Muniri, M.HI

Salah satu pengajar di STAI Al-Hamidiyah Bangkalan...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEPERTINYA KAPAN KITA MATI, KITALAH YANG MENENTUKAN?

SEPERTINYA KAPAN KITA MATI, KITALAH YANG MENENTUKAN?

Suatu ketika di kampungku, ada orang meninggal, seminggu kemudian ada orang meninggal lagi, demikian sampai 5 orang yang meninggal hampir dalam jangka waktu yang teramat dekat. Lantas saya teringat dengan tulisan artikel Gobind Vasdhev dalam bukukanya Happiness Inside berjudul “Bunuh Diri Ternyata Menular”. Sekelumit judul artikel ini tampak mengada-ngada, tapi setelah coba direnungkan, sepertinya ada benarnya juga.

Kalau kita memakai teori tarik menarik (Law of attraction) dan teori penyamaan frekuensi, maka apa yang dijelaskan oleh Gobind ada benarnya. Dengan teori tarik-menarik hubungannya dengan kematian, dapat disedernakan bahwa orang yang meninggal itu disebabkan karena “dirinya” yang berkeinginan meninggal. Salah satu contoh, kematian Uje (Ustad Jefri Al-Bukhori), dalam beberapa tahun terakhir Uje kerap sekali dalam ceramahnya sering membicarakan “kematian”. Menurutnya, sebuah kematian menjadi syarat untuk bertemu Allah Sang Kekasih yang paling dicintainya, konten dari ceramahnya mengisyaratkan keinginan untuk “mati”, hal ini bisa jadi juga menjadi keinginan secara sadar maupun tidak sadar Uje telah mengidzinkan dirinya untuk meninggal.

Dikarenakan Uje telah mengidzinkan dirinya untuk meninggal, maka kematian menghampirinya dengan cara yang dia sendiri, orang dekatnya, dan penggemarnya tidak mengetahuinya. Namun, kalau dibaca dengan memakai hukum tarik-menarik, bisa saja usia Uje dapat diprediksikan, bahwa usia Uje tak mungkin panjang. Secara teoritis, karena begitu seringnya berpikir tentang kematian, dan berulang-ulang dan tanpa proses penetralan pikiran, maka secara otomatis masuk ke dalam sel-sel tubuh dalam bentuk laporan, dan kita tau bahwa sel-sel tubuh kita, hanya mengikuti apa yang pikiran inginkan, dan akhirnya semua sepakat untuk mati.

Menginginkan kematian terjadi, sebenarnya sama dengan menolak kematian karena takut, dikatakan sama dikarenakan tak mungkin orang takut mati kalau tidak kepikiran mati. Jadi, menolak kematian karena takut mati, justru dipikirannya selalu dihinggapi dengan gambaran-gambaran kematian. Maka, dalam keadaan seperti ini, orang tersebut tanpa sadar mengundang kematian datang pada dirinya.

Hubungannya dengan kematian bergilir yang terjadi di kampungku, kemungkinan sama dengan yang dimaksud Gobind tentang bunuh diri yang ternyata menular, yang tidak lepas dari berlakunya hukum tarik-menarik, dan juga ditambah dengan hukum penyamaan frekuensi yang sadar maupun tidak, sudah diidzinkan terjadi oleh orang-orang yang telah meninggal tersebut.

Penyamaan frekuensi yang dimaksud, bisa dijelaskan apabila seseorang mendengar ada pengumuman bahwa telah meninggal Si Fulan, setelah mendengar tentunya secara otomatis terjadi penyamaan frekuensi tanpa ia sadari, salah satu penyamaan frekuensi yang paling mendasar adalah pengakuan “saya juga manusia yang juga pasti mati”, sementara hal-hal lain, semisal punya penyakit yang sama, masalah hidup yang sama, dan lain-lain merupakan jenis penyamaan-penyamaan frekuensi lanjutan.

Bagaimana dengan Suku Hunza yang kisaran umurnya rata-rata mencapai 200 Tahun?

Suku Hunza adalah suku yang tinggal dan hidup di kaki pegunungan Himalaya - Qashmir India. usia mereka rata-rata mencapai 200 Tahun, sebanding dengan orang Indonesia yang berusia 45 Tahun, dan mereka dalam usia tersebut masih melakukan segala aktivitas, baik berladang, bertani, bahkan sering berolah raga seperti umumnya masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data observasi, dilaporkan bahwa pada umumnya Suku Hunza sangat toleran hidupnya, suasana saling berbagi pada sesama masih sangat kental sekali. Mereka menghindari hidup berlebihan, dan kesederhanaan sangat tanpak dari kehidupan dan realitas, bahkan mereka lebih senang hidup membantu dan bergotong royong dalam segala hal. Sikap ini mereka aplikasikan dimana saja, kapan saja, tanpa mengenal waktu serta keadaan.

Apa yang diterapkan oleh Suku Hunza, merupakan salah satu wujud nyata dalam kehidupan sebagai bentuk ketenangan jiwa dan kepuasan batin. Pada titik inilah, dapat dipastikan mereka mendapat ketenangan untuk berfikir dalam menyelesaikan permasalahan hidup, karena pada jiwa yang tenang terdapat fikiran yang jernih, karena setiap penyakit timbul hampir 88% adalah faktor bathin/fikiran.

Di samping budaya gotong-royongnya masih kental, Suku Hunza pada umumnya senang dan gemar menjaga alam, dan tentunya mereka jauh dari hal-hal yang merusak alam. Mereka sangat menjaga alamnya dari polusi udara dan lain lain, sehingga udara yang mereka hirup, air yang mereka minum, benar-benar bersih dan alami. Begitu juga dengan makanan-makanan yang mereka konsumsi hampir 100% adalah alami (Herbal), dan semua tanaman semisal Padi, Jagung, Tanaman, palawija dan lain-lainnya tidak pernah mereka berikan pupuk, atau insektisida yang mengandung racun.

Fenomena Suku Hunza, bagi kita yang sudah tercemar sungguh luar biasa, dan di sini jelas bahwasannya, kehidupan kita saat ini di zaman modern lebih banyak madzarat ketimbang manfaatnya, hidup yang serba instan, sementara kita tidak pernah peduli efek terhadap tubuh kita. Dalam keadaan seperti ini, maka puasa sangat penting untuk dilakukan agar kita dapat mengatur diri kita secara baik. Maka, sangat betul sekali ada ungkapan “Shumuu Tasihhu” (berpuasalah, maka kau akan sehat), dapat dikatakan bahwa puasa tak ubahnya seperti detox tubuh agar melakukan rehat dalam satu bulan, namun sejatinya puasa tidak hanya satu bulan saja, tapi selama hidup. Puasa satu bulan hanya pemenuhan puasa yang bersifat Syar’iyyah Islamiyyah, pemenuhan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rukun Islam dan Iman al-Islamiyyah, pemenuhan rukun Iman, karena anjuran puasa tercantum dalam al-Qur’an, kepada semua yang ada dalam al-Qur’an kita harus Iman. sedangkan puasa yang bersifat Ihsaniyyah, kurang lebih sama seperti yang dilakukan oleh Suku Hunza.

Kesimpulannya, jika berkeinginan untuk panjang umur, tetapkan saja keinginan itu dari sekarang, selanjutnya netralkan pikiran dari keinginan untuk mati maupun takut mati. Sehingga yang ada, hanya keinginan menjalani hidup dengan baik dan bahagia. Agar menjalani hidup dengan baik dan bahagia, maka jagalah 3 hal yang dilakukan oleh Suku Hunza, sebab penyakit datang karena kelengahan kita dalam mengatur pola makan dan gaya hidup sehari-hari. Sedangkan untuk menjaga agar tubuh kita selalu sehat dan kuat dengan cara menciptakan pikiran dan perasaan agar selalu positif, menciptakan alam sekitar dan gaya hidup yang positif, dan makan-makanan yang alami.

Karena tulisan ini, hanyalah sebatas renungan, maka kebenaran hasil renungan ini, saya kembalikan kepada yang Maha Mengetahui. Allahu’allam bi al-Shawab.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post