Mursalim Nawawi, S. Pd. M.Pd

Mursalim Nawawi. S.Pd., M.Pd di lahirkan di Sidenreng Rappang 05 Oktober 1976, Bekerja di Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan pada UPT SMA PPM RAHMA...

Selengkapnya
Navigasi Web
SEBUAH CERITA 'PERDEBATAN ALOT DI RUANG GURU' -  (T.1384)
Foto adalah pemanis

SEBUAH CERITA 'PERDEBATAN ALOT DI RUANG GURU' - (T.1384)

Karya GBC

Di sebuah sekolah menengah atas (SMA), suasana ruang guru terlihat tenang, hingga terdengar perdebatan antara dua guru: Pak Santoso, seorang guru senior yang telah mengajar lebih dari 30 tahun, dan Bu Indah, guru yunior yang baru beberapa tahun bergabung dan sangat antusias dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran.

Pak Santoso duduk di kursinya dengan senyum puas, melihat layar laptop yang baru saja dibukanya hanya untuk mengecek jadwal. "Indah, Saya tidak paham kenapa kalian guru-guru muda, begitu terobsesi dengan teknologi ini". “Mengajar itu soal menyampaikan materi dengan jelas, bukan soal gadget atau alat-alat aneh itu. Ceramah dan buku teks sudah cukup sejak dulu.”Ucap pak Santoso

Bu Indah tersenyum sopan, tapi jelas tak setuju. "Pak Santoso, bukan berarti ceramah itu salah, tapi zaman sudah berubah. Anak-anak sekarang tumbuh dengan teknologi di sekitar mereka. Mereka terbiasa dengan informasi yang cepat dan visual yang menarik. Kalau kita terus-menerus hanya bicara di depan kelas tanpa memanfaatkan teknologi, mereka akan bosan dan kehilangan minat."

Pak Santoso mendengus. "Bosan? Tidak ada yang namanya bosan jika materi yang kita sampaikan penting. Saya sudah mengajar lebih lama dari usia sebagian besar murid kita. Mereka mendengarkan karena mereka harus. Disiplin dan perhatian murid adalah tanggung jawab kita sebagai guru. Kalau kita terus memanjakan mereka dengan teknologi, mereka akan menjadi malas."

Bu Indah mencoba menahan tawa kecil. "Saya setuju soal disiplin, Pak. Tapi bagaimana kalau teknologi justru membantu mereka memahami pelajaran lebih baik? Misalnya, dalam pelajaran biologi, saya bisa menggunakan video interaktif tentang jaringan tubuh yang memungkinkan murid melihat struktur secara detail. Atau menggunakan aplikasi simulasi yang membuat mereka bisa bereksperimen secara virtual. Bukankah itu lebih menarik daripada hanya mendengarkan ceramah?"

Pak Santoso mengerutkan kening. "Ya, tapi teknologi juga bisa bikin mereka lebih tergantung. Mereka jadi tidak belajar mandiri, hanya mengandalkan visual yang disajikan. Dengan ceramah, mereka belajar mendengarkan, merenungkan, dan menganalisis. Itu keterampilan yang penting."

Bu Indah mengangguk, menghargai pandangan tersebut, tapi tidak mau menyerah. "Saya setuju, Pak, kemampuan analisis penting. Tapi teknologi bukan menggantikan kemampuan itu. Justru, kita bisa menggunakannya untuk mengasah analisis mereka. Dengan data real-time atau eksperimen digital, murid bisa menganalisis hasil mereka sendiri dan menemukan pola atau kesalahan yang mereka buat. Ini bukan soal memanjakan mereka, tapi memberi mereka alat untuk belajar lebih baik."

Pak Santoso terdiam sejenak, lalu berkata, “Jadi menurutmu, tanpa teknologi, cara saya mengajar kurang efektif?”

Bu Indah tersenyum lembut. "Bukan begitu, Pak. Metode ceramah itu tetap penting. Saya juga masih menggunakan ceramah. Tapi dengan teknologi, kita bisa menjembatani perbedaan gaya belajar murid. Ada yang lebih cepat memahami dengan mendengarkan, tapi ada juga yang lebih suka visual atau praktik. Menggabungkan kedua metode itu bisa membuat pembelajaran lebih inklusif dan menyenangkan."

Pak Santoso memandang keluar jendela, sejenak merenung. “Mungkin ada benarnya, tapi saya tetap khawatir teknologi akan membuat mereka kurang menghargai proses belajar yang sebenarnya.”

Bu Indah tersenyum penuh pengertian. "Saya juga awalnya berpikir begitu, Pak. Tapi setelah saya mencoba, ternyata justru murid-murid lebih terlibat dan bersemangat belajar. Kita, sebagai guru, bisa memilih kapan waktu yang tepat untuk menggunakan teknologi dan kapan waktu yang tepat untuk mengajak mereka merenung dengan cara yang lebih klasik."

Pak Santoso akhirnya tersenyum kecil. “Baiklah, mungkin saya bisa coba di satu dua kelas dulu. Tapi jangan harap saya langsung berubah total.”

Bu Indah tertawa. “Tidak perlu, Pak. Pelan-pelan saja. Yang penting kita sama-sama berusaha memberikan yang terbaik untuk murid-murid kita.”

Perdebatan itu akhirnya berakhir dengan saling pengertian. Di satu sisi, metode klasik Pak Santoso tetap dihargai sebagai fondasi yang penting, sementara di sisi lain, semangat inovasi Bu Indah membawa warna baru dalam dunia pendidikan yang terus berkembang.

Sidenreng Rappang, 23092024

Demikian cerita ini di buat, semoga bermanfaat

Salam #MN-GBC

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post