Munira Dharma Ningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Matahari Pasti Datang Menggantikan Rembulan (5)

Setelah pertemuan di hari Minggu itu hampir tiap hari Atila datang menemui Rani. Kadang di jam istirahat dia mampir ke studio tempat Rani bekerja. Atila mudah beragaul dengan siapapun. Teman-teman kerja Rani senang dengan kehadirannya. Malah Atila lebih banyak ngobrol dengan mereka ketika Rani masih cuap-cuap di ruang siar. Dia hanya menatap perempuan yang dikaguminya lewat kaca ruang siar.

“Deretan lagu pop terbaik hari ini akan menemani Minggu pagi kita hari ini. Selamat pagi semuanya!” Rani menyapa pendengar radio.

Lagu Kisah Klasik untuk Masa Depan dari Sheila on 7 mengalun mengawali acara pagi di jam siar kedua yang Rani bawakan.

Pagi ini ia sendirian di studio. Begitulah kalau hari Minggu, teman-temannya hanya datang setengah jam sebelum jam siar mereka. Ketika ia bangkit dari tempat duduknya, dibalik kaca ruang siar ia melihat lelaki yang kini menemani hari-harinya. Atila duduk di front office sambil membaca koran. Rani menyapanya dengan melambaikan tangan kepada Atila dan memberi kode untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Tumben pagi-pagi sudah sampai di sini?!” sapa Rani kepada Atila setelah memutar lagu untuk pendengarnya.

“Biasanya aku tidur lagi habis subuh. Tapi tidak bisa. Ahirnya aku meluncur ke sini. Gak apa-apa, kan?” senyum mengembang dari bibir Atila.

“Gak apa-apa. Lumayan aku tidak sendiri di sini. Ok, aku balik ke ruang siar dulu, ya!” Rina kembali ke ruang siar, karena lagu yang diputar akan segera selesai.

Di sela-sela Rani bekerja, Atila mengatakan bahwa dia aka mengajak Rani sarapan. Sebenarnya Atila berniat untuk mengajak Rani ke rumahnya. Untuk meperkenalkan Rani ke ayah dan Ibunya sebagai calon isterinya. Tapi dia belum berani untuk mengatakannya.

Setelah satu jam teman-teman kerja Rani yang akan menggantikannya datang satu persatu. Si centil Yani datang besama pacarnya. Gadis berkacamata itu selalu membuat suasana ceria. Dia pandai bercerita. Selalu ada cerita baru dari mulutnya yag mungil.

Sambil menunggu waktu jam siarnya, Yana dan Eko menemani Atila yang sedang menunggu Rani. Lima belas menit kemudian adalah waktu Yani untuk cuap-cuap. Yani menyiapkan daftar lagu dan materi untuk hari ini.

“Yan, Aku langsung pulang, ya!” Rani menghampiri Yana di depan lokernya.

“Ok, kayaknya kalian ada acara?” Yana senyum-senyum mengoda Rani.

“Sekedar sarapan, Yan,” jawab Rani. Kemudian dia kembali ke ruang siar untuk menutup acara.

Setelah pekerjaannya selesai, Rani bergabung bersama Eko dan Atila yang sedang mengobrol. Obrolan dunia laki-laki. Seputar pekerjaan mereka berdua.

Perut Rani mulai bernyanyi. Dia memang belum sempat sarapan. Karena pukul setengah enam dia harus stand by di studio. Rani memberi kode dengan anggukan kepada Atila untuk meninggalkan studio bersamanya.

“Sepertinya ada yang sedang menahan lapar,” Atila melirik rani.

“Kami pulang dulu, Ko. Kita lanjutkan lagi kapan-kapan,” Atila menjabat tangan Eko.

Sebelum meninggalkan studioAtila dan Rani melambaikan tangan kepada Yana yang sedang berada di ruang siar .

Dengan bersepeda motor, sepuluh menit mereka sampai di warung nasi pecel. Hari ini tak begitu ramai. Di dalam warung hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati sarapan. Nasi pecel memang cocok untuk sarapan. Ternyata selera mereka sama. Dua porsi nasi pecel dan dua gelas teh hangat mereka pesan.

Atila teringat niatnya untuk memperkenalkan Rani kepada kedua orang tuanya. Harapannya semoga Rani tidak menolaknya. Dia menunggu sarapan Rani habis.

“Ada acara hari ini, Ran?” Tanya Atila sambil membenarkan posisi duduknya.

“Gak ada. Habis ini saya langsung pulang,” gadis itu perlahan minum separuh dari segelas teh yang ada di depannya.

“Aku mau mengajakmu ke rumahku,” Atila menatap Rani menunggu jawaban darinya.

Rani memandang Atila. Di dalam hatinya mulai bertanya, apa maksud lelaki di depannya mengajak ke rumahnya. Cukup lama Rani terdiam. Tapi dia mulai berpikir, tidak ada enak kalo menolak laki-laki yang selama ini baik kepadanya. Rani mengangguk sambil tersenyum pada laki-laki yang menunggu jawaban darinya.

Setelah membayar tagihan nasi pecel dan teh hangat mereka meninggalkan warung nasi pecel tersebut. Mereka langsung menuju ke rumah Atila. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke sana. Apalagi di hari Minggu. Jalan raya di Pamekasan tidak begitu padat seperti hari kerja. Masyarakat menikmati hari libur di rumah atau ke luar kota.

Rumah yang sangat sederhana. Itulah rumah Atila. Saat itu keluarga Atila sedang berkumpul di ruang tamu. Ada paman Atila juga di situ. Di saat mereka bercengkrama, perhatian mereka tertuju ke pintu. Ada Atila bersama seorang perempuan muda yang belum mereka kenal.

Atila mengajak Rani masuk dan mempersilahkan dia duduk. Ruang tamu yang cukup kecil dengan kursi yang mulai lusuh. Sebelum Rani duduk, sambil tersenyum dia menyalami satu persatu keluarga Atila.

“Aku pulang dulu, ya!” Rahman paman Atila beranjak dari tempat duduknya.

“Mau kemana, Om? Kita sudah lama gak ngobrol,” Atila mengantar pamannya ke pintu.

Sebelum Om Rahman bekerja di Sampang, dia adalah teman ngobrol Atila. Umurnya tidak jauh dengan Atila. Om Rahman adalah adik bungsu ibu Atila dari enam saudaranya.

“Satu jam lagi aku ada acara di Sampang. Tapi sore aku sudah balik. Nanti malam kita ngopi, ya! Kamu gak ada acara, kan?” senyum Om Rahman menggoda Atila.

“Kamu serius dengannya? Kok gak pernah cerita dengan Om?,” bisik Om Rahman ke Atila.

“Ok, kita nanti malam ngopi, Om,” jawab Atila sebagai kode bahwa dia akan menceritak hal ini pada Om Rahman.

Setelah Om Rahman pergi, Atila kembali masuk ke rumah. Mila adiknya sedang menyuguhkan secangkir teh buat Rani. Kini di ruang tamu hanya ada ibu Atila, Rani dan Atila. Adik-adik Atila kini menonton telivisi di ruang keluarga.

Atila memperkenalkan Rani kepada ayah dan ibunya. Orang tua Atila sangat ramah kepada siapapun. Pribadi mereka tidak jauh dengan Atila. Atila adalah cerminan mereka. Rani tidak canggung terlibat dengan percakapan dengan mereka. Tidak banyak yang ditanyakan orang tua Atila kepada Rani. Mereka hanya bertanya alamat rumah Rani. Tidak sulit untuk mengetahui alamat rumah Rani. Karena mereka masih berada di kota yang sama.

“Kalian tadi datang dari mana?,” tanya ibu Atila kepad Rani.

“Dari studio radio tempat saya bekerja, Bu,” jawab Rani.

Rani menceritakan kepada ibu Atila bahwa dia bekerja di Radio sebagai penyiar. Atila menjemputnya dan mengajak ke rumahnya. Melihat keakraban orang tuanya dan Rani, Atila sangat gembira.

“Silahkan diminum tehnya dan dicicipi kuenya. Saya tinggal dulu ke dapur. Saya mau masak dulu,” ibu Atila kemudian beranjak ke dapur meninggalkan mereka berdua di tuang tamu.

Setelah makan siang bersama keluarga Atila, Rani pulang diantar Atila. Walaupun sebentar bersama mereka, Rani merasa senang. Karena dia diterima dengan baik oleh keluarga Atila.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post