Sunardi

Saya guru Bahasa Inggris, tinggal di Bondowoso, Kota Tape. Blog pribadi saya www.ladangcerita.com...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menjadi Guru Menjadi Siapa

Menjadi Guru Menjadi Siapa

Ada yang bilang guru adalah pahlawan tanpa jasa. Tapi guru di sekolah yang mampu memberi gaji 7 juta lebih, kurang tepat juga. Tetapi, jika menyebut nama GURU, yang muncul di benak kita adalah seorang pengajar/pendidik di sekolah. Seorang pengajar yang tidak berada di lembaga yang disebut sekolah, tidak disebut guru, contohnya di Madratsah disebut Ustadz dan Ustadzah; di Musholla disebut Kyai ada yang disebut Buya, dan sebutan lainnya.

Siapakah guru di mata masyarakat Indonesia? Seorang pahlawan-kah? Seorang buruh-kah? Babu-kah? Orang tua generasi-kah?

Saya ingat dulu waktu masih kecil. Lebih banyak waktu saya habiskan di rumah Pak De dari pada di rumah. Kebetulan Pak De seorang guru ngaji, penerus kakek. Di rumah kecil beliau saya sering menyaksikan warga sekitar mengadukan berbagai permasalahan: kesulitan hidup, konflik keluarga, konflik dengan tetangga, perkembangan bisnis, bencana, dll. Pernah ada seorang perempuan lari sambil nangis mengadu sama nenek, katanya dipukul suaminya. Seperti saya yang nangis dipukul teman dan mengadu sama bapak. Tetapi, tidak semua dari mereka memberi sesuatu sama Pak De, tapi ada juga yang bawa kue, kadang ngasih uang. Untuk kebutuhan hidup, beliau bertani. Pagi ke sawah, kadang sampai sore. Habis maghrib sama habis subuh ngajar ngaji. Tengah malam kadang ke sawah, ngontrol air.

Ustadz dan ustadzah di madratsah diniyah sering bilang, "Ilmu yang kalian pelajari ini untuk bekal akhirat," katanya. Sebenarnya saya dan teman-teman tidak paham seperti apa kampung akhirat itu. Tetapi, kami nurut aja, dan takut juga dengan ancaman siksa neraka. Indah juga sih bayangan surga yang digambarkan oleh beliau.

Kembali pada guru di sekolah umum, siapakah mereka? Nasehat yang saya ingat, "Sekolah biar masa depan kamu bagus/cerah." Bahkan di tahun 1995 mulai banyak isu perubahan besar. Kata bapak dan ibu guru, tahun 2000 adalah era globalisasi, segalanya dengan mesin. Jika tidak sekolah dan tidak punya ijazah akan hidup menderita. Bayangan saya dan beberapa teman waktu itu, jika tidak punya ijazah, sengsara dan meranalah hidup.

Tahun 2005 saya lulus SMK, rupanya sulit juga cari kerja. Akhirnya lanjut kuliah di FKIP Bahasa Inggris. Kata orang, jadi guru itu enak, gaji pasti tiap bulan, kerja tidak berat. Tetapi, ternyata ngeri juga ceritanya. Beberapa kenalan yang sudah lulus, ada yang menerima gaji Rp 50.000 per bulan. Ada yang bayar uang sogok 5 juta agar diterima jadi guru, dan rela tidak digaji. Akhirnya, saya pun nekad tidak ikut jalur sabar yang dilalui teman-teman. Saya langsung ikut perekrutan tutor/tentor di Kampung Inggris, Pare. Alhamdulillah di terima.

Bersyukur, saya tidak merasakan apa yang dirasakan teman-teman yang sabar. Kata mereka, "Sekeolah minta sangu (uang saku), kuliah minta sangu, jadi guru pun minta sangu juga." Saya tidak mengalami itu karena saya mencari gaji yang cukup atau lebih dari kebutuhan hidup saya. Saya pernah ngajar di SMP, Kursusan mahasiswa, MTs, SMK, MA, SMP; pernah juga kerja di tambak udang, di pabrik triplek, sales, dll.

Siapakah guru? Jika membaca postingan-postingan di grup guru di Facebook, sulit saya gambarkan perasaan saya. Mungkin benar kata Ust Abdul Somad, "Setiap kata yang bercerita tentang rasa itu dusta." Luapan kekecewaan mendominasi. Memang ada juga grup guru yang membahas perkembangan pendidikan, tapi jarang saya temui. Membaca curhatan guru di Facebook, seakan-akan status guru di negeri ini seperti kuli atau buruh, atau bahkan seperti babunya orang tua murid, jika ingat guru yang dipenjara, dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa. Pahlawan itu tidak dipenjarakan kan, Kawan? Mungkin lebih tepat disebut babu tanpa tanda jasa.

Tetapi, saya masih melihat ada jalan terang bagi para pendidik di negeri ini. Menurut saya, seharusnya posisi pendidik berada di posisi tertinggi dan terhormat di dalam negeri ini. Bahkan dalam Islam orang tua itu ada tiga: yang melahirkan, yang menikahkan (mertua), dan yang memberi ilmu (guru); yang terakhir ini lebih utama, katanya. Saya yakin, jika para guru bersatu, berproses bersama, apalagi sampai bisa mandiri membangun lembaga pendidikan kreatif dan aberkwalitas, in syaAllah banyak investor. Kata pendiri Gontor dalam buku Ajaran Kyai Gontor, "Gontor maju bukan karena dibantu, tapi gontor dibantu karena maju." Jadi, maju dulu, berbuat dulu, orang akan melihat karya kita.

Semoga tambah sukses semua guru, Aamiin.

baca juga: Dialog 3 Ilmuan (Ulamak) yang tidak tidur semalaman https://www.ladangcerita.com/2019/02/dialog-tiga-ilmuan-tidak-tidur.html?m=1

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post