Munira Dharma Ningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Malam Pertama

Malam Pertama

Wajah sumringah terlihat dari kedua pengantin. Pasangan yang cocok, begitu menurut para tamu undangan. Setelah memberi ucapan selamat kepada para pengantin, satu persatu tamu undangan meninggalkan rumah Rani. Suasana ramai mulai usai. Tapi tidak benar-benar sepi. Karena keluarga Rani masih berkumpul di sana. Sesekali mereka tertawa di tengah obrolan mereka.

Setelah mengganti pakaian pengantinnya, Atila bergabung dengan keluarga Rani di teras. Dia merasa nyaman bersama mereka. Sepupu-sepupu Rani sesekali memancing Atila bercerita. Mulai dari musik dan olahraga. Sehingga mereka terlibat obrolan yang menyenangkan. Tanpa terasa hari mulai memasuki waktu sholat dhuhur.

Sementara Rani membersihkan riasan wajahnya di dalam kamar. Membutuhkan waktu yang cukup lama membersihkan riasan di wajahnya. Satu jam dia melakukannya. Atila yang kembali ke kamarnya mengajaknya shalat dhuhur. Shalat berjemaah pertama yang mereka lakukan.

Ketegangan yang diakibatkan oleh beberapa hari untuk mempersiapkan pernikahan, rasa lelah, dan rasa bahagia yang luar biasa pada hari itu membuat mereka berdua sangat kelelahan. Ada sedikit aneh di hati mereka karena hanya berdua di kamar dan di ranjang yang sama. Itu yang membuat mereka kikuk. Mereka sama-sama lelah luar biasa dan yang mereka butuhkan hanya satu, tidur yang sangat nyenyak. Tapi cuaca yang panas membuat mereka tidak bisa tidur. Kipas angin di kamar tidak bisa menghilangkan rasa gerah di siang itu.

“Ahirnya aku bisa menikah dengan wanita yang aku cintai, aku bahagia, Ran,” bisik Atila di telinga Rani yang tengah dipeluknya dari belakang.

“Aku juga, Mas. Tapi aku tidak pernah menyangka akan secepat ini,” ujar Rani

“Mas?! Kamu panggil aku “Mas”?” Atila tersenyum kegirangan.

Atila melepaskan pelukannya dan memegang tangan Rani. Dia tatap mata Rani yang indah untuk mendapatkan jawabannya.

“Iya, Mas Atila. Sekarang kan kamu telah menjadi suamiku. Sebagai hormat saya dan panggilan sayang saya buat kamu,” ujar Rani sambil mendaratkan ciuman di pipi Atila.

“Terima kasih, Ning Rani!” itulah panggilan Atila sayang pada Rani.

Dipeluknya perempuan yang kini menjadi isterinya. Kini mereka berdua punya panggilan sayang masing-masing. Sebenarnya selisih umur mereka dua tahun. Rani dua tahun lebih tua dari Atila. Jadi Atila kurang merasa nyaman kalau memanggil dia “Adik”.

Suasana rumah Rani kembali seperti sedia kala. Sore hari setelah beres-beres, saudaranya yang hadir di pernikahannya tadi sudah pulang ke rumah masing-masing. Panas yang terik di siang hari berganti mendung.

Menjelang malam air mulai turun perlahan. Hujan yang turun pada malam itu seolah menandakan banyaknya rejeki yang sudah diberikan Tuhan selepas hari pernikahan Rani dan Atila. Ternyata hujan cukup lama dan semakin malam bertambah deras. Keluarga Rani yang sudah lelah setelah acara pernikahan semakin nyaman menikmati istirahatnya.

Pukul sembilam malam. Sebenarnya Atila ingin cepat istirahat malam ini, tapi dia masih ada di teras rumah menemani Adi, suami Ima yang belum tidur. Dia merasa tidak nyaman meninggalkan Adi sendirian. Setelah satu jam dia ngobrol bersama Adi, rasa kantuknya tidak tertahan.

“Saya tidur dulu, Mas Adi,” Atila pamit masuk ke kamarnya.

“Ya, istirahat sana. Jangan sampai pengantinmu menunggu terlalu lama,” ujar Adi dengan senyum simpulnya.

Senyum yang aneh. Tapi Atila tidak mau memikirkannya. Dia merindukan ranjang pengantinya yang harum dan berseprei merah muda mengkilat. Ia ingin tidur, karena lelah dan mengantuk yang tak tertahan. Sesampainya di kamar, Atila melihat isterinya belum tidur, ternyata Rani masih terjaga menunggunya.

Hujan mulai sedikit reda. Gerimis di luar dan dingin yang terasa. Membuat orang-orang cepat terlelap. Cicak-cicak di dinding pun berdecak, turut merayakan kebahagiaan Atila dan Rani. Kini mereka telah bersatu menjadi suami isteri seutuhnya.

Adzan berkumandang. Atila membuka mata. Masih pukul tiga pagi. Ternyata adzan untuk membangunkan muslimin untuk melaksanakan shalat tahajud. Isterinya masih terlelap di pelukannya. Pelan-pelan Atila melepaskan Rani dari pelukanya dan turun dari ranjang pengantinya.

“Mau kemana, Mas?” ternyata Rani terbangun.

Ketika Atila bisikkan sesuatu ke telinganya, Rani tersenyum. Rani beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengambilkan Atila handuk dari lemarinya.

“Ooo, tapi ini masih jam tiga, Mas? Masih belum subuh,” ujar Rani sambil menyerahkan handuk buat Atila

“Terima kasih, Ning. Mumpung yang lain masih tidur, kita mandi duluan. Sekalian kita bisa shalat tahajud,” Atila mengerlingkan matanya seraya menjentikkan jarinya ke hidung Rani.

Atila pelan-pelan melangkah ke dapur. Kamar mandi tepat di sisi kiri dapur. Pelan-pelan pula dia membuka pintu belakang, agar tidak membangunkan orang rumah. Sesampai di kamar mandi dia berusaha meminimalisir suara air ketika mandi. itu pun berjalan cukup baik. Dia kembali ke kamar dan meminta isterinya untuk segera mandi. Dia akan menunggu isterinya untuk shalat bersama.

Sarapan pagi pun tiba. Rani memandang suaminya yang sedang terlelap. Sebenarnya dia tidak tega membangunkannya. Ada rasa lelah di wajah suaminya yang sedang tidur. Tapi ibu memintaya untuk mengajak Atila sarapan bersama. Disentuhnya pipi Atila.

Atila membuka matanya. Dia melihat perempuan cantik di depannya. Dia merasa kecantikan perempuan ini mengalahkan suasana pagi. Digenggamnya tangan Rani yang tengah menyentuh pipinya. Ternyata ini bukan mimpi. Atila membalas senyuman Rani.

“Ayo bangun! Ibu mengajak kita sarapan bersama,” ajak Rani kepada suaminya masih malas turun dari tempat tidurnya.

“Wah… sudah pukul setengah tujuh. Ayo, Sayang! Jangan sampai Ibu menunggu kita terlalu lama,” segera Atila beranjak dari tempat tidurnya.

Setelah merapikan diri dan beruaha tampil semenarik mungkin, mereka melangkah ke dapur. Keluarga Rani menunggu mereka di meja makan. Sesampainya di sana, mereka mendapati wajah wajah menyelidik, senyum yang aneh, dan beberapa kalimat yang lebih terdengar menggoda.

Atila merasa aneh ketika keluarga Rani memandang rambutnya yang sedikit basah. Dia pun melirik isterinya. Isterinya pun kikuk melihat tatapan mereka.

“Ayo, duduk. Kita sarapan,” suara ibu memecah suasana yang sedikit canggung itu.

Sarapan pertama bersama sebagai pasangan suami isteri dan keluarga baru. Pagi termanis bersama mereka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi

12 Nov
Balas

Salam literasi bapak

13 Nov

Hehehe pengalaman pertama ya

12 Nov
Balas

Pertama tak terluoakan ekooh

13 Nov

Kuereeeen.......salam kenal salam literasi (ijin follow)

12 Nov
Balas

Terima kasih pak jhoni, salam literasi

12 Nov

Keren tulisannya. Salam sehat dan sukses

12 Nov
Balas

Terima kasih, Pak Sudi. Salam literasi

12 Nov



search

New Post