Muniri, M.HI

Salah satu pengajar di STAI Al-Hamidiyah Bangkalan...

Selengkapnya
Navigasi Web

Siapakah yang Salah? Mata yang Memandang atau Perempuan yang Berbaju Hot?

Suatu ketika, ada dua sahabat dalam sebuah acara di Bandung, dan mendapat fasilitas menginap di sebuah hotel. Dari mulai berangkat, hingga sampai di hotel, mereka berdua bersama-sama, sebut saja namanya; “Mukri dan Mu’ad”.

Keduanya mempunyai karakter yang berbeda. Mukri, di depan banyak orang lebih banyak diam, dia lebih suka mendengar dan mengamati, dan suka mempelajari hal-hal yang didengar dan dilihatnya. Sementara Mu’ad sebaliknya, ditambah lagi sangat religius, itu bisa dilihat dari rasa takut yang luar biasa kalau sampai meninggalkan shalat. Dan dari fasihnya melafalkan “Subhanallah, Alhamdulillah, dan Masya’allah”, jika mendapatkan sesuatu yang menakjubkan, kenikmatan, dan melihat keagungan dari sekian ciptaan Tuhan.

Ketika berada di loby hotel, mereka berdua duduk berhadapan, sambil membincangkan sesuatu hal yang tidak begitu penting. Perbincangan mereka berdua terhenti, karena ada seorang perempuan yang melintas, dia karyawan hotel yang sangat cantik dengan pakaian yang terlihat “jreng”, dengan rok yang sobek hingga tengah paha. Mu’ad melihatnya, demikian Mukri juga melihat, tapi tak seteliti dan selama Mu’ad. Bukan berarti Mukri tidak suka dengan pemandangan seperti itu, tapi sepertinya Mukri mungkin lebih bisa menahan diri dan lebih bisa menetralkan keinginan untuk melihat objek yang sedemikian rupa.

Melihat Mu’ad, yang tatapannya sangat fokus, hingga karyawan hotel tersebut berlalu. Mukri mencolek dan bertanya ke Mu’ad, hingga terjadilah dialog;

Mukri: “Siapa yang salah?” Mu’ad terdiam sejenak.

Mu’ad: “Dia”.

Mukri: “Kenapa dia yang salah?” Tanya Mukri menanggapi.

Mu’ad: “Karena dia, dengan memakai baju seperti itu, dia telah memancing orang lain untuk melihatnya dan membuatnya bernafsu”.

Mukri: “Oke! Saya ulangi jawaban kamu ya...dia telah memancing orang lain untuk melihatnya dan membuatnya bernafsu”.

Mu’ad: “Wong nyata-nyata gitu kok...!”

Mukri: “ Menurut saya, jawabanmu perlu dikaji ulang dengan logika. Apakah semua orang jika melihat orang perempuan yang memakai busana seperti itu, akan mengalami seperti kamu?”

Mu’ad: “Tidak semua”.

Mukri: “Jika tidak semua orang melihat perempuan seperti itu bernafsu, maka anggapanmu salah, karena jika ada satu orang saja yang tidak mengalami sepertimu, maka anggapanmu tidak bisa dibenarkan, maka siapakah yang salah?”.

Mu’ad: “Hehehe...Iya ya”

Dialog antara Mukri dan Mu’ad, dalam tulisan ini akan saya ulas, kurang lebih saya akan mengulas hakikatnya “siapa yang salah?”. Sebenarnya, Mu’ad masih bisa menimpali argumen Mukri, dengan cara merujuk pada kebenaran berdasar pendapat mayoritas. Tentu, apabila ditanyakan kepada semua orang tentang perempuan yang berbaju seperti itu, apakah mengundang nafsu apa tidak? Pastinya, mayoritas banyak yang sepakat dengan argumentasi Mu’ad. Namun, akan berbeda jika kita mengkajinya dengan berpijak pada hukum tarik-menarik (law of attraction).

Hukum tarik-menarik dalam buku The Secret karya Rhonda Byrne, berdasar pada temuan petuah kuno yang ditemukan di batu berukir, sekitar tahun 3000 SM, yaitu; “Seperti di atas, begitu juga di bawah. Seperti di dalam, begitu juga di luar”. Kurang lebih jika petuah tersebut ditafsirkan, bahwa apa yang ada di atas, sama dengan di bawah, demikian juga apa yang ada di dalam, sama dengan yang di luar.

Hukum tarik-menarik ini, berkembang menjadi sebuah alat untuk menganalisa kondisi kedirian seseorang. Misalnya mempertanyakan kenapa seseorang selalu mendapatkan kemalangan di satu sisi? Di sisi yang lain, ada orang yang selalu mendapatkan keuntungan?. Menanggapi fakta ini, masih banyak orang yang meyakini bahwa itu adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Sebuah anggapan yang kurang tepat menurut saya pribadi, karena cendrung membuat seseorang kurang maksimal dalam melakukan “ikhtiar”.

Dalam buku berjudul The Miracle of Mindbody Medicine; How to use your mind for better health karya Adi W. Gunawan. Ada ulasan tentang asal-muasal sakit, data yang ia peroleh dari beberapa klien-nya setelah di hipnotherapy, temuan fakta tersebut, meneguhkan bahwa faktor pikiran merupakan sebab utama dari sakit yang diderita oleh seseorang.

Pembahasan tentang “faktor pikiran” lebih sistematis, bisa ditemukan dalam ulasan di buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu. Bahwa takdir tidak semerta-merta ada, alias ujuk-ujuk terjadi. Takdir selalu berhubungan dengan tampilan karakter seseorang, sedangkan karakter terbentuk dari kebiasaan seseorang, dan kebiasaan berasal dari pilihan tindakan/perbuatan dalam keseharian seseorang, dan tindakan/perbuatan ini diawali oleh pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang mendominasi seseorang.

Lantas apa hubungannya, penjelasan dalam tiga buku yang saya sebutkan di atas, dengan cerita Mukri, Mu’ad dan perempuan karyawan hotel? Mari, kita memulai mempertanyakan; “kenapa Mu’ad bernafsu melihat perempuan karyawan hotel?

Jika memakai petuah kuno sebagaimana dalam buku The Secret, mungkin saja sebenarnya, antara Mu’ad dan perempuan tersebut, ada kesamaan potensi getaran, Mu’ad dengan nafsunya yang meluap-luap dengan keinginan Si Perempuan agar terlihat seksi. Kesamaan potensi getaran ini yang memantik sebuah gelora nafsu Mu’ad keluar dan mempengaruhi penglihatannya untuk melihatnya. Akan berbeda, apabila tidak ada kesamaan potensi getaran, pada keduanya.

Selanjutnya, faktor pikiran sebagaimana dalam buku The Miracle of mindbody medicine. Faktor pikiran ini, bisa jadi berhubungan dengan belief system. Dalam ensiklopedia Encarta, belief didefinisikan penerimaan oleh pikiran bahwa sesuatu adalah benar atau nyata, seringkali didasari perasaan pasti yang bersifat emosional atau spiritual. Yang apabila disederhanakan, bilief dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang kita yakini benar. Jadi, mungkin saja, tuduhan salah oleh Mu’ad terhadap perempuan karyawan hotel, berdasar pada belief dalam ajaran agamanya, bahwa ukuran perempuan baik-baik, adalah yang menutup auratnya. Walaupun sebenarnya, belief ini masih perlu untuk dibuktikan dengan fakta yang ada. Apakah benar, pakaian mewakili kondisi kesucian seseorang?

Anggapan yang lain, berhubungan dengan bagaimana seseorang menempatkan sosok perempuan dalam kehidupan. Dalam budaya patriarki, sosok perempuan diposisikan tak ubahnya sebagai pelengkap bagi laki-laki, sedikit ruang ekspresi yang diperuntukkan bagi perempuan, semua hal hampir laki-laki yang mendominasi. Mungkin saja, tuduhan oleh Mu’ad terhadap perempuan karyawan hotel di atas, berhubungan erat dengan isi pikirannya tentang sosok perempuan yang hanya berpredikat sebagai objek laki-laki semata.

Selanjutnya, berdasar pada buku Quantum Ikhlas, bahwa sesuatu yang terjadi berasal dari level perasaan dan pikirannya. Mungkin saja, Si Mu’ad pada level perasaan dan pikirannya, dominan data tentang perempuan seksi, sehingga mempengaruhi tindakannya yang suka melihat perempuan berbusana seksi, akhirnya menjadi kebiasaannya, walaupun tidak secara terbuka menjadi karakternya. Tapi, nasibnya mengikuti kebiasaannya, yang menyebabkan Mu’ad selalu bertemu dengan perempuan berbusana seksi.

Dari ulasan di atas, merujuk pada satu faktor yaitu “pikiran”. Dengan demikian, masihkah kita mau menyalahkan sesuatu yang kita lihat? Atau apapun yang hadir dalam kehidupan kita?. Bukankah dalam hadits qudsy dijelaskan walaupun tidak secara eksplisit, yaitu kita perlu mempertanyakan “prasangka kita” terhadapa sesuatu?. “Ana inda dhonni ‘abdi bi” (Aku berada (sama) dengan prasangka hamba-Ku) demikian bunyi hadits Qudsy tersebut. Artinya, begitu kita menganggap dan meyakini Allah pemberi kemudahan, maka kita cendrung diberikan kemudahan dalam hidup, jika sebaliknya, maka yang terjadi sebaliknya pula.

Alhasil, anggapan Mu’ad terhadap perempuan karyawan hotel tersebut, apabila dianalogikan dengan memakai kaidah dalam hadits Qudsy sebagaimana pada alinea sebelumnya. Maka bisa jadi, yang perlu dipertanyakan adalah prasangka Mu’ad terhadap sosok perempuan secara umum, bisa jadi anggapan salah yang ditujukan kepada perempuan karyawan hotel tersebut, berbalik arah kepada Mu’ad sendiri. Disinilah perlunya instrospeksi diri, sebelum menghakimi apa yang dilakukan orang lain, alangkah lebih baiknya kita berkaca terlebih dahulu. Sambil mempertanyakan, apa batin kita sudah lebih bagus dengan orang yang kita hendak nilai?. Dan penilaian tentang batin seseorang sesungguhnya, bukan berdasar pada apa yang terlihat, karena hanya penciptanya yang Maha Tahu. Lantas, apa kewenangan kita menilai batin orang lain?....

Wallahu a’lam bi al-shawaab

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju sekali. Introspeksi diri harus selalu dilakukan sebelum berani menilai sesuatu. Juga, sangat setuju dengan pernyataan: "Tidak ada kewenangan kita menilai bathin orang lain". Tetapi adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk membuat bathin orang lain tenang, tidak bergejolak karena tingkah laku kita. Mengapa hanya prasangka Mu'ad yang dipertayakan. Kenapa tidak dipertanyakan apa pentingnya gadis itu memakai pakaian yang sedemikian? Karena karyawan hotel? Pertanyaannya, apakah hotel menjadi tidak laku jika karyawannya tidak berpakaian sedemikian? Jadi balik lagi ke banyak teori yang dipaparkan panjang x lebar tadi, hukum ketertarikan. Sebenarnya, kalau anda ditanya, yang salah siapa ? Muad atau perempuan itu?

03 Jan
Balas

Sebagaia seorang beriman menjaga aurat itu kewajiban dan menjaga mata pun kewajivan. Jadi dua duanya harus menjaga. Mungkin wanita tersebut bukan muslimah, maka kewajiban menahan mata bagi laki laki beriman adalah wajib. Maaf yah Bund.

03 Jan
Balas

Sudah dimaafkan Bu...

03 Jan

Tulisan yang bagus. Kurang gambar yang hot! Hots dan hotspot!

03 Jan
Balas

Ngasih gambah nggak bisa-bisa Pak Edi-Tor...

03 Jan

Tulisan yang bagus. Kurang gambar yang hot! Hots dan hotspot!

03 Jan
Balas

Saat kita mau mempertanyakan: "apa yang harus dilakukan?", maka saat itu juga kita perlu mengukur diri, etiskan kita merambah kewenangan orang lain?

03 Jan
Balas

Astaghfirullah....

03 Jan

Kalau sama-sama wajib, maka yang harus dilakukan, mana yang kita mampu melakukannya?

03 Jan
Balas



search

New Post