Nanik Wijayanti

Nanik Wijayanti, guru Bahasa Indonesia di SMAN 2 Sidoarjo, menulis dengan menggunakan nama Kinanthi....

Selengkapnya
Navigasi Web
Bak Makan Buah Simalakama

Bak Makan Buah Simalakama

Bak Makan Buah Simalakama

oleh Kinanthi ( Nanik Wijayanti)

Wanita itu termenung di teras rumah mertuanya. Teras yang sempit hanya ada sebuah kursi panjang cukup untuk dua orang, selebihnya tanah kosong. Rumah pinggir yang dibiarkan kosong tanpa tanaman. Dilihat dari pilihan lokasi, terkesan bahwa pemiliknya dulunya orang berada, walaupun rumah itu akhirnya tidak ada renovasi, bahkan tidak terawat. Mertuanya sibuk bekerja dari pagi hingga magrib tanpa menghasilkan banyak uang. Katanya, usaha yang dijalaninya sedang sepi.

Matahari menghambur dari balik dedaunan. Sinarnya menerpanya yang tengah duduk di teras. Hatinya terasa hampa. Ia selalu menyesali keputusannya yang menikah tiba-tiba. Banyak faktor yang mengiringi keputusannya. Yang paling kuat tentu saja kekecewaan terhadap dirinya, konsep hidupnya, yang bisa jadi ingin dihapusnya namun hanya teori karena sangat tidak mudah mengubah kebiasaan yang telah menjadi watak. Akhirnya, ia pun kesal lalu menikah begitu saja. Dengan harapan, pernikahan tanpa cinta tak akan membuatnya menjadi budak cinta.

“Barangkali Ibu dan Bapak berkenan mengevaluasi kesalahanku sebagai wanita. Mengapa aku disakiti? Mengapa urusanku sebagai wanita dianggap urusan kecil dan remeh, sedangkan urusan sesama lelaki dianggap urusan besar?”

Sore itu ia mengeluh kepada kedua orangtuanya yang tengah duduk di teras menikmati lagu-lagu Jawa campur sari. Ibunya pun menimpali keluhannya,

“Lha iya. Ibu juga tidak paham. Seingatku, sebagai anak sulung, Kamu tidak pernah rewel, tidak pernah banyak tuntutan. Ibu memasak apapun Kamu tidak pernah mencela, lain dengan adik-adikmu yang mengeluh ingin sayur bening malah dimasakkan sayur lodeh, dan sebagainya. Bapakmu pun tidak tega, lalu mengeluarkan dana pembelian rokok dan diberikan kepada mereka untuk membeli bakso,” ibunya menghela napas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya,

“Sejak kecil juga sudah kulatih untuk mengerjakan urusan rumah tangga. Harus bisa bersih-bersih dan menata rumah, harus bisa memasak, merawat tanaman yang bisa dipetik jika berbuah, lumayan bisa menghemat uang belanja. Uang saku pun kuberikan bulanan agar bisa mengelola keuangan, karena menikah bukan hanya untuk senang-senang. Suami harus dimotivasi keinginannya mengais rezeki tambahan, padahal tidak selalu memiliki kemampuan. Manakala percobaan bisnisnya hancur lebur seperti bapakmu dulu, gaji pun hanya cukup untuk hidup seminggu bagi hidup kita berenam, bapak ibu, serta ke-3 adikmu, apa yang dilakukan ibu? Menangis kepada Tuhan? Itu solusi awal, sebelum memperoleh pencerahan daripada menerima uang gaji bapakmu yang terpotong untuk membayar hutangnya lalu membuangnya ke sudut kasur. Uang itu pun kuambil. Sambil mengusap airmata, aku pun ingat memiliki keterampilan menjahit. Maka, aku pun menerima jahitan yang lumayan ramai menjelang lebaran. Kutambah dengan membeli baju-baju ke Pasar Turi dengan harga miring jika untuk dijual, dengan syarat membelinya partai besar. Kujual gelang pemberian orangtuanku untuk modal.” Ibunya masih ingin bercerita. Maka, setelah lagu “nyidamsari” yang dinyanyikan Didi Kempot lewat, ibunya pun meneruskan cerita pahitnya semasa muda,

“Kamulah anak sulung yang paling banyak kuajak menderita. Kamu membantuku memasang kancing, melipat bawah baju dengan jahitan tangan. Sambil menangis melihatmu menemaniku bahkan membantuku, kudoakan kelak hidupmu bahagia berkelimpahan harta, Nduk.” Ibunya berhenti berbicara, matanya berkaca-kaca. Akhirnya bapaknya yang meneruskan ucapan ibunya.

“Apa yang dikatakannya ketika menolak melamarmu padahal sudah Kaukatakan adik-adikmu akan menikah? Kamu dengan tradisi Jawa tentu malu dilangkahi?”

“Ia mengatakan, tidak nyaman dengan Sarwo, yang sudah memburuku sejak kuliah.”

“Mengapa tidak nyaman?”

“Karena teman-temannya banyak yang tahu ia memburuku. Makanya, Sarwo bertamu ke rumahnya untuk memintanya mundur.” Bapaknya terdiam sejenak,

“Memintanya mundur tentu tidak logis, jika ia memang mencintaimu.”

“Aku paham, Sarwo malu, walaupun aku dengan jelas sudah menunjukkan sikap tidak menerima. Tapi, ia lelaki. Wajar ia memburuku walaupun tahu aku tidak mau. Selalu ada celah harapan barangkali kelak suatu ketika aku akan mau, seperti lirik lagu Dewa 19 yang berjudul “Pupus”. Maka, saat ada Sarif yang datang dan aku menanggapi, ia pun kelimpungan dan tak ada yang dapat diucapkan selain memintanya mundur.”

“Seharusnya ia bisa sportif menerima kekalahan dan tabah menerima risiko dari perbuatannya. Kecuali ia sudah melamarmu. Atau Kamu sudah banyak merepotkannya dengan cara meminta belikan ini itu, meminta ditemani ke sana ke mari, meminta dibuatkan ini itu. Ia tentu berhak merasa tidak rela dan meminta pesaingnya untuk minggir karena Kamu miliknya. Saya tanyai sekarang, apakah Kamu pernah merepotkannya?” ia kesal dengan ucapan bapaknya,

“Bapak ini gimana sih? Bukankah ke mana-mana aku naik angkot? Aku juga sudah bekerja. Nggak mungkinlah aku minta ini itu kepadanya.” Ia pun menangis merasa dianggap memanfaatkan lelaki padahal tidak mencintai.

“Sudahlah. Tidak usah bersedih. Lalu, apa yang Kauminta kepada pacarmu si Sarif itu, sehubungan dengan rencana pernikahan adik-adikmu, yang akan mempermalukanmu karena Kamu “dilangkahi”?”

“Aku hanya memintanya untuk datang menemaniku, jika ia belum siap melamarku. Tapi ia menolak. Ia mengatakan masih pikir-pikir memutuskan melamarku. Ia belum yakin ingin menikah denganku atau tidak? Maka, ia rela mengalah barangkali kehadiran Sarwo di pesta pernikahan adik-adikku, membuat hatiku luluh lalu mau menerima cintanya?” setelah terdiam sesaat, ia pun melanjutkan,

“Itu kan sama saja dengan penolakan terselubung. Padahal ia dulu datang tidak kuundang.”

“Kamu sedih?” ia menggeleng,

“Sebetulnya tidak ada airmata untuk seseorang yang sudah tidak mencintaiku. Untuk apa airmata itu? Jika aku menangis, aku hanya ingin dievaluasi, di manakah salahku?”

Kali ini bapaknya yang menjawab,

“Sebetulnya tidak ada yang dipermasalahkan. Sebagai PNS yang lulusan Perguruan Tinggi, Si Sarif semula kukira bangga memilikimu. Buktinya, ia memburumu, bukan? Sebagai bapak, aku merasa sudah mengantarmu untuk layak dinikahi siapa saja. Tapi ada kesalahanmu sehingga ia merasa tidak tertantang. Ia yakin Kamu tidak akan menolaknya untuk kembali sehingga ia secara terbuka tega menyakiti. Menyuruhmu menerima Sarwo, memamerkan kedekatannya dengan beberapa wanita. Itu karena Kamu tampak lemah...

“Di mana kelemahan saya? Aku bekerja, aku punya tabungan yang cukup kubelikan mobil bekas atau membiayai pesta pernikahan di gedung tanpa bantuannya sepeser pun.”

“Saya nggak suka dianggap lemah,” lanjutnya sambil menangis.

“Tentu saja Kamu lemah. Coba bayangkan. Mengapa Sarwo itu jatuh bangun mengejarmu sejak Kamu kuliah? Karena Kamu bisa membuatnya merasa tertantang. Semakin tidak dihiraukan, lelaki semakin merasa tertantang. Tanyai ibumu yang suka menonton telenovela mexico itu. Kan ada beberapa adegan, seorang lelaki dengan gagahnya menaiki kuda ke pesta pernikahan pacarnya, semata agar pernikahan itu dibatalkan. Karena lelaki itu ingin merebut kekasihnya dari calon suaminya. Luar biasa, bukan?”

“Itu kan telenovela. Kenyataannya, jika banyak cewek yang suka, tentu ia memilih wanita yang memburunya,” kilahnya. Bapaknya tersenyum.

“Dalam hal ini, zaman sudah berubah. Aku hanya bicara karakter lelaki pada umumnya. Kamu kusalahkan karena begitu menanggapi Si Sarif, kamu langsung menunjukkan ketergantungan. Kamu meyakinkan bahwa Kamu akan setia, Kamu pun menyuratinya sekadar mengatakan hati-hati di jalan. Jangan lupa makan. Lama-lama ia bosan, lalu mencari wanita lain yang menggodanya sekaligus dikelilingi banyak lelaki. Membuat Si Sarif ingin memenangkan perlombaan itu.” ibunya tertawa,

“Sampeyan dulu juga selalu kucari, tapi nggak pernah bosan.”

“Lain. Kamu selalu mencari karena sudah menjadi isteri.”

“Orang yang nggak setia juga marah jika dicari-cari isteri. Malah lebih marah daripada dicari-cari pacar. Menurutku, memang tidak usah lagi mengharap Si Sarif menemanimu saat pesta pernikahan kedua adikmu.”

Waktu itu telah lama berlalu. Ia pun tidak mudah membuka hatinya kepada lelaki. Ia bahkan disibukkan dengan pekerjaan dan berkuliah lagi. Hingga pada suatu ketika, hatinya tersentuh cinta. Ia merasa sangat mencintai lelaki muda tersebut. Akan tetapi, trauma kembali mengusiknya. Bukankah ia tipikal budak cinta? Jangan-jangan cara-caranya itu malah membuat kekasihnya bosan lalu mencari tantangan dengan cara menggoda wanita lain?

Bukankah dulu Si Sarif juga luar biasa perjuangannya dalam memburunya? Tapi begitu ia menerima cintanya, malah berulah. Kata bapaknya, ia terlalu emosional tidak bisa membuat si Sarif penasaran untuk terus memburunya, sedangkan pendapat ibunya, Si Sarif memang tidak mencintainya. Karena jika cinta, tak ada alasan untuk tidak cinta. Ah, begitu abstrak. Ia tengah berpikir dan berpikir bagaimana caranya agar cinta lelaki bisa awet? Tentu bukan karena guna-guna melainkan melalui inner beauty. Pasti ada ilmunya, hanya saja, ia belum mempelajarinya. Lebih tepatnya, belum mempraktikkannya karena teori dengan praktik seringkali tidak berkaitan. Bukan teorinya yang salah, hanya kejemuan mempraktikkan teori yang membuat teori tinggal teori. Pembiasaan memang bukan hal yang mudah.

Sebelum ia berlatih membiasakan diri agar dicintai, lelaki yang dicintainya itu terlihat berdua dengan wanita lain. Maka dengan perasaan lebur berkeping-keping, ia pun menikah. Menikah begitu saja, tanpa cinta. Sesekali, jika teringat telenovela Mexico, seorang lelaki berkuda yang melarikan kudanya kencang-kencang untuk merebut kekasihnya dari lelaki lain di pesta pernikahannya, ia pun tersenyum. Walaupun hal itu semacam halusinasi tapi membuatnya terhibur. Maka, ia pun menikahlah. Menikah tanpa cinta.

Suaminya pun memiliki masa lalu yang sulit dihapus. Ia pernah menikah. Seperti umumnya lelaki, manakala kondisi ekonominya meningkat, ia pun teringat wanita yang dulu dinikahinya dalam kondisi ia masih belum memiliki apa-apa.

“Aku dulu sering menyakitinya. Ia jarang kuberi uang belanja sekadar untuk bertahan hidup. Ia pun meninggalkanku demi lelaki kaya, padahal lelaki itu suami orang. Kini ia masih sendiri. Kasihan dia.”

“Jika masih mencintainya, kembali saja kepadanya. Kita bercerai,”katanya tanpa amarah. Suaminya tidak menjawab. Mereka tidak sanggup bermesraan. Cinta yang mendalam terhadap masa lalu masing-masing seolah membuat keduanya hanya berteman, bukan menikah, kendati keduanya memang menikah tanpa cinta. Semata risih merasa dibully dengan pertanyaan menyudutkan, “Kapan menikah?”

Akan tetapi, suaminya memang bukan tipe lelaki yang mau berjuang keras demi mengais rezeki. Atau lebih tepatnya, ia memilih pekerjaan yang menghasilkan banyak uang dengan berusaha mandiri dan dirinyalah yang diminta memodali upayanya itu. Ia yang tidak ingin terikat dengan pernikahan tersebut, memberinya modal dengan harapan bisa berkembang lalu mereka bercerai baik-baik. Harapan tinggal harapan. Modal yang diberikannya tidak kunjung berkembang bahkan tidak ada arah tujuan. Ia merasa hanya dijadikan sarana untuk memperoleh uang dengan nyaman. Maka, ia pun mengurus perceraian.

Kembali ia menatap dedaunan yang tertimpa sinar matahari. Betulkah aku wanita yang lemah? Manakala lelaki tidak kuhiraukan, ia akan berjuang jungkir balik seperti Sarwo, atau awal-awal Si Sarif memburunya. Perasaan kecewa kepada ulah Si Sarif membuatnya menutup hati kala ia mengajaknya kembali. Ia bukan semata dendam tapi cemas Si Sarif akan kembali kehilangan tantangan jika diterimanya kembali. Akan tetapi, menikah tanpa cinta pun semakin membuatnya runyam. Ia bagaikan memamah buah simalakama.

Sidoarjo, 12 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post