Munira Dharma Ningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
RANTING YANG PATAH

RANTING YANG PATAH

Telepon itu tidak lagi berdering untukku. Sudah satu bulan tidak kudengar lagi suara itu. Hanya alunan musik radio yang menemani hari sepiku. Rindu yang kurasakan bagai kemarau menantikan sang hujan.

Seperti malam ini, malam yang hening. Di saat semua berangkat ke peraduan, aku hanya duduk terpaku di depan telivisi. Menatap pesawat telepon yang ada di sisi kanan telivisi. Film laga yang tayang malam ini hanya sekedar menemaniku. Satu jam menunggu, tidak ada dering yang biasa berbunyi di waktu seperti sekarang. Ahirnya mata ini mengantuk.

Keesokan harinya aku berniat menunggu sesorang yang kupanggil Gun. Aku selalu menunggunya setiap hari. Mungkin saja dia memberikan kejutan untukku dengan kehadirannya. Tapi lebih dari satu bulan tidak juga di muncul. Kupencet nomor yang biasa untuk menghubunginya. Nomor pribadi atau telepon kantor. Namun tidak ada jawaban.

“Luky, kenapa Gun sangat sulit dihubungi?” dengan harapan akan ada kabar yang menggembirakan dari Luky sahabat dan teman kerja Gun.

“Iyakah?!” Luky menjawab dengan heran.

Kemudian dia menceritakan tentang kedekatanmu dengan teman baru di tempat kerja. Tapi aku tidak pernah berprasangka buruk. Itu hanyalah sekedar teman. Karena aku mengenal cukup lama dirimu.

“Tolong sampaikan kepadanya kalau aku telepon,” aku mengahiri percakapan dengan Luky.

Sudah satu minggu hujan menyapa bumi. Kerinduan kemarau sudah terobati oleh rinai air. Tapi tidak denganku yang masih menahan rindu. Matahari yang meringai, kini tertutup awan. Awan yang tebal membawa kabar akan datangnya badai malam ini. Angin bertambah kencang. Perlahan tanah mulai basah. Sawah mulai tergenang. Jalan kini mulai basah kuyup. Banyak genangan di sana sini. Aku memandang sawah di belakang rumah lewat jendela. Perasaannku mengatakan bahwa hujan akan turun cukup lama.

Hari beranjak sore, hujan belum berhenti. Malah bertambah deras. Langit sepertinya mulai bersedih. Entah karena ditinggal kemarau atau karena yang lainnya. Angin mulai berhembus kencang. Dingin mulai menusuk tulang. Rasa dingin ini mengingatkan aku akan rindu itu.

Saat itu aku merasa hujan terlalu kejam. Dia kadang datang saat tak diharapkan. Burung-burung pun tak menyukainya. Mereka terpenjara di sangkarnya. Kulihat di luar jendela kaca, hujan semakin menjadi-jadi. Air mulai menggenang di depan rumah. Sepertinya air hujan akan masuk ke dalam rumah.

Suara adzan berkumandang. Memanggil umat Islam untuk melaksanakan shalat Maghrib. Perlahan hujan mulai pergi. Tapi air di depan rumah tidaklah surut. Genangan air semakin tinggi. Ternyata air sungai meluap. Tidak mampu menampung volume air hujan. Memang hujan hari ini cukup lama dan sangat deras.

Air mulai malu-malu masuk ke dalam rumah. Semua orang mulai panik. Bersama kakak perempuanku aku pindahkan barang-barang ke tempat yang lebih aman. Ayah dan ibu yang sudah sepuh diungsikan. Tidak ada lagi tempat untuk kita tidur. Semuanya tergenang. Dalam suasana gelap karena listrik dipadamkan kami menunggu air surut.

Kami terjebak di tengah banjir. Sama seperti diriku terjebak si suatu tempat bersama orang yang aku cintai. Orang itu adalah Gun. Seorang laki-laki yang telah aku titipkan hatiku padanya. Sudah dua tahun di pergi untuk bekerja ke kota seberang. Dan selalu menyapaku lewat telepon dua kali seminggu. Dan akan datang setiap bulannya. Tapi sudah beberapa minggu dan dua bulan ia tidak kunjung pulang. Aku tak tahu berapa lama lagi aku harus menunggu kedatangannya. Kabarnya pun aku tak ahu, mungkin dia melupakan aku selamanya.

Tengah malam air mulai surut. Tapi itupun tidak dapat membuat kami memejamkan mata. Kami hanya duduk di tembok teras rumah. Tidak ada tempat untuk melepaskan penat ini. Tidak ada tempat untuk sekedar merebahkan diri. Semuanya basah. Banjir ini menyisakan sampah, bau, dan rumah yang kotor. Dengan sisa tenaga yang ada kami membersihkan rumah dari kotoran akibat banjir.

Pagi mulai menyapa. Matahari menampakkan wajahnya yang berseri. Lumayan untuk menjemur beberapa barang yang basah. Sebagian pekakas rumah sudah bersih. Rumah pun juga sudah bersih dari tanah liat sisa banjir semalam. Tapi baunya masih kurang sedap. Rumah pun lembab dan dingin.

Satu minggu berlalu. Rasa lelah itu masih terasa. Aku lupa dengan rasa rindu itu. Badanku tumbang. Entah karena lelah atau menekan perasan rindu yang mendalam. Dua bulan terkurung di dalam kamar. Kaki ini tidak mampu menopang badan. Jarum suntik hampir tiap minggu menusuk kulit ini. Aku harus menelan beberapa obat yang begitu menyiksa. Senyum ramah sang dokter sertavsentuhan lembutnya tidak mampu membuatku merasa lebih baik.

Ahirnya ranjang rumah sakit menjadi tempat tidurku. Hasil tes urin dan darah memutuskan aku untuk di rawat. Hepatitis A bersarang dalam ragaku. Kulihat wajah sedih dan khawatir ayah dan ibu. kakak-kakakku berusaha menenangkan mereka. Aku akan baik-baik saja. Karena ini jalan terbaik.

Tembok bercat kuning mengurungku . Kutahan rasa sakit ketika jarum infus ditanam di tanganku. Selang infus menggantung di sisi tempat tidurku. Tubuhku lemah tidak berdaya. Memang selama dua bulan terakhir aku sulit menelan makanan. Makanan hanya singgah sementara di perutku. Cairan infus lumayan memberikan tenaga pada tubuhku. Efek dari obat yang masuk ke tubuhku membuat aku bisa tertidur. Hal yang sulit bisa aku lakukan karena menahan rasa sakit ketika panas di tubuhku mulai mendera.

Tangan lembut dokter membuat aku terbangun. Senyumannya membuat hatiku tenang. Dia memeriksa medical record dan hasil cek darahku.

“Bagaimana tidurmu Sari?” dokter memeriksa kondisi tubuhku.

“Alhamdulillah, Dok. Saya bisa tidur nyenyak,” aku lega karena dokter mengatakan aku lebih baik dari kemaren ketika sampai di rumah sakit ini.

“Kamu hanya perlu istirahat dan makan yang cukup. Jangan terlalu banyak bergerak, ya!” kata-kata dokter menghiburku.

Empat hari sudah aku terbaring di sini. Setiap pagi sampel darahku diambil untuk diperiksa di laboratorium. Entah berapa cairan infus yang sudah diganti. Entah berapa banyak obat yang masuk dalam tubuh ini. Hari ini jarum infus harus dipindah ke lengan kiriku. pembuluh darah di tangan kananku membengkakDi saat aku baru saja memejamkan mata terdengar suara yang sangat kukenal.

“Assalaamualaikum, Sari. Maaf, aku baru datang hari ini,” lelaki yang lama kutunggu kabarnya berdiri di samping tempat tidurku.

Aku terdiam dan hanya memandangnya. Aku hanya bertanya dalam hati dari siapa tahu aku di sini. Aku tidak meminta siapapun untuk menghubunginya. Rasa kantuk yang mendera hanya membuat aku tersenyum padanya. Ternyata Gunawan mendapat kabar tentangku dari kakak Rahman, saudara yang paling dekat denganku.

Waktu jam besuk membatasi pertemuan kami. Tapi kehadirannya mengobati rasa rindu dalam hati. Semangat untuk sembuh juga bertambah. Dia pun pulang bersama harapan yang aku miliki padanya.

Setelah sembilan hari, dokter memberi kabar baik. Hari ini aku boleh pulang. Senyum ayah dan ibu menantiku di rumah. Pasti mereka bahagia melihat putri kecilnya. Begitulah mereka. Walaupun umurku sudah di atas dua puluh mereka tetap menganggap aku sebagai putri kecil. Mungkin karena aku anak terahir.

Makan teratur, minum obat, istirahat yang cukup, jaga kebersihan alat makan, dan jangan banyak bergerak. Itu akan membantu aku pulih. Dokter juga meminta agar tempat tidur , peralatan makan serta mandiku jangan sampai bercampur dengan orang lain. Karena penyakit yang disebarkan oleh virus ini cepat menular melalui keringat dan ludah.

Semangat yang diberikan orang-orang di sekitarku membantuku pulih. Mereka berusaha membuatku bahagia. Tapi aku masih ada yang kurang. Seseorang yang aku tunggu kehadirannya. Yang membuatku rela menghabiskan waktu yang sangat berharga demi menunggu seseorang yang dicintainya. Tak kudengarkan bisikan orang lain agar aku melupakannya. Hingga saat itu tiba. Saat yang membuatku rapuh dan menyerah.

Efa, sahabat putih abu-abu datang menengokku. Sejuta cerita yang dia punya membuat aku tersenyum. Begitulah Efa, kehadirannya selalu membuat senang orang lain. Dia pandai bercerita dan orangnya sedikit kocak.

“Sari, bagaimana kabar hubunganmu dengan Gunawan?” tiba-tiba pertayaan itu muncul dari Efa. Pertanyaan yang tidak pernah aku kira.

“Entahlah, Fa. Aku juga tidak tahu mau di bawa hubunganku dengannya. Aku lama tidak mendengar kabarnya. Dia sulit aku hubungi. Tapi dia datang menjengukku di rumah sakit. Itulah pertemuan terakhir kami,” aku berusaha menyembunyikan kesedihanku.

“Lupakan dia, Sari. Dia laki-laki yang tidak pantas kamu tunggu. Kamu buang-buang waktu dengannya. Dua tahun bukanlah waktu sebentar. Itupun tidak ada kepastian,” Efa memegang tanganku, berusaha meyakinkaku

Aku hanya menatap Efa mencari sesuatu yang ia sembunyikan dibalik kalimat yang terucap darinya. Rupanya Efa mengerti apa yang kuinginkan dari dirnya.

“Maaf, Sar. Kemaren aku bertemu dengan Gunawan. Dia lewat di depan rumah bu deku menggandeng seorang perempuan. Sikap perempuan itu sangat manja. Layaknya seperti sepasang kekasih,” Efa menatapku dan mengangguk, meyakinkanku bahwa apa yang ia lihat itu benar.

Aku berusaha menata hatiku. Hati yang sudah teriris dengan kabar yang dibawa Efa. Di sisi yang lain dari hatiku, aku mengatakan itu tidak mungkin. Kalaupun itu benar itu terjadi seharusnya Gunawan mengatakanya padaku. Sehingga aku tidak membuang waktuku menunggu dalam ketidak pastian.

Aku masih berusaha membesarkan hati untuk menghubunginya lewat telepon. Apa yang kudengar ternyata benar adanya. Kata maaf keluar dari mulut Gunawan. Tidak ada niat katanya tapi itulah yang terjadi. Yang kusesali aku harus tahu dari orang lain bukan darinya. Melukai perasanku itu alasan mengapa ia tidak berterus terang. Tapi yang dilakukannya sangat melukai perasaanku.

Ahirnya aku menyerah. Gun telah mematahkan ranting yang aku rawat. Ranting itu tidak bisa diluruskan lagi. Cinta itu tidak pantas diteruskan lagi. Tidak pantas dia menerima cinta yang sangat. Seperti cinta sungai yang ihlas kepada sawah-sawah. Aku berharap Tuhan berkehendak untuk mempertemukanku dengan seseorang yang bisa mencintaiku dengan sungguh-sungguh dan tak sekedar singgah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post