MOHAMMAD HAIRUL

Mohammad Hairul adalah Guru SMP Negeri 1 Bondowoso, Jawa Timur. Instruktur Literasi Nasional Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Instruktur N...

Selengkapnya
Navigasi Web
REVOLUSI MENTAL GURU: Dari Penerima Menuju Pemproduksi Pengetahuan

REVOLUSI MENTAL GURU: Dari Penerima Menuju Pemproduksi Pengetahuan

Pengetahuan dalam pendidikan kontemporer masih menjadi sesuatu yang diproduksi oleh ahli yang jauh dari sekolah. Ahli dimaksud adalah mereka (para ilmuan-peneliti) yang berada di ruang steril yang jauh dari konteks persekolahan seperti yang dihadapi guru setiap hari. Namun dalam reformasi pendidikan yang demokratis, hal demikian harus diubah. Guru harus memasuki budaya peneliti (saintifik) jika hendak mencapai level kompetensi yang lebih tinggi.

Guru adalah pembelajar, bukan pelaksana yang sekadar mengikuti perintah atasan tanpa pertanyaan. Guru mesti dipandang sebagai pekerja pengetahuan bukan pesuruh. Perubahan pola pikir harus terjadi sehingga tidak ada lagi pernyataan ‘temuan peneliti ahli mengatakan begini, maka lakukanlah” karena guru peneliti tidak akan menelan mentah-mentah suatu teori. Bagi guru peneliti, kurikulum pendidikan akan membodohkan dan melemahkan kemampuan guru apabila guru dilihat sebagai penerima, bukan produsen pengetahuan.

Tantangan terbesar guru peneliti adalah menanyakan sesuatu yang tidak boleh dan tidak banyak ditanyakan, lalu menindaklanjutinya dalam penelitian. Bermulai dari tanya dan keingintahuan tersebut pola pikir guru akan bergerak pada penemuan konseptual baru. Berhentilah berfanatik buta bahwa segala yang dilakukan para pakar di perguruan tinggi adalah ‘kitab suci’ bagi pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Saatnya guru sebagai peneliti memosisikan diri lebih bermartabat sebagai pemproduksi pengetahuan.

GURU KITA KINI

Guru Indonesia kini notabene adalah sarjana. Kualifikasi tersebut merupakan kualifikasi minimal seorang guru di jenjang sekolah dasar sekalipun. Hal demikian menunjukkan bahwa guru di level sekolah dasar dan menengah (pertama, atas, dan kejuruan) setidak-tidaknya sudah sekali pernah memiliki mahakarya ilmah saat menuntaskan pendidikan tinggi strata satu (S-1), berupa skripsi. Kondisi tersebut boleh jadi sudah pesat berkembang seiring maraknya program peningkatan kualifikasi guru ke jenjang pascasarjana (S-2) baik secara mandiri (ijin belajar) maupun program beasiswa dinas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (tugas belajar). Hal itu menyebabkan asumsi-sah bahwa setidaknya guru sudah pernah ‘sekali’ menghasilkan mahakarya tulis ilmiah berupa skripsi, bahkan ada yang plus tesis bagi yang sudah mengenyam program magister.

Menumbuhkan jiwa peneliti dalam diri guru adalah suatu pekerjaan yang tidak sederhana. Guru-guru kita pada umumnya memang merupakan lulusan perguruan tinggi, yang notabene semua perguruan tinggi di Indonesia mewajibkan mahasiswanya untuk membuat penelitian atau membuat laporan akhir, dalam rangka memperoleh gelar sarjana. Secara tidak langsung ilmu dasar tentang teknik-teknik meneliti sudah dimiliki oleh para guru kita. Namun demikian, permasalahannya adalah apakah guru mempunyai sense of awareness terhadap permasalahan di sekitarnya? Apakah guru terpikir untuk meningkatkan kinerjanya? Apakah guru sadar untuk melakukan self evaluation terhadap metode mengajarnya? Kesadaran seperti inilah yang menjadi titik tolak proses pembentukan guru sebagai peneliti.

BERI GURU KEPERCAYAAN

Pada satu kesempatan, seorang guru menyatakan, “Jika saya hanya membacakan naskah kepada murid-murid, saya tidak benar-benar mengajar. Saya sarjana pendidikan. Saya tidak dipercaya untuk mempersiapkan pelajaran. Saya akan meninggalkan profesi ini, kecuali ada perubahan. Saya merasa terhina setiap kali pergi ke sekolah.” Ilustrasi tersebut kiranya tak jauh beda dengan yang kita rasa. Kita yang seorang sarjana (bahkan ada yang magister) tak diberi kepercayaan bahwa kita mampu menyiapkan dan mengelola pembelajaran dengan baik. Sehingga sampai format RPP saja kita masih didikte lewat acara “Penyamaan Persepsi Format RPP Kurikulum 2013”. Agenda acaranya seputar perlu tidak menuliskan tujuan pembelajaran di RPP padahal sudah ada indikator ketercapaian pembelajaran.

Lebih ironis lagi, Penelitian Tindakan Kelas (PTK) hingga saat ini dianggap sebagai satu-satunya instrumen yang mampu memotret guru hebat. Seperti halnya dalam event lomba guru berprestasi, PTK selalu dinyatakan sebagai entry-point yang mampu mengangkat marwah guru. Permasalahannya, benarkah guru yang melakukan PTK benar-benar mencerminkan sosok guru hebat?

Kalau mau jujur, PTK yang selama ini “didewakan” sebagai “entry-point” guru hebat, dalam amatan awam saya, lebih banyak menampilkan “penelitian semu” yang berawal dari data penelitian yang rentan dimanipulasi. Selain ini banyak PTK yang sejatinya lebih cocok diberi judul “PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN TEKNIK MENGAJAR BERULANG-ULANG”. Bukankah tanpa teknik, model, media, dan lain sebagainya yang ditawarkan guru, hasil belajar siswa pasti akan meningkat apabila diajarkan dua-tiga kali siklus? Terlebih apabila peningkatan hasil belajar siswa hanya berupa siswa yang nyaris mencapai KKM akhirnya mencapai KKM setelah dua-tiga kali siklus.

Pada mulanya PTK dimaksudkan untuk merangsang dan memotivasi guru agar melakukan penelitian untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran di kelas. Namun, seiring dengan perkembangan waktu, PTK sudah menyimpang dari kaidah-kaidah keilmuan yang wajib dijunjung tinggi. Proses plagiasi marak terjadi. Tingkat kejujuran guru sebagai peneliti dalam mengolah data pun diragukan integritasnya. Padahal, penelitian boleh salah tetapi tidak boleh bohong, bukan?

Kiranya dengan mengupayakan diri menjadi guru sebagai peneliti kita meneladankan sosok pembelajar bagi anak didik kita. Bahwa kita guru yang terus belajar, selalu berkreasi, berinovasi, serta selalu merefleksi dan mengevaluasi yang kita lakukan demi pembelajaran yang lebih efektif. Harapan tersebut relevan dengan penekanan upaya peningkatan mutu guru yang dilakukan dengan pendidikan dalam jabatan guna meningkatkan efektivitas mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individual para siswa yang dihadapi. Dengan demikian kian jelaslah kiranya bahwa meneliti bukanlah tugas tambahan apalagi beban guru, namun lebih merupkan kewajiban. Scripta manent verba volant (yang tetulis akan abadi, yang terucap akan dimakan zaman).

*) Mohammad Hairul adalah Guru SMP Negeri 1 Klabang-Bondowoso, Ketua IGI Kabupaten Bondowoso. Peraih Penghargaan Literacy Award 2017 By Baznas dan Republika.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"Guru mesti dipandang sebagai pekerja pengetahuan bukan pesuruh." Kalimat yang menohok seharusnya. Top pak.

03 Jun
Balas

Bagi yg gak mau berubah, pemikiran ini terlalu muluk dan dianggap sombong, Pak Yudha.

03 Jun
Balas



search

New Post