Dalam satu pelatihan menulis, pemateri bertanya kepada para guru sebagai peserta. Pertanyaannya berkaitan dengan faktor utama guru tidak bisa menulis.

"Penyebab utama guru tidak bisa menulis itu karena belum tahu teori tentang menulis atau karena belum punya alasan untuk menulis?"

Pertanyaan yang sederhana. Siapa pun bisa menjawabnya. Namun tidak demikian dengan para guru peserta diklat.

Guru merasa canggung untuk menjawab. Seakan serba salah. Tak ada jawaban yang mengenakkan. Tak ada jawaban yang dianggapnya benar.

Sebagai seorang guru, sudah pasti pengalaman menulis sangatlah banyak. Sejak belajar di bangku SD hingga perguruan tinggi, pelajaran menulis selalu diberikan. Bahkan di tingkat SLTA, setiap siswa juga dilatih untuk menyusun laporan karya ilmiah. Ditambah lagi pengalaman menulis di perguruan tinggi. Skripsi atau tesis merupakan bukti sahih bahwa guru punya pengalaman yang mumpuni dalam bidang menulis. Tak perlu diragukan lagi.

Lalu, bagaimana dengan alasan untuk menulis? Apakah guru memang tidak punya alasan tepat sehingga guru belum bisa menulis?

Sebetulnya yang kedua ini lebih masuk akal. Guru belum bisa menulis karena belum memiliki alasan yang kuat untuk menulis. Bayangkan saja, andai pemerintah menyediakan kenaikan tunjangan 50% bagi para penulis buku, pasti banyak guru yang akan berlomba menulis. Kenapa? Karena alasan untuk menulis sangat jelas dan sangat menguntungkan.

Nah, bagi guru, alasan untuk menulis itu bisa sangat variatif. Bisa karena untuk kenaikan pangkat, untuk mendapatkan royalti, atau untuk mendukung pembelajaran. Apa pun alasannya, guru tetap berkesempatan memiliki alasan untuk menulis.

Bila alasan untuk menulis merupakan faktor utama, sudah seharusnya guru bisa menentukan secara tepat alasannya dari sekian alasan yang ada.

Apa yang terjadi bila guru merasa tidak punya alasan untuk menulis? Hanya guru itu sendiri yang bisa menjawabnya.