktu untuk mempersiapkan alat dan bahan pelajaran yang memadahi. Memerlukan waktu yang lebih banyak, sehingga waktu yang tersedia harus dibatasi jangan sampai siswa terlalu banyak bermain-main dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran make a-match adalah sistem pembelajaran yang mengutamakan penanaman kemampuan sosial terutama kemampuan bekerja sama, kemampuan berinteraksi disamping kemampuan berpikir cepat melalui permainan mencari pasangan dengan dibantu kartu (Wahab, 2007 : 59).

Model make a-match atau mencari pasangan merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan metode ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Teknik metode pembelajaran make a- match atau mencari pasangan dikembangkan oleh Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan tehnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan

Suyatno (2009 : 72) mengungkapkan bahwa model make and match adalah model pembelajaran dimana guru menyiapkan kartu yang berisi soal atau permasalahan dan menyiapkan kartu jawaban kemudian siswa mencari pasangan kartunya. Model pembelajaran make a-match merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif didasarkan atas falsafah homo homini socius, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial (Lie, 2003:27). Model make and match melatih siswa untuk memiliki sikap sosial yang baik dan melatih kemampuan siswa dalam bekerja sama disamping melatih kecepatan berfikir siswa.

Model pembelajaran make a-match adalah salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada permainan. Menurut Suyatno (2009 : 102) Prinsip-prinsip model make amatch antara lain :

a) Anak belajar melalui berbuat

b) Anak belajar melalui panca indera

c) Anak belajar melalui bahas

d) Anak belajar melalui bergerak

Tujuan dari pembelajaran dengan model make a-match adalah untuk melatih peserta didik agar lebih cermat dan lebih kuat pemahamannya terhadap suatu materi pokok (Fachrudin, 2009 : 168). Siswa dilatih berpikir cepat dan menghafal cepat sambil menganalisis dan berinteraksi sosial.

Menurut Benny (2009 : 1001), sebelum guru menggunakanan model make a-mach guru harus mempertimbangkan :

(1) indicator yang ingin dicapai ,(2)kondisi kelas yang meliputi jumlah siswa dan efektifitas ruangan, (3) alokasi waktu yang akan digunakan dan waktu persiapan. Pertimbangan diatas sangat diperlukan karena model make and match tidak efektif apabila digunakan pada kelas yang jumlah siswanya diatas 40 dengan kondisi ruang kelas yang sempit. Sebab dalam pelaksanaan pembelajaran, make and match, kelas akan menjadi gaduh dan ramai. Hal ini wajar asalkan guru dapat mengendalikannya.

Model pembelajaran make a match dapat dipergunakan pada alokasi

Dalam mengembangkan dan melaksanakan model Make a Match, menurut Suyatno (2009 : 42) guru seharusnya mengembangkan hubungan baik dengan siswa dengan cara :

a) Perlakukan siswa sebagai manusia yang sederajat

b) Ketahuilah apa yang disukai siswa, cara pikir mereka dan perasaan mereka

c) Bayangkan apa yang akan mereka katakan mengenai diri sendiri dan guru

d) Ketahuilah hambatan-hambatan siswa

e) Berbicaralah dengan jujur dan halus

f) Bersenang-senanglah bersama mereka

Model pembelajaran make and match merupakan model yang menciptakan hubungan baik antara guru dan siswa. Guru mengajak siswa bersenang-senang dalam permainan. Kesenangan tersebut juga dapat mengenai materi dan siswa dapat belajar secara langsung maupun tidak langsung.

Waktu minimal 1 x 45 menit. Sebab model ini membutuhkan waktu lebih untuk permainan mencocokkan kartu dan membahasnya satu persatu dan menarik kesimpulan. Persiapan yang perlu dilaksanakan untuk pembelajaran make and match harus cukup karena harus membuat soal atau jawaban yang berbeda dan ditempel di kartu sebanyak jumlah siswa.

(Diposkan oleh Bungs Edu)

3. Pengertian Aktivitas Belajar

Ilustrasi Aktivitas Belajar

Belajar sangat dibutuhkan adanya aktivitas, dikarenakan tanpa adanya aktivitas proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik. Pada proses aktivitas pembelajaran harus melibatkan seluruh aspek peserta didik, baik jasmani maupun rohani sehingga perubahan perilakunya dapat berubah dengan cepat, tepat, mudah dan benar, baik berkaitan dengan aspek kognitif afektif maupun psikomotor (Nanang Hanafiah, 2010:23). Aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam proses belajar kedua aktivitas itu harus saling berkaitan. Lebih lanjut lagi piaget menerangkan dalam buku Sardiman bahwa jika seorang anak berfikir tanpa berbuat sesuatu, berarti anak itu tidak berfikir (Sardiman, 2011:100). Nanang Hanafiah dan Cucu Suhana (2010:24) menjelaskan bahwa aktivitas belajar dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi peserta didik, berupa hal-hal berikut ini:

1. Peserta didik memiliki kesadaran (awareness) untuk belajar sebagai wujud adanya motivasi internal untuk belajar sejati.

2. Peserta didik mencari pengalaman dan langsung mengalami sendiri, yang dapat memberikan dampak terhadap pembentukan pribadi yang integral.

3. Peserta didik belajar dengan menurut minat dan kemampuannya.

4. Menumbuh kembangkan sikap disiplin dan suasana belajar yang demokratis di kalangan peserta didik.

5. Pembelajaran dilaksanakan secara konkret sehingga dapat menumbuh kembangkan pemahaman dan berfikir kritis serta menghindarkan terjadinya verbalisme.

6. Menumbuh kembangkan sikap kooperatif dikalangan peserta didik sehingga sekolah menjadi hidup, sejalan dan serasi dengan kehidupan di masyarakat di sekitarnya.

3.1.Jenis-jenis Aktivitas Belajar

Paul B. Diedrich yang dikutip dalam Nanang hanafiah dan Cucu suhana (2010:24) menyatakan, aktivitas belajar dibagi ke dalam delapan kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Kegiatan-kegiatan visual (visual activities), yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.

2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral activities), yaitu mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara diskusi dan interupsi

3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan (listening activities), yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, atau mendengarkan radio.

4. Kegiatan-kegiatan menulis (writing activities), yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat outline atau rangkuman, dan mengerjakan tes serta mengisi angket.

5. Kegiatan-kegiatan menggambar (drawing activities), yaitu menggambar, membuat grafik, diagram, peta dan pola.

6. Kegiatan-kegiatan motorik (motor activities), yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, serta menari dan berkebun.

7. Kegiatan-kegiatan mental (mental activities), yaitu merenungkan mengingat, memecahkan masalah, menganalisa faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan, dan membuat keputusan.

8. Kegiatan-kegiatan emosional (emotional activities), yaitu minat, membedakan, berani, tenang, merasa bosan dan gugup.

Dengan adanya pembagian jenis aktivitas di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Jika kegiatan-kegiatan tersebut dapat tercipta di sekolah, pastilah sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal.

Daftar Pustaka

A.M. Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali. Hanafiah, Nanang & Cucu Suhana. 2010. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.

Jangan lupa membagikan referensi ini jika bermanfaat

4. Pengertian Motivasi Belajar

Ilustrasi Motivasi Belajar

Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 1986: 75). Demikian dalam belajar, prestasi siswa akan lebih baik bila siswa memiliki dorongan motivasi orang tua untuk berhasil lebih besar dalam diri siswa itu. Sebab ada kecenderungan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi mungkin akan gagal berprestasi karena kurang adanya motivasi dari orang tua.

4.1.Fungsi Motivasi Belajar

Motivasi dalam belajar sangat penting artinya untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar yang diharapkan, sehingga motivasi siswa dalam belajar perlu dibangun. Menurut Nasution (1982:77) motivasi memiliki tiga fungsi yaitu:

1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak motor yang melepas energi.

2. Menentukan arah perbuatan , yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.

3. Menyeleksi perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Seseorang melakukan sesuatu usaha karena adanya motivasi. Motivasi yang lebih baik dalam beajar akan menunjukkan hasil yang baik, dengan kata lain bahwa dengan usaha yang tekun yang didasari adanya motivasi, akan dapat melahirkan prestasi yang baik. McClelland dan Atkinson dalam Sri Esti (1989: 161) mengemukakan bahwa motivasi yang paling penting untuk psikologis pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung untuk berjuang mencapai sukses atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan sukses atau gagal. Intensitas motivasi siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajar siswa tersebut.

4.2.Jenis-jenis Motivasi Belajar

Secara umum motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (Prayitno, 1989: 10).

a. Motivasi Instrinsik

Menurut Priyitno (1989: 11) motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan oleh faktor pendorong dari dalam diri (internal) individu. Tingkah laku individu itu terjadi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari lingkungan. Tetapi individu bertingkah laku karena mendapatkan energi dan pengaruh tingkah laku dari dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dilihat dari luar. Thornburgh dalam Priyitno (1989: 10) berpendapat bahwa motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri sendiri. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam individu, dimana dorongan tersebut menggerakkan individu atau subyek untuk memenuhi kebutuhan,tanpa perlu dorongan dari luar.

b. Motivasi ekstrinsik

Sardiman (1990: 90) memberikan definisi motivasi ekstrisik sebagai motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi ekstrinsik dapat dikatakan lebih banyak dikarenakan pengaruh dari luar yang relatif berubah-ubah. Motivasi ekstrinsik dapat juga di katakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar di mulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar (Sardiman, 1990: 90). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang bermotivasi ekstrinsik melakukan sesuatu kegiatan bukan karena ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan pujian, hadiah dan sebagainya.

4.3.Cara Membangkitkan Motivasi Belajar

Terdapat beberapa cara untuk membangkitkan motivasi belajar pada diri individu siswa dalam melakukan aktivitas belajarnya. Menurut Nasution (1982:81) cara membangkitkan motivasi belajar antara lain:

a. Memberi Angka

Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka yang baik, sehingga biasanya yang dikejar itu adalah angka atau nilai. Oleh karena itu langkah yang dapat ditempuh guru adalah bagaimana cara memberi angka-angka dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan.

b. Meberi Hadiah

Hadiah dapat membangkitkan motivasi belajar seseorang jika ia memiliki harapan untuk memperolehnya, misalnya: seorang siswa tersebut mendapat beasiswa, maka kemungkinan siswa tersebut akan giat melakukan kegiatan belajar, dengan kata lain ia memiliki motivasi belajar agar dapat mempertahankan prestasi.

c. Hasrat Untuk Belajar

Hasil belajar akan lebih baik apabila pada siswa tersebut ada hasrat atau tekad untuk mempelajari sesuatu.

d. Mengetahui Hasil

Dengan mengetahui hasil belajar yang selama ini dikerjakan, maka akan bisa menunjukan motivasi siswa untuk belajar lebih giat, kerana hasil belajar merupakan feedback (umpan balik) bagi siswa untuk mengetahui kemampuan dalam belajar.

e. Memberikan Pujian

Pujian sebagai akibat dari pekerjaan yang diselesaikan denga baik, merupakan motivasi yang baik pula.

f. Menumbuhkan Minat Belajar

Siswa akan merasa senang dan aman dalam belajar apabila disertai dengan minat belajar apabila disertai dengan minat belajar. Dan hai ini tak lepas dari minat siswa itu dalam bidang studi yang ditempuhnya.

g. Suasana yang Menyenangkan

Siswa akan merasa aman dan senag dalam belajar apabila disertai denga suasana yang menyenangkan baik proses belajar maupun situasi yang dapat menumbuhkan motivasi belajar.

Daftar Pustaka Esti, Sri.1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grafindo Nasution. 1982. Teknologi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara Priyitno, Elida. 1989. Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: P2LPTK Sardiman, A,M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post