Muhammad Fadli Dzul Ikram

Manusia adalah kuas-kuas kecil pada semesta sebagai canvasnya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menua Sendiri
24

Menua Sendiri

Sore itu suasana lumayan sejuk. Sang surya perlahan ingin berpamitan dengan langit kota Bogor kala itu. Tukang foto keliling, ibu-ibu bertopi caping, juga beberapa wisatawan asing mulai meninggalkan kebun teh di kota hujan tersebut.

“Cucumu sudah berapa, Qom?”

“Memangnya aku sudah terlihat seperti nenek-nenek?”

Mata Syamsudin melihat ujung rambut Qomariah lalu perlahan turun hingga ujung kaki dan kemudian naik ke mata wanita yang berumur setengah abad itu. Kini dua pasang bola mata itu saling menatap.

“Tidak, kamu masih terlihat cantik seperti dahulu.”

Qomariah pun tertawa sambil melepaskan pukulan kecil ke bahu Syamsudin, cinta pertamanya itu.

“Tukang merayu!”

“Jika aku tukang merayu pasti aku sudah bangkrut sekarang, rayuanku tak pernah mempan. Buktinya aku malah kamu tinggal kawin.”

Lagi-lagi Qomariah tertawa akan ocehan yang keluar dari mulut Syamsudin. Mereka berdua kini tengah berada di atas motor dengan Syamsudin sebagai pengemudinya. Sepanjang perjalanan mereka melewati warung-warung yang di dalamnya banyak remaja sedang minum kopi dan menghisap rokok. Tak sedikit mereka melihat beberapa ABG yang sedang bergandengan tangan dan berangkulan mesra di bawah langit sore kala itu.

“Kalau hidup ini bisa diulang kamu mau jadi apa, Syam?”

“Kenapa tanya begitu?”

“Aku ingin mengulang hidupku. Menjadi aku yang bisa hidup bersamamu.”

Qomariah mencoba menggoda Syamsudin dengan maksud menghilangkan keheningan di tengah kemacetan kota Bogor.

“Kenapa harus mengulang hidup? Kenapa tidak sekarang?” Syamsudin bertanya sambil menengok ke belakang menatap Qomariah

Pipi Qomariyah yang sudah sedikit keriput itu pun memerah. Qomariyah membuang pandangan dari mata Syamsudin agar tak terlihat salah tingkah di mata kekasih lamanya itu.

“Sekarang sisa umur kita tinggal sedikit. Aku lebih memilih memulai semuanya dari awal, aku ingin lebih lama hidup denganmu.” Qomariyah berkata demikian untuk mengelak perkataan Syamsudin.

“Kita masih 50 tahun, Qom. Sedikitnya kita masih punya sepuluh sampai dua puluh tahun lagi.” tukas Syamsudin dengan penuh harap

Qomariah tertawa kecil.

“Memangnya kamu dewa? Bisa menentukan umur seseorang begitu saja.”

“Justru itu, Qom. Barang kali kita masih punya lima puluh tahun lagi!”

Qomariah kian terbahak.

“Syamsudin.. Apa enaknya jadi manusia yang sudah tua renta? Melihat sesuatu sudah rabun, jalan sudah sulit, pikun pula. Berumur terlalu panjang justru siksaan bukan?”

Tangan kiri Syamsudin meraih tangan kiri Qomariah.

“Kita akan berumur panjang dan tetap abadi dengan tubuh kita saat ini.”

Lagi-lagi Qomariah tertawa kecil mendengar ocehan-ocehan tak masuk akal dari Syamsudin. Mereka kerap mengingat kembali impian mereka saat masih menjalin kasih asmara di bangku SMA dulu. Qomariah ingin mempunyai rumah di Bandung dengan taman kecil di halaman depan serta bugenvil dan kolam ikan yang menyejukan mata. Lalu mereka mempunyai anak yang mereka masukan ke sekolah favorit dimana kesehariannya menggunakan bahasa inggris dengan berbagai macam ekstrakurikuler dari karate sampai melukis, dari musik sampai berpidato dengan bahasa mandarin.

“Memang menyenangkan rasanya mengingat hal-hal indah tentang masa lalu, tapi masa lalu tetaplah masa lalu, Syam. Kita harus terima kenyataan bahwa kita terus bertambah tua.” Qomariah mencoba keluar dari percakapan tersebut.

“Tidak, Qom. Bagiku menjadi tua adalah ketika kita tak lagi tahu caranya jatuh cinta.”

Lagi-lagi Qomariah yang sedang berbicara serius itu tertawa karena jawaban Syamsudin. Mereka terus berjalan sambil bercakap-cakap tak tentu arah. Sesekali mereka berbicara tentang masa lampau, tentang beberapa tahun sebelum usia mereka saat ini. Sesekali juga mereka berbicara tentang beberapa tahun yang akan datang dari usia mereka saat ini. Bahkan Qomariah juga kerap membicarakan betapa megahnya tembok besar china.

Hingga kedua manusia itu berhenti di sebuah rumah.

“Kalau dulu kamu milih tetap sama aku, kamu sudah jadi istri pemilik sanggar teater terkenal, Qom,” kata Syamsudin dengan senyum menggoda. “Dan tak lama lagi suamimu akan mendapatkan penghargaan atas pertunjukannya yang menggemparkan negeri ini.”

“Kalau begitu kamu harus segera cari pendamping, Syam. Biar bisa kamu bagi kebahagiaanmu itu,” kata Qomariah. Tapi Syamsudin tak menanggapi itu.

Mereka pun memasuki rumah dengan Syamsudin yang membuka pintu rumah itu.

“Ini rumahmu, Syam?”

Tanya Qomariah sambil kedua matanya berkelana menatap seluruh isi ruangan utama rumah itu. Tak ada meja makan, tak ada kursi untuk tamu-tamu yang datang berkunjung. Yang ada hanya beberapa perlengkapan teater seperti pohon buatan, beberapa kostum prajurit perang, dan perabotan tetaer lainnya yang tergeletak berantakan di ruangan tersebut.

“Sanggar teater adalah rumahku dari dulu,” jawab Syamsudin sambil tersenyum.

“Karena itu dulu aku kawin sama orang lain.” kata Qomariah sambil melirik Syamsudin. “Perempuan mana yang mau diajak tinggal di sanggar teater?”

“Bukannya kamu yang selalu berbicara tentang kenyataan? Kenyataan bahwa kamu suka dengan segalala sesuatu yang tak lebih indah dari pada indah. Beijing… Melihat matahari tenggelam dari atas tembok raksasa setiap sore.” kata Syamsudin mengejek.

Beberapa tahun lalu, Qomariyah meninggalkan Syamsudin untuk kawin dengan diplomat yang baru saja ditugaskan ke Tiongkok.

Wajah Qomariah pun tampak masam. Buru-buru Syamsudin tangan Qomariah dan menuntunnya ke sebuah ruangan yang penuh dengan topeng.

“Sejak kamu pergi, aku selalu mencari cara untuk tak menua, untuk bisa hidup lebih lama. Dan kini aku pun menemukannya. Topeng-topeng ini bukan topeng biasa.”

Qomariah kembali tertawa, membuat Syamsudin menarik nafas lega. Qomariah mengira Syamsudin hanya sedang berusaha melucu di depannya.

“Kamu tidak percaya?” tanya Syamsudin untuk meyakinkan Qomariah.

“Memangnya kamu sudah pernah memakai salah satu dari topeng ajaibmu itu?” tanya Qomariah dengan maksud mengejek Syamsudin.

Syamsudin menggeleng.

“Aku hanya akan memakainya bersamamu, agar kita bisa sama-sama berhenti menua dan menjadi sepasang kekasih yang baru pertama kali jatuh cinta.”

Lagi-lagi Qomariah tertawa terbahak-bahak. “Sudah gila kamu, Syam!”

“Setiap pertunjukan yang bagus memang awalnya dianggap gila oleh beberapa orang” Syamsudin mengambil sebuah topeng dan meminta Qomariah untuk mengenakannya

“Pakailah, Qom!” kata Syamsudin sambil tangannya kirinya meraih tangan Qomariah.

“Sudah benar-benar sinting kamu, Syam!” bentak Qomariah sambil menarik kembali tangannya dari tangan pria yang makin bertingkah tidak jelas tersebut.

“Pakailah, Qom! Maka impian kita untuk hidup bersama akan terwujud.”

“Kenapa tidak kamu sendiri saja yang memakainya?!”

Suara Qomariah makin meninggi. Ia merasa tidak nyaman akan perlakuan Syamsudin.

“Aku tak ingin berhenti menua sendiri. Untuk apa hidup terlalu lama tanpa orang yang kita cinta. Bukankah ini alasan kamu meninggalkan suamimu dan memilih pergi denganku, cinta pertamamu?”

“Brengsek! Mana sudi aku menghabiskan sisa hidupku hanya untuk meladenimu!”

Qomariah tak bisa lagi menahan amarah. Suaranya tinggi membentak, wajahnya tegang, buru-buru ia keluar dari rumah itu. Meninggalkan perjaka itu menua sendirian.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post