Muh Fadhil Hasanudin

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

ILMU WILAYAH TEORI DAN MODEL MYDRAL, TEORI HIRSCHMAN, MIGRASI DAN KETIMPANGAN WILAYAH

Ø TEORI MYDRAL DAN MODEL MYDRAL

Karl Gunnar Myrdal atau kerap disapa dengan nama Myrdal, lahir pada tanggal 6 Desember 1898 di Gustafs, Dalarna, Swedia. Myrdal di pertengahan tahun 1950 melontarkan tesis keterbelakangan di negara-negara berkembang, tesis ini dikenal sebagai tesis cumulative causation (aneka sebab). Profesor Gunnar Myrdal melalui Teori Penyebab Kumulatif (Cumulative Causation Theory) berpendapat bahwa sebab utama ketimpangan regional adalah kuatnya dampak balik (backwash effects) dan lemahnya dampak sebar (spread effects).

· Dampak Balik (Backwash Effects)

Dampak balik adalah semua perubahan yang bersifat merugikan dari ekspansi ekonomi di suatu tempat karena sebab-sebab di luar tempat itu, yang meliputi dampak migrasi, perpindahan modal dan perdagangan serta keseluruhan dampak yang timbul dari proses sebab musabab sirkuler antara faktor-faktor baik non-ekonomi maupun ekonomi (Sutiono, dkk., 2018).

· Dampak Sebar (Spread Effects).

Dampak sebar merupakan dampak momentum pembangunan yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya (Jhingan, 2016).

Model Myrdal menjelaskan interaksi ruang yang terjadi antara wilayah yang telah maju dengan wilayah yang belum berkembang. Jika suatu pertumbuhan terjadi di suatu daerah, maka akan terjadi suatu aliran tenaga kerja, modal dan komoditi yang mendukung pertumbuhan tersebut, namun juga memberi dampak buruk pada wilayah sekitar, sehingga membuat ketimpangan regional.

Ø TEORI HIRSCHMAN

Hirschman memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect. Hirschman, Albert O (1970) Membedakan daerah di suatu negara menjadi daerah kaya dan daerah miskin. Dimana jika ada perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin menyempit berarti terjadi imbas yang baik atau disebut Trickling Down Effect. Sedangkan jika perbedaan antara daerah kaya dan daerah miskin itu melebar maka terjadi imbas yang kurang baik atau terjadi proses pengkutuban atau Polarization Effect. Hirschman, Albert O (1970) Membedakan daerah di suatu negara menjadi daerah kaya dan daerah miskin. Dimana jika ada perbedaan antara kedua daerah tersebut semakin menyempit berarti terjadi imbas yang baik atau disebut Trickling Down Effect. Sedangkan jika perbedaan antara daerah kaya dan daerah miskin itu melebar maka terjadi imbas yang kurang baik atau terjadi proses pengkutuban atau Polarization Effect.

· Teori Trickling-Down Effect

Efek positif dari kutub pertumbuhan adalah trickle down effect, yang merupakan gejala saat adanya wilayah yang maju menjadi kutub pertumbuhan, akan turut mempengaruhi kemajuan di wilayah yang ada di pinggirannya. Teori trickle down effect menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terpusat pada satu daerah bisa menetes ke daerah sehingga diharapkan terjadi pertumbuhan ekonomi.

Effect trickling down meliputi tujuan komoditi North yang diproduksi di South dan gerakan modal keselatan, disamping North dapat menarik tenaga selatan yang cukup untuk menjamin meningkatnya produktivitas tenaga kerja marjinal dan tingkat konsomsi perkapirta South. Hirschman bersikeras bahwa effect trickling down hanya bisa terjadi bila di North membutuhkan South untuk ekspansinya sendiri.

· Teori Polarization Effect

Kalau efek negatifnya adalah polarization effect, yang menjelaskan bahwa gejala komplementaritas lemah akan terjadi dampak polarisasi (pembedaan). Jadi, bila ada wilayah-wilayah yang tidak menyatu secara kelompok alias beragam, maka akan terjadi dampak polarisasi (perbedaan) di antara wilayah-wilayah tersebut, yang kemudian dapat menyebabkan pemekaran suatu wilayah karena adanya ketidakcocokan yang disebabkan adanya gejala komplementaritas.

Kesimpulan dari teori Hirschman dalam jangka panjang cenderung terjadi konvergensi pendapatan perkapita. Hal ini disebabkan oleh adanya diseconomics return to scale effect karena kemacetan indusri-industri dan ketidakcukupan pasar domestik. Pada akhirnya menurut Hirchman, trickle down effect akan cenderung mendominasi polarization effect selama komplementaritas kuat antar daerah.

Hirschman menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran pembengunan yang efektif, Sedangkan Myrdal menekankan pada langkah-langkah kebijaksanaan untuk melemahkan backwash effets dan meperkuat sread effeetc agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah keatas, dengan demikian semakin memperkecil ketimpangan regional.

Ø MIGRASI DAN KETIMPANGAN WILAYAH

Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain.

Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, migrasi sebagai perpindahan tempat tinggal yang melampaui batas provinsi, dengan batas waktu yang telah tinggal di tempat tujuan selama enam bulan atau lebih. Jadi secara umum migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah asal menuju daerah tujuan dengan tujuan untuk menetap.

· Jenis – jenis Migrasi

1. Migrasi Internasional, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain.

2. Migrasi Internal, perpindahan yang terjadi dalam satu negara, misalnya antarpropinsi, antar kota/kabupaten, migrasi perdesaan ke perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan dan seterusnya. Jenis migrasi yang terjadi antar unit administratif selama masih dalam satu negara.

3. Digunakan batasan waktu untuk migran; Artinya seseorang dikatakan migran, jika dia tinggal di tempat yang baru atau berniat tinggal di tempat yang baru itu paling sedikit 6 bulan lamanya.

4. Mobilitas penduduk yang tidak bersifat menetap;

a). Migrasi sirkuler atau migrasi musiman, yakni migrasi yang terjadi jika seseorang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud menetap di tempat tujuan.

b). Migrasi ulang-alik (commuter) yakni orang yang setiap hari meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke kota lain untuk bekerja atau berdagang dan sebagainya tetapi pulang pada sore harinya.

· Sifat Migrasi

Dalam sosiologi menurut sifatnya migrasi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:

1. Migrasi vertikal yaitu perubahan status sosial dengan melihat kedudukan generasi, misalnya melihat status kedudukan ayah.

2. Migrasi horisontal yaitu perpindahan penduduk secara teritorial, spasial atau geografis

· Faktor – faktor yang Mempengaruhi Migrasi

1. Faktor Pendorong (push factor);

a. Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu atau bahan dari pertanian.

b. Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di perdesaan yang makin menyempit)

c. Adanya tekanan-tekanan politik, agama, suku sehingga mengganggu hak azasi penduduk di daerah asal.

d. Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.

e. Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.

2. Faktor-faktor Penarik (pull factor);

a. Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaikan taraf hidup.

b. Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.

c. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.

d. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar tersebut.

Ketimpangan wilayah menurut ILO adalah perbedaan performa ekonomi dan kesejahteraan antar wilayah. Pendapat lain dikemukakan oleh Karin Vorauer (2007), ketimpangan wilayah adalah ketidakseimbangan struktur spasial didalam wilayah atau antar wilayah. Menurut Sirojuzilam (2005) Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah didalam wilayah suatu Negara. Sedangkan menurut Kutscherauer, dkk (2010) ketimpangan wilayah adalah perbedaan atau ketidaksamaan karakteristik, fenomena atau kondisi lokasi dan terjadi minimal diantara dua entitas dari struktur wilayah. Ketimpangan harus dinilai dari beberapa aspek seperti sosial, kondisi lokasi, politik dan administrasi, kelembagaan, lingkungan, infrastruktur umum, dan lain-lain (Gajdos, 2006).

· Faktor yang Berpengaruh terhadap Ketimpangan Wilayah

1. Perbedaan kualitas sumberdaya manusia

Perbedaan kualitas sumberdaya manusia yang dimaksud adalah tingkat pendidikan masyarakat, serta tingkat pendidikan pekerja. Tingkat pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat dan nilai jual masyarakat itu sendiri. Pekerja dengan tingkat pendidikan rendah dan kemampuan rendah akan sulit mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang baik.

2. Perbedaan angka pengangguran

Perbedaan kemampuan penyerapan tenaga kerja suatu wilayah dapat menjadi salah satu penyebab tingginya angka pengangguran, selain itu rendahnya kemampuan masyarakat juga membuat masyarakat tersebut kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

3. Perbedaan taraf/ tingkat kesehatan masyarakat

Perbedaan taraf/ tingkat kesehatan yang dimaksud adalah angka harapan hidup serta angka kematian bayi.

4. Perbedaan fasilitas pendidikan serta Kesehatan

Banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan akan mempermudah masyarakat untuk mengakses atau menjangkau pendidikan yang lebih baik serta mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik pula, sehingga tingkat kesehatan dan pendidikan masyarakat dapat meningkat.

5. Perbedaan kualitas infrastruktur

Kualitas infrastruktur yang dimaksud adalah jalan sebagai prasarana transportasi. Jalan sangat penting bagi mobilitas barang dan jasa, migrasi maupun lainnya. Terhambatnya mobilitas akan berdampak pada terhambatnya hubungan antar wilayah. Kualitas infrastruktur juga menjadi salah satu daya tarik bagi investor, jika infrastruktur buruk maka investor akan enggan untuk menanamkan modalnya di wilayah tersebut

6. Perbedaan jumlah investasi

Investasi baik berupa penanaman modal asing maupun dalam negeri dapat berdampak pada kemampuan suatu wilayah untuk melakukan pembangunan. Investasi ini sangat diperlukan oleh wilayah untuk memperbaiki keadaan wilayahnya seperti memperbaiki infrastruktur, meningkatkan fasilitas publik dan lainnya.

7. Perbedaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Perbedaan pendapatan asli daerah tentu sangat mempengaruhi performa perekonomian suatu wilayah. Pendapatan daerah dapat membiayai pembangunan-pembangunan yang dilakukan wilayah tersebut.

INTERAKSI ANTAR WILAYAH DAN JEJARING WILAYAH

Interaksi wilayah sendiri adalah suatu hubungan timbal balik yang saling berpengaruh antara dua wilayah atau lebih, yang dapat menimbulkan gejala, kenampakan atau permasalahan baru. Interaksi tidak hanya terbatas pada gerak pindah manusianya, melainkan juga menyangkut barang dan informasi yang menyertai tingkah laku manusia. Karena hal itu, pola dan kekuatan interaksi antar wilayah sangat dipengaruhi oleh keadaan alam dan sosial daerah bersangkutan, serta kemudahan-kemudahan yang dapat mempercepat proses hubungan antarwilayah tersebut.

Edward Ullman mengemukakan bahwa ada tiga faktor utama yang mendasari atau memengaruhi timbulnya interaksi antar wilayah, yaitu sebagai berikut:

1. Wilayah-wilayah yang Saling Melengkapi (Regional Complementarity)

Hubungan wilayah yang saling melengkapi dimungkinkan karena adanya perbedaan wilayah dalam ketersediaan dan kemampuan sumber daya. Namun, akan ada wilayah yang surplus, sedangkan wilayah lain mengalami kekurangan sumber daya seperti hasil tambang, hutan, pertanian, barang industri, dan sebagainya. Keadaan ini mendorong terjadinya interaksi yang didasarkan saling membutuhkan.

2. Kesempatan untuk Saling Berintervensi (Intervening Opportunity)

Kesempatan berinvestasi merupakan suatu kemungkinan perantara yang dapat menghambat timbulnya interaksi antar wilayah atau dapat menimbulkan suatu persaingan antar wilayah. Secara potensial antara wilayah A dan B sangat mungkin terjadi hubungan timbal balik, sebab A kelebihan sumber daya X dan kekurangan sumber daya Y, sedangkan keadaan di B sebaliknya. Akan tetapi, karena kebutuhan masing-masing wilayah itu secara langsung telah dipenuhi oleh wilayah C, maka interaksi antara wilayah A dan B menjadi lemah. Dalam hal ini wilayah C berperan sebagai alternatif pengganti suatu sumber daya bagi wilayah A atau wilayah B.

3. Kemudahan Transfer atau Pemindahan dalam Ruang (Spatial Transfer Ability)

Faktor lain yang mempengaruhi pola interaksi antarwilayah ialah adanya kemudahan pemindahan dalam ruang, baik proses pemindahan manusia, barang, maupun informasi.

Kemudahan pemindahan dalam ruang sangat bergantung pada hal-hal berikut:

a. Jarak mutlak dan relatif antar wilayah

b. Biaya angkut atau transportasi untuk memindahkan manusia, barang, dan informasi dari satu tempat ke tempat lain

c. Kemudahan dan kelancaran prasarana transportasi antarwilayah, seperti kondisi jalan, relief wilayah, jumlah kendaraan sebagai sarana transportasi, dan sebagainya.

Sementara itu, interaksi antar wilayah pada dasarnya akan memberikan dampak positif untuk kedua wilayah. Adapun, interaksi positif antara desa dengan kota terwujud dalam hal-hal berikut:

a. Terpenuhinya kebutuhan desa dan kota, meliputi produk dan bahan baku yang mendukung proses pembangunan

b. Terpenuhinya kebutuhan terampil baik bagi desa maupun kota. Desa menghasilkan tenaga kerja bagi industri di kota, sedangkan kota menghasilkan tenaga terdidik yang berperan dalam kemajuan desa

c. Berlangsungnya proses pembangunan yang seimbang antara desa dan kota.

Secara sederhana, jejaring (networks) dapat diartikan sebagai grafik keterkaitan yang mencerminkan hubungan yang simetris maupun asimetris antar objek yang terpisah. Wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antarbagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Jejaring wilayah terbentuk karena adanya keterkaitan antar wilayah yang berkaitan dengan hubungan antar wilayah, dan diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagaihal yang saling mempengaruhi, sedang interdepency dapat diartikan saling bergantung.

Sistem jejaring wilayah muncul akibat adanya keterkaitan antar wilayah karena adanya aliran berupa uang, barang, jasa, investasi, maupun transportasi. Mike Douglas (1998) menggambarkan keterkaitan kota dan desa dalam bentuk saling ketergantungan, bukannya hubungan satu arah kota ke desa atau desa ke kota. Keterkaitan kotadesa dapat dilihat sebagai sama-sama saling memperkuat (mutuallly reinforcing). Edward Ullman mengemukakan bahwa ada tiga faktor utama yang mendasari atau memengaruhi timbulnya interaksi antar wilayah, yaitu sebagai berikut:

1. Wilayah-wilayah yang Saling Melengkapi (Regional Complementarity)

2. Kesempatan untuk Saling Berintervensi (Intervening Opportunity)

3. Transfer atau Pemindahan dalam Ruang (Spatial Transfer Ability)

SUMBER

Aprianoor, P., & Muktiali, M. (2015). Kajian Ketimpangan Wilayah di Provinsi Jawa Barat. Teknik PWK (Perencanaan Wilayah Kota), 4(4), 484-498.

Bayu, F. S. (2018). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG MASYARAKAT DESA PONDOK KECAMATAN BABADAN KABUPATEN PONOROGO MENJADI TKW (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Ponorogo).

Eko, T. P., & Rudi, H. (2009). E-book Geografi

Isnowati, S. (2007). Pengujian Hipotesis Kuznets. Jurnal Bisnis dan ekonomi, 14(1).

Murtini, S. 2016. Geografi Pengembangan Wilayah. Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.

Ravenstein. 1985. Teori Migrasi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada

Sari, Y. A., Giyarsih, S. R., & Pangaribowo, E. H. (2018). KAJIAN KETIMPANGAN WILAYAH DI KAWASAN SUBOSUKAWONOSRATEN TAHUN 2001-2016. Jurnal Kawistara, 8(3), 288-295.

Sutiono, F., & Syafitri, W. (2018). Belanja Kementerian/Lembaga, Belanja APBD, Kontribusi Sektoral, dan Ketimpangan Pendapatan di Jawa Timur. Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik, 3(3), 186-201.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasannya

08 Dec
Balas

makasih ulasannya

06 Dec
Balas



search

New Post