Nanik Wijayanti

Nanik Wijayanti, guru Bahasa Indonesia di SMAN 2 Sidoarjo, menulis dengan menggunakan nama Kinanthi....

Selengkapnya
Navigasi Web
Presentasi

Presentasi

Cerpen

Presentasi

Oleh Kinanthi (Nanik Wijayanti)

Kelas terasa sepi. Para siswa sedang berkelompok mengerjakan tugas kelompok bersama kelompok masing-masing. Setiap kelompok berisi 5-6 siswa.

“Bu, dikerjakan di power point atau word?” seorang siswa mendekat.

“Kalian harus mempresentasikan, bukan?” ia mengembalikan pertanyaan.

“Hm...kalau begitu, saya kerjakan di power point saja ya. Bu,”jawabnya.

“Betul. Diringkas ya. Jangan hanya menyalin. Kesanggupan meringkas merupakan bukti Kalian memahami isi teks, kan?”

Ia kembali bersibuk dengan laptopnya mengikuti kesibukan murid-muridnya yang juga bersibuk dengan gawai dan laptopnya. Sesekali diedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Kali ini ia sedang berada di kelas IPS. Masing-masing kelas memiliki spesifikasi berlainan dalam menyikapi situasi pembelajaran. Anak-anak IPA ada kecenderungan diam. Entah mereka memang anak-anak pendiam atau karena terpengaruh teman-temannya. Anak-anak IPS berlawanan dengan anak-anak IPA. Mereka cenderung ramai, terutama para siswa. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa bukan anak jurusan IPS namanya jika diam saja sepanjang pembelajaran berlangsung. Kata cenderung memang tidak bermakna semuanya, itu berarti tidak semua siswa IPS ramai ketika pembelajaran berlangsung. Adapula yang tidak terpengaruh ulah teman-temannya.

“Bu! Ibu belum pernah mengajar anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental, kan?” tiba-tiba seorang siswa bertanya sambil bergerombol di pojok baca yang terdapat di setiap kelas. Pojok baca dibuat sebagai perwujudan dari kepedulian kelas terhadap literasi.

“Mengapa Kalian bergerombol di situ? Bukankah Kalian tidak sekelompok?” tegurnya.

“Kami sedang mencari bahan rujukan dari buku, Bu,” jawab seorang siswa sambil membuka- buka sebuah buku dari koleksi buku yang terdapat di pojok baca kelas mereka.

“Anak-anak perempuan yang mengerjakan di powerpoint, Bu. Kami yang mencari bahan tambahan dari buku. Bukankah kata Ibu, sumber dari buku lebih terpercaya daripada sumber dari blog di internet? Karena di blog tidak selalu ada editor,”sahut temannya sambil ikut membuka-buka buku.

“Bu! Betulkan? Ibu belum pernah mengajar anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental kan?” siswa yang bertanya semula, mengulangi lagi pertanyaannya.

“Belum. Ada apa?”

“Bu. Kami bisa bermain peran seperti mereka lho. Betulkan, teman-teman?” katanya sambil menoleh ke arah teman-temannya yang sedang bergerombol di pojok baca.

“Betul!!” jawab mereka serentak.

“Bermain peran yang bagaimana?” ia bertanya tanpa mengangkat wajah dari laptop karena sedang membuka excel untuk membuat tabel penilaian.

“Kami bermain peran menirukan suara-suara binatang ya Bu,” kata seorang siswa sambil memberi komando kepada teman-temannya.

“Ayo teman-teman,”katanya sambil memulai menirukan suara kucing.

Teman-temannya pun satu persatu menirukan suara binatang. Ada suara ayam jantan berkokok, suara jengkerik, burung, anjing, harimau mengaum, kerbau, kambing.

Suara yang diperdengarkan walaupun bersahutan tapi terdengar berirama sehingga tidak berisik. Beberapa anak perempuan terlihat tertawa, tersenyum, tapi adapula yang tak acuh. Mereka berkonsentrasi mengerjakan tugas kelompok.

Ia pun tidak melerai selain teman-temannya tidak ada yang memprotes, ia pun tengah mencoba berkonsentrasi mengerjakan tabel penilaian dalam RPP-nya. Sebetulnya ketika libur semester, ia telah menyediakan waktu khusus untuk mengerjakan RPP yang dikerjakan per KD. Pada umumnya, jika dikerjakan semua, RPP tiap KD bisa mencapai lima belas halaman. Yang sanggup dikerjakan masih dua buah RPP padahal dalam satu semester terdapat lima KD.

Sebetulnya juga bukan karena bermalasan jika ia hanya sanggup mengerjakan dua KD. Selama liburan bulan Desember semester lalu, ada saja hal yang membuatnya gagal menyelesaikan RPP dari kelima KD dalam semester tersebut. Pertama, ada tiga kali undangan pernikahan, disamping keharusan untuk takziah karena ada kenalan yang meninggal dunia, lalu ada pula tetangga yang melahirkan anak, masih ditambah lagi dengan arisan RT dan RW, ada pula undangan reuni dari teman-teman sekolahnya. Niat mengundang untuk silaturahim yang tidak harus diabaikannya jika ada waktu. Tentu saja seizin suaminya yang percaya ia tidak akan berulah macam-macam misalnya CLBK karena masa lalu tinggallah masa lalu, yang harus terkubur dalam-dalam tanpa ada kenangan yang harus diulang.

Hal itu masih ditambah dengan keinginan untuk menata rumah yang meliputi isi lemari pakaian yang sudah berantakan, harus ada yang dikeluarkan karena ada yang akan dimasukkan. Setelah menikah, ia memang memprogramkan jika ada pakaian baru yang dimasukkan ke dalam lemari, harus ada pakaian lama yang sudah tidak terpakai atau jarang terpakai untuk dikeluarkan. Pakaian yang baginya sudah tidak maupun jarang terpakai, bisa jadi bagi orang lain sangat dibutuhkan.

Selain menata isi lemari pakaian, yang tidak kalah penting adalah membenahi isi lemari dapur dan kulkas. Dari dalamnya pasti ada saja bahan makanan yang harus segera dikeluarkan juga karena sudah bertumpuk dengan bahan makanan lainnya. Bahan makanan yang adakalanya tidak sempat dimasak padahal sudah telanjur dibeli. Seringkali keinginan memasak dibatalkannya karena sudah kelelahan sampai di rumah sepulang kerja.

Tanaman-tanaman di luar pun membutuhkan perhatian. Ada yang sudah kering kekurangan tanah, perdu liar yang bertumbuhan mendesak tanaman berbunga, misalnya alang-alang yang ikut bertumbuh di samping anggrek tanah. Selain rumput-rumput liar yang juga harus segera disingkirkan, tanaman pun memerlukan tambahan pupuk, adakalanya pun ada beberapa tanaman yang harus diganti karena tidak dapat tumbuh dengan baik.

Hmm...andaikan ia bisa menganggarkan biaya untuk menggaji orang dalam menangani pekerjaan rumah tangga, tentu ia bisa berkonsentrasi dalam pekerjaan. Akan tetapi, ia pun memerlukan biaya untuk membayar cicilan mobil yang digunakan untuk bekerja dan biaya perawatan diri. Anggaran yang tidak sedikit, padahal biaya cicilan rumah, biaya kebutuhan hidupnya beserta suami dan kedua anaknya sudah didanai dari gaji suaminya. Jika sudah demikian, ia pun mengeluh. Mengapa tunjangan profesi tidak diberikan setiap bulan? Andaikan diberikan setiap bulan, aku tentu bisa menganggarkan biaya untuk menggaji orang dalam membereskan pekerjaan rumah, anggap saja berbagi rezeki.

“Andaikan saat jam kosong kita membawa seterikaan ke sekolah, tentu pekerjaan rumah menjadi ringan,”celetuk seorang ibu.

“Masalahnya, kita menyeterika di mana? Bukankah jika menyeterika di rumah, kita mengenakan daster tanpa berkerudung?”

“Betul juga. Bagaimana kalau menyeterika di ruang laktasi?”

“Wah...ruangnya sempit. Jika para ibu yang menyusui bayinya berbarengan mengambil asinya yang sudah penuh, bagaimana?”

“Betul juga.”

“Kita meneruskan mengerjakan RPP yang tertunda? Tapi mengapa kalau sudah masuk kelas kita tidak lagi bisa berkonsentrasi untuk mikir? Mungkin kelelahan berjalan dari kelas ke kelas? Inginnya kalau ada jam kosong yang dikerjakan yang ringan-ringan. Membaca materi pembelajaran, mengoreksi,..

“Ngerumpi. Untuk mikir meneruskan mengerjakan RPP hasilnya tidak semaksimal jika kita libur seharian, misalnya hari Sabtu dan Minggu.”

“Padahal Sabtu dan Minggu seringkali ada kegiatan. Anak-anak selalu minta diajak jalan-jalan. Cucian pun bertumpuk, masih dicuci belum sempat diseterika.”

“Disyukuri saja. Kita cari solusi agar tidak ada keluhan. Kalaupun hati kita mengeluh, raga kita juga yang kalah. Raga ini semakin tua semakin menolak untuk diajak marah, diajak mengeluh, diajak berpikiran negatif.”

Bersamaan dengan tabel penilaian yang terselesaikan, seorang siswa yang merasa kelelahan menyuarakan suara-suara binatang memprotes,

:Bu! Mengapa tidak dimarahi? Tidak diminta berhenti? Lelah juga berperan menjadi penghuni kebun binatang.”

“Salah sendiri, siapa yang menyuruh?” sahut seorang siswi sambil tertawa,”Coba tadi Kalian membantu kami menyelesaikan kerja kelompok, tentu tidak kelelahan.”

Ia pun menahan tawa dalam hati. Maafkan anak-anak. Seharusnya ketika kalian mengerjakan tugas kelompok, saya berkeliling memantau siapa yang paling banyak mengerjakan tugas, siapa yang hanya bermain gawai seolah membantu mencarikan bahan presentasi tapi bermain game. Konsentrasi mengerjakan format penilaian membuat waktu satu jam pelajaran berlalu, padahal akitivitas kalian dalam mengerjakan tugas kelompok juga perlu dinilai, bukan hanya ketika harus tampil di depan kelas untuk berpresentasi.

“Ada suara yang belum terdengar tadi. Suara nyambik, garangan, dan monyet,”jawabnya sambil memperhatikan seorang siswa yang maju membuka LCD kemudian menyalakan proyektor, bersiap-siap untuk presentasi.

“Yang hanya bermain peran sebagai penghuni kebun binatang, ketika presentasi harus membaca isi kalimat dalam powerpoint...

“Wah...bagaimana kalau ada pertanyaan, tentu saya tidak bisa menjawab.”

“Tentu saja yang menjawab mereka yang mengerjakan. Tapi Kalian kan masih bisa berharap memperoleh nilai,” jawabnya sambil berpindah tempat duduk di belakang agar leluasa memberikan penilaian, lalu menyilakan kelompok yang telah siap melakukan presentasi untuk memulai.

Sidoarjo, 21 Desember 2019

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post