Sunardi

Saya guru Bahasa Inggris, tinggal di Bondowoso, Kota Tape. Blog pribadi saya www.ladangcerita.com...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita Cinta Sang Guru Swasta

Cerita Cinta Sang Guru Swasta

"Wah, gajimu besar ya, Rin," kata Nia. "Kamu juga bisa biayai sekolah adikmu sekarang."

Rina tersenyum sambil melihat orang-orang di sekitar yang lagi menikmati hidangan, sepertinya Rina merasa tidak enak bicara gaji di depan banyak orang. Raut wajahnya juga menunjukkan ekspresi seperti sedang banyak beban pikiran. Beberapa tahun terakhir hasil panen orang tuanya selalu rugi. Rina merasa bertanggung jawab untuk membantu perekonomian orang tuanya.

"Kamu kan ngajar di sekolah negeri." Pikir Rina pasti gaji Nia lebih besar dari gajinya.

Nia mengambil lima batang tusuk sate di piring yang ada di depannya. Rina juga ambil tiga batang. Orang-orang di sekitar mereka nguping. Begitulah orang kampung pada kepo ingin tahu penghasilan tetangga. Walau tidak bertanya secara langsung, tapi ini kesempatan bagus untuk mengetahui berapa besar gaji mereka yang kerja enak. Menurut mereka kerja di kantor, pokoknya pekerjaan yang tidak menyentuh lumpur atau tanah, itu enak. Tetapi kadang mereka merasa aneh karena beli motor saja kredit. Itu pun sering telat setorannya. Nyanyian artis di pentas dan dandanan cantik kedua mempelai kalah menarik dibanding obrolan Rina sama Nia.

"Kerjaan menumpuk, gaji sedikit," kata Nia.

"Tapi ngajar di sekolah negeri itu, menurutku, lebih enak dibanding sekolah swasta."

"Kok bisa?"

"Sekolahnya milik umum. Semua tugas dan tanggung jawab sudah terkonsep. Guru bekerja sesuai ilmu yang didapatkan di kampus."

"Sekolah swasta kan juga ikut ketentuan negara?"

"Seharusnya begitu, tapi faktanya tidak semua paham ilmu pendidikan."

"Tapi... Sekarang sekolah swasta lebih banyak muridnya. Berarti hebat, kan? Lebih terkenal juga. Sering dapat bantuan juga kan? Masak tidak kebagian?"

Rina tersenyum. Ibu-ibu di sekitar mereka seperti mendapat tontonan bioskop gratis. Obrolan Rina dan Nia tak kalah menarik dibanding film Bollywood. Tetapi mereka, terutama wanita paruh baya di samping Nia, masih penasaran berapa nominal gaji mereka dalam sebulan. Isu yang tersebar, ada yang hanya digaji Rp 50.000 per bulan. Tetapi berbeda dengan gaji Rina, menurut kabar, cukup besar, lebih dari satu juta.

"Takut juga kalau uang tidak jelas."

Nia agak terkejut mendengarnya.. "Tidak jelas gimana?" Rina enggan bercerita lebih lanjut. "Jaman sekarang memang begitu. Tidak bisa main polosan." Sepertinya Nia paham maksud Rina. Waktu masih kuliah dulu, Rina memang sangat idealis. Dia aktif di organisasi dakwah. Sedangkan Nia sibuk jadi guru les privat. "Tak perlu terlalu idealis, Rin. Jaman sekarang."

"Tujuan pendidikan itu kan merubah yang tidak baik pada anak didik agar menjadi baik, yang tidak tahu menjadi tahu..."

"Anak jaman sekarang itu memang nakal-nakal," Nia memotong kata-kata Rina, merasa tahu Rina akan berbicara tentang kenakalan siswa. "Tidak seperti jaman dahulu, siswanya nurut-nurut. Masanya sudah beda. Anak jaman sekarang, disuruh ke timur, ke barat."

Di sekolah tempat Nia mengajar juga begitu. Kenakalan siswa sudah dianggap melebihi batas oleh kebanyakan guru. Justru ia kira di sekolah swasta seperti tempat Rina mengajar tidak ada siswa yang nakal karena diasramakan dan diajarkan ilmu agama juga. Pengawasan 24 jam. Ahlaknya tentu sangat diperhatikan. Sholat berjamaah juga wajib. Seharusnya kan tidak nakal karena banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan.

baca juga: Etika Murid Terhadap Guru https://mtaq07.blogspot.com/2018/11/etika-murid-terhadap-guru-dan-ilmu.html

***

"Bapak dan ibu guru, nilainya harus di atas KKM semua," kata bapak kepala sekolah saat rapat. "Paling rendah 75. Kalau bisa kasih 80 paling rendah."

Rina merasa tidak nyaman dengan manipulasi. Tetapi menurutnya, pemerintah juga tidak realistis. Tidak mungkin atau kecil sekali kemungkinannya siswa bisa mendapat nilai 75 untuk semua mata pelajaran. Manipulasi nilai juga tidak seratus persen salah, menurutnya. Tetapi, mengkatrol nilai itu berdampak pada moral siswa. Mereka menjadi tidak punya tanggung jawab karena merasa tidak perlu belajar, tidak perlu menjadi pintar. Mereka sudah tahu pasti naik kelas semua. Ujian kelulusan pun juga dibantu. Tentunya juga akan lulus semua. Akibatnya siswa tidak paham kalau semua tindakan itu memiliki dua konsekwensi: konsekwensi positif atau negatif.

"Bu Rina, tunggu...!!"

Rina yang sudah menghidupkan mesin motornya hendak pulang mematikannya lagi. Pak Rudi menghampirinya. "Mau pulang?" Rina mengangguk. "Bagaimana kalau kita makan siang dulu?" Rina enggan menanggapi. "Kenapa Bu Rina tidak mau memberi aku kesempatan?" Rina diam saja. Pak Rudi merasa tidak enak karena merasa mungkin ada guru atau siswa yang memperhatikannya. Ia pun membiarkan Rina pergi.

Ibunya Rina pernah mendesak Rina agar menerima lamaran Pak Rudi. "Dia kan juga guru. Sama-sama punya gaji bulanan," katanya. "Sekarang itu sulit cari kerja. Ngurus sawah juga selalu rugi." Rina diam saja.

Rina merasa tidak nyaman dengan karirnya meskipun gaji yang ia dapatkan mencukupi kebutuhan hidupnya. Bahkan bisa belikan orang tua pakaian atau makanan yang enak-enak. Bisa biayai sekolah adiknya. Tetapi, menurutnya, pekerjaannya terlalu dekat dengan dosa. Sekolah seharusnya memaksimalkan proses pendidikan dan memaksimalkan kontrol terhadap perkembangan kepribadian dan keilmuan siswa, bukan promosi yang digencarkan. Promosi yang berlebihan, menurutnya, melemahkan lembaga/sekolah. Ia rasa sekolah malah seperti toko dan guru sebagai pelayan toko. Sementara siswa menjadi pembeli dan menuntut diperlakukan sebagai raja.

Rina merasa kesulitan menemukan guru yang bisa dia ajak sharing tentang pendidikan. Biasanya yang diobrolin masalah uang dan ekonomi keluarga. Namun, sulit juga bagi dirinya untuk mencari pekerjaan lain. Yang ia tahu, bekerja di bank, toko, supermarket, perusahaan, dan semacamnya lebih banyak mudhoratnya dibanding menjadi guru. Ia berharap bisa berbisnis atau punya suami pebisnis.

Kalau saja dibolehkan, Rina ingin menerima lamaran Jazuli, teman SD-nya dulu. Tetapi orang tuanya menolak lamarannya karena Jazuli hanya penjual bakso dan hanya lulusan SMP. Menurut Rina, pekerjaan Jazuli lebih bersih dari dosa. Namun, orang tua Rina ingin menantu yang punya banyak peran dalam kehidupan sosial. Penjual bakso itu hanya nyumbang isi perut orang, katanya.

Waktu masih kuliah dulu, Rina pikir sekolah agama itu jauh dari dosa. Pikirnya siswanya pasti alim-alim. Ternyata ahlak siswanya lebih parah dibanding siswa sekolah negeri yang jadi favorit di kotanya. Bedanya hanya soal ketegasan hukum pacaran. Di sekolah negeri seakan dianggap baik atau tidak masalah. Di sekolah agama diharamkan. Tetapi kalau soal uang panas, menurutnya, sepertinya lebih parah.

Rina pernah curhat pada salah seorang mantan seniornya di organisasinya waktu kuliah. Dia seorang aktivis yang teguh pendirian dan sangat idealis. Rina merasa cocok dengannya. Tetapi, tanggapannya terasa aneh bagi Rina, "Itu uang rakyat, uang umat islam juga. Menurutku pemerintah kurang tepat memanfaatkan uang rakyat. Aku pun melakukan banyak cara untuk bisa memanfaatkan uang rakyat tersebut untuk kepentingan umat," jelasnya.

"Tapi kalau dipakai untuk kepentingan pribadi?"

"Itu lain lagi masalahnya. Tetapi jika masih digunakan untuk kemajuan lembaga pendidikan, menurutku sah-sah saja."

"Tapi itu kan korupsi?"

"Kamu terlalu polos. Melaju di jalur kiri saat berkendara itu memang benar, tapi jika ada bus besar dengan arah berlawanan dan melaju di jalur yang sama, mau bertahan?!" Ia memandang wajah Rina sejenak. "Mending saya minggir. Kalau perlu lempar batu ke arah sopirnya." Rina diam saja. "Apa saya kejam? mungkin saja.Tetapi itu pelajaran bagi para sopir yang suka ugal-ugalan. Ulah mereka membahayakan orang banyak." Rina seperti hendak bicara, tapi tidak jadi. "Pemerintah juga bukan malaikat. Tidak selalu benar. Diingatkan dengan demonstrasi pun belum tentu didengar."

Menurut Rina itu ada benarnya. Tetapi sulit untuk ia lakukan.

***

Orang tua Rina mulai merasa terganggu dengan desas-desus tetangga membicarakan Rina yang belum juga kawin. Rina merasa terdesak. Tetapi ia masih tetap pada pendiriannya: tidak mau menikah dengan pegawai. Tetapi ia juga takut untuk mengatakan pada orang tuanya kalau dia ingin menerima lamaran Jazuli yang dulu. Ia tahu, orang tuanya pasti merasa sangat malu. Orang tuanya sudah membiayainya kuliah mahal-mahal, malah menikah dengan penjual bakso.

Rina bingung.

baca juga "Cinta Bersemi di Pesantren Tempat Aku Tugas Ngajar" http://www.ladangcerita.com/2016/11/cerpen-cinta-bersemi-di-pesantren.html

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Nasib guru honorer yah begitu itu, aq pernah ngalamin sampai skrg pun demikian adanya.. nilai KKm juga dipatok harus 75 yah. ceritanya kerenn

15 Jun
Balas

iya, sebenarnya asal punya banyak kesempatan berbisnis, tidak masalah gajikecil, tapi guru kan harus melakukan evaluasi atas KBM, mempersiapka untuk KBM esoknya, perlu meningkatkan kwalitas diri juga terkait karirnya. Kalau semua mata pelajaran harus mencapai tarjet KKM, menurut saya tidak realistis, seharusnya pelajaran tertentu saja dan yang diminati siswa

16 Jun

Dilematis ya Pak Sunardi. Ditunggu lanjutan ceritanya pak. JAdi penasaran nih

16 Jun
Balas

hehe... nunggu wangsit lanjutannya... hidup memang kadang harus mengikhlaskan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain

16 Jun

KKM, oh, KKM, entah siapa pencetusnya, tidak berhenti membuat galau.

18 Jun
Balas

saya setuju dengan KKM asal untuk pelajaran tertentu saja, tidak semua. ada kesiswaan salah satu sekolah yang curhat, "Kita ini mengajari anak jujur, tapi kita sendiri berbohong," katanya sambil tertawa.

19 Jun

KKM nya tidak salah pak, yang salah adalah pengguna KKM, kenapa nilai siswa dipaksa memenuhi KKM, padahal belum dilakukan remedi, sehingga gur pelaku seperti itu yang selalu buat dosa, betulkan pak sunardi?

20 Jun
Balas

bisa jadi begitu. Seharusnya guru mengusahakan agar semua siswanya sesuai KKM, cuma, sepertinya jarang sekali sekolah yang bisa membuat nilai siswanya sesuai KKM dengan jujur. Biasanya dilaksanakan remidi tanpa memberi kesempatan belajar. KAdang dipaksakan, kalau nilai remidinya kecil, remidi lagi, sampek sesuai KKM, padahal seandainya diremidi lagi,bisa jadi turun lagi nilainya.

20 Jun

bisa jadi begitu. Seharusnya guru mengusahakan agar semua siswanya sesuai KKM, cuma, sepertinya jarang sekali sekolah yang bisa membuat nilai siswanya sesuai KKM dengan jujur. Biasanya dilaksanakan remidi tanpa memberi kesempatan belajar. KAdang dipaksakan, kalau nilai remidinya kecil, remidi lagi, sampek sesuai KKM, padahal seandainya diremidi lagi,bisa jadi turun lagi nilainya.

20 Jun

bisa jadi begitu. Seharusnya guru mengusahakan agar semua siswanya sesuai KKM, cuma, sepertinya jarang sekali sekolah yang bisa membuat nilai siswanya sesuai KKM dengan jujur. Biasanya dilaksanakan remidi tanpa memberi kesempatan belajar. KAdang dipaksakan, kalau nilai remidinya kecil, remidi lagi, sampek sesuai KKM, padahal seandainya diremidi lagi,bisa jadi turun lagi nilainya.

20 Jun

gangguan sinyal,,, jadi terposting 3 kali

20 Jun

gangguan sinyal,,, jadi terposting 3 kali

20 Jun

Dilematis ya, Pak. Itu kenyataan yang kita hadapi sebagai guru dari hari ke hari

16 Jun
Balas

belum lagi ancaman penjara... bahkan di beberapa daerah, guru juga terancam pengeroyokan oleh murid yang ingin naik kelas di dalam kelompoknya. KAtanya semakin berani berbuat kejahatan, semakin tinggi posisinya

17 Jun

belum lagi ancaman penjara... bahkan di beberapa daerah, guru juga terancam pengeroyokan oleh murid yang ingin naik kelas di dalam kelompoknya. KAtanya semakin berani berbuat kejahatan, semakin tinggi posisinya

17 Jun

Cerpen ini berasa realistis pak. :)

19 Jun
Balas

diambil dari kejadian2 nyata yang saya temui sendiri dan cerita rekan2 guru yang lain

19 Jun

Mantap ceritanya... sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Gambaran dunia pendidikan di Indonesia... jadi miris

10 Mar
Balas



search

New Post