Muhammad Sultan, S.Pd

Muhammad Sultan lahir di Kajang kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Agustus

Selengkapnya
Navigasi Web

SUNYI YANG KAU TINGGALKAN

Judul : SUNYI YANG KAU TINGGALKAN

 

Genre : Prosa Puitis 

Penulis : Sultan Chemistry 

 

Sejak kau tak lagi berpijak di beranda hidupku, aku menjadi padang luas tanpa matahari. Kau tahu, aku menyiram hari-hariku dengan doa, tapi langit tetap menolak hujanmu kembali. Bahkan bayangmu pun enggan mampir dalam mimpi, seolah dunia telah menutup jendela antara kita.

 

Kau pergi, dan waktu ikut membeku. Detik-detik menjadi reruntuhan jam yang menganga, menampakkan gigi-gigi luka. Aku mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal kecil—menyapu ruang hampa, mengelap meja tempat kau biasa menaruh secangkir senyum, atau menyusun ulang buku-buku puisi yang dulu kita baca bersama. Tapi semua itu hanya ilusi penyembuh. Sunyi tetap menatapku dari balik cermin, seperti kekasih gelap yang tak pernah benar-benar pergi.

 

Aku menjelma malam yang kehilangan rembulan. Gelapku tak lagi meneduhkan. Ia menakutkan, ia menggigilkan. Di dalam dada ini, ada hutan rindu yang terbakar perlahan, namun tak pernah habis terbakar. Asapnya mengepul di pelupuk mata, setiap kali seseorang menyebut namamu.

 

Aku telah mencium aroma tubuhmu dari wangi hujan yang menyentuh tanah. Aku telah mendengar tawamu dalam kepakan burung yang lewat di langit senja. Tapi semua itu fana—sekilas, sekejap, seperih detik yang mengingatkan: bahwa yang kutemui hanyalah fatamorgana dari kehilangan.

 

Kau tahu, sunyi yang kau tinggalkan padaku bukan sekadar diam. Ia bicara—pelan, tapi tajam. Ia berkata, "Aku adalah perpanjangan dari cintanya yang tak bisa ia bawa pergi." Ia menyusup seperti angin jendela yang tak diundang, dan tinggal seperti rahasia yang tak pernah selesai ditulis.

 

Kadang, aku ingin membenci kepergianmu. Tapi bagaimana bisa membenci sesuatu yang dulu pernah begitu aku cintai? Aku lebih memilih menuliskannya, menitipkannya pada aksara—karena barangkali, pada huruf-huruf itu, kau masih hidup. Masih duduk di sisi sunyiku, menatap langit yang sama, meski dari dunia yang berbeda.

 

Aku berbicara pada langit malam, kadang-kadang keras, kadang-kadang lirih.

“Apakah dia juga merindukanku seperti aku merindukannya?”

Tapi langit tetap bisu. Ia hanya menjawab dengan bintang,

dan aku tak pandai membaca cahaya yang tidak bersuara.

 

Waktu terus melaju, tapi aku tak bergerak.

Aku tetap di sini—di titik terakhir kau tinggalkan senyummu.

Aku merawatnya seperti merawat api kecil dalam badai.

Meski kupaham, cinta yang terlalu lama dijaga dalam kenangan

akan berubah menjadi candu, lalu jadi luka.

 

Namun biarlah.

Biarlah aku berdamai dengan sunyi ini.

Biarlah aku menua bersama sepi yang kau wariskan,

karena di dalam sunyi itu,

aku masih bisa memeluk namamu tanpa merasa bersalah.

 

Dan kelak, jika waktu berbaik hati mempertemukan kita kembali—

bukan di dunia ini, bukan di antara detak jantung fana—

aku akan menanyakan satu hal yang tak sempat kutanya dulu:

“Apakah aku pernah benar-benar kau cintai, atau hanya tempat singgah dalam badai?”

 

 

Bulukumba, 9. Juni, 2025

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post