Muniri, M.HI

Salah satu pengajar di STAI Al-Hamidiyah Bangkalan...

Selengkapnya
Navigasi Web

Siapakah Guru? dan Siapakah Murid?

Dalam kamus bahasa Indonesia, Guru secara harfiyah mempunyai arti seseorang yang mengajarkan suatu ilmu. Secara istilah, umumnya yang dimaksud Guru adalah seorang pendidik profesional, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Sedangkan murid, secara harfiyah berasal dari serapan bahasa Arab, yakni araada, yuriidu, muriidan yang maknanya kurang lebih, memiliki keinginan, berkehendak, dan mempunyai minat. Sementara secara istilah diartikan, seorang yang sedang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan, baik formal, informal, dan non formal, pada jenjang pendidikan, jenis pendidikan, dan tempat pendidikan tertentu.

Dari kategori jenjang, jenis, dan tempat pendidikan ini, menghasilkan penyebutan turunan dari murid, yakni Siswa, Mahasiswa/i, Taruna, warga belajar, pelajar, Santri. Yang kesemuanya merujuk pada sebuah pengertian yang sama dengan kata murid. Hanya saja, penyebutan yang berbeda tersebut berguna agar lebih gampang membedakan seorang murid, disesuaikan dengan jenjang, jenis, dam tempat pendidikannya.

Pada suatu kesempatan dalam sebuah perkuliahan, saya memancing dengan pertanyaan agar terjadi sharing antara kami, tentang pengertian “Guru dan Murid”. Siapakah Guru? Dan siapakah Murid? Demikian pertanyaan pancingan yang saya lontarkan. Alhasil, jawaban yang muncul dari sekian mahasiswa, kurang lebih sama dengan pengertian yang saya jabarkan di atas.

Jawaban dari sekian mahasiswa saya, tidaklah salah. Hanya saja menurut saya, jika kita hanya memahami siapakah guru? Dan siapakah murid? Hanya sebatas begitu saja, sepertinya ada semacam stagnasi penalaran, yang berakibat pada stagnasi pengertian tentang suatu konsep. Sebutan Guru dan Murid adalah sebuah konsep, karena merupakan sebuah konsep, maka terbuka untuk disempurnakan pengertiannya.

Untuk menyempurnakan pengertian yang saya maksud, kita perlu mengkaji pengertian Guru dan Murid, secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis sekaligus, agar menghasilkan pengertian yang paripurna. Sebagaimana yang kita pahami, istilah ontologi, epistemologi, dan aksiologi merupakan pelajaran tentang cabang-cabang ilmu filsafat, yang dalam tulisan ini saya memakainya untuk menkaji tentang konsep Guru dan Murid.

Secara sederhana, ontologis membicarakan hakikat segala sesuatu, yang bisa disederhanakan dengan pertanyaan “apa?”, epistemologis membicarakan tentang cara/asal-usul sesuatu, disederhanakan dengan pertanyaan “bagaimana?”, dan aksiologis membicarakan guna atau manfaat dari sesuatu, yang dapat disederhanakan dengan pertanyaan “apa guna/manfaatnya?”.

Berbicara tentang “apa/siapa” Guru dan murid? jawabannya tidak jauh dari penjelasan awal dalam tulisan ini. Sedangkan berbicara tentang “bagaimana” seorang Guru dan murid, maka merujuk pada syarat-rukun menjadi Guru dan Murid. Menjadi Guru, misalnya harus mempunyai integritas, sehingga seorang Guru dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya. Mampu mengajar dengan baik dan menyenangkan, karena sangat berpengaruh pada maksimalnya potensi anak dalam proses belajar-mengajar. Dan yang terakhir seorang Guru harus mampu membangun mimpi anak didiknya, hal ini berguna untuk memacu semangat pentang menyerah dalam belajar.

Demikian bagi murid, berlaku syarat-rukun juga, antara lain; creative (memiliki daya cipta, atau mampu menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kenyataan yang relatif berbeda dengan apa yang yang telah ada sebelumnya), attentive (memerhatikan penjelasan dari gurunya), talk active (berbicara juga aktif, baik bertanya dan menjawab), disipline (sikap yang tepat janji), obedient (taat atau patuh terhadap perintah guru, dan aturan yang sudah ditentukan), dan good (bersikap baik) dalam keseharian.

Sekurang-kurangnya, pengertian Guru dan Murid baik secara ontologis dan epistemologis demikian penjelasannya. Namun, sepertinya masih menyisakan ruang yang kurang “sreg”, khususnya pada pemposisian Guru dan Murid yang berkecendrungan berpola subjek-objek. Sebagaimana yang kita pahami, hubungan yang berpola subjek-objek hampir selalu berpeluang terjadinya tindakan represif (terjadinya tekanan yang tidak manusiawi), eksplotatif (mengambil dan menggunakan kelemahan anak didik, sehingga atas dasar butuh, anak-didik menuruti keinginan Guru, maupun lembaganya), dan elitis (Yang berposisi sebagai Guru merasa diri memiliki status sosial, dan juga keilmuan yang lebih tinggi sehingga merasa perlu dihormati).

Untuk yang terakhir ini, yakni sikap elitis menjadi kata kunci pembeda pengertian aksiologis Guru dan Murid dengan pengertian sebelumnya. Sikap elitis berasal dari ego yang merasa lebih “wah” dari orang lain, dan tindakan ini seharusnya dijauhkan dari sosok Guru, satu sisi karena merusak tampilan sosok yang harus di Gugu dan di tiru, di sisi lain hilangnya sikap tawaddhu’ terhadap dirinya sendiri, maupun kepada orang lain.

Kalau kita kaji lebih mendalam, sebagaimana tugas seorang Guru yakni mengajar, sedangkan mengajar mempunyai pengertian sebuah kegiatan mencerahkan orang lain, sehingga orang tersebut menjadi tau suatu hal, dari sebelumnya yang tidak mengetahui suatu hal. Dari kegiatan mencerahkan ini, maka sebenarnya berpengertian sangat luas, saking luasnya berdampak mengaburkan konsep Guru itu sendiri, siapakah Guru? mereka adalah sosok yang memberikan kecerahan tentang sesuatu hal. Pertanyaannya, “apakah yang memberikan kecerahan hanya Guru sebagaiman pengertian ontologis dan epistemologis?” Tentu saja tidak. Pertanyaan selanjutnya, “apakah orang mendapatkan kecerahan hanya dari Guru dalam pengertian ontologis dan epeistemologis?” Tentu saja tidak.

Di titik ini, mari kita urai. Jika kita mendapatkan kecerahan tidak hanya dari Guru sebagaiman pengertian ontologis dan epistemologis, seperti orang gila misalnya, kita mendapatkan kecerahan tentang “berpikir positif”, khususnya dalam hal memakan sesuatu, orang normal jika makan makanan yang kotor, basi dan busuk, besoknya langsung sakit perut, atau seketika itu juga sakitnya, sementara hal itu tidak terjadi pada orang gila. Dan dari fakta orang gila ini, kita mendapati kesimpulan bahwa ada hubungan erat antara pikiran dengan rasa sakit. Dari ini, “apa kita bisa menyangkal? bahwa orang gila sekalipun bisa menjadi Guru kita, dan mampu memberi tau suatu hal kepada kita”.

Mari kita beralih ke hewan, yang konon katanya hina. Karena harus membilas tangan yang kena jilat 7 kali, dan salah satu bilasan harus ditambah lumpur tanah, yakni; “Anjing”. Dari Anjing kita bisa belajar “kesetiaan”, hewan yang tak pernah melawan tuannya. Dari fakta ini, “apa kita bisa menyangkal? Bahwa hewan yang dianggap hina, juga mampu memberikan sebuah pelajaran yang sangat berarti tentang hidup, yakni kesetiaan.

Berangkat dari fakta orang gila dan Anjing, saya berkesimpulan bahwa pada dasarnya, semua yang hadir dalam kehidupan kita, dan memberikan pencerahan kepada kita, semuanya adalah guru kita, dan saat itulah kita menjadi murid, dan pada ruang dan waktu yang sama kita menjadi guru bagi orang lain, bagi orang yang merasa mendapatkan pencerahan dari kita. Dan hakikatnya, kita adalah Guru sekaligus Murid dalam ruang dan waktu bersamaan.

Yang demikian inilah menurut saya, pengertian Guru dan Murid secara aksiologis. Sebuah pengertian yang dihasilkan dari memaknai kehadiran sesuatu, tanpa melihat apa dan siapa. Yang memberikan pencerahan, dan menyebabkan kita tau, dialah Guru kita.

Alhasil, dengan cara memahami siapakah Guru? Siapakah Murid secara aksiologis, kita akan lebih tawaddhu’. Dan sikap tawaddhu’, menjadi indikator kualitas akhlak kita pada diri, serta kepada orang lain, bahkan kepada semua ciptaan Allah. Dengan cara memahami seperti ini pula, sebenarnya kita telah mencontoh prilaku Nabi Muhammad yang selalu menampilkan akhlak mulia, sebagaimana dalam haditsnya; “Innama buitstu liutammima makaarima al-Ahkhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia).

Wallahu a’lam bi al-shawaab

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post