Khairunnas, M. Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SADAR TAK TOBAT

SADAR TAK TOBAT

Kursi tamu yang terbuat dari kayu jati asli tersusun dengan rapi. Untuk memberikan kesempurnaan daya tarik ruangan perlu ditata kursi tamu tersebut diikuti tatanan bunga yang terletak sudut-sudut ruangan kerjaku dan tak lupa pernak-pernik lainnya. Sementara meja kerjaku terletak agak sebelah timur tepatnya samping duduk tamu. Meja kerjaku terlihat begitu rapi dan menakjubkan seakan menunjukkan kemewahan sebuah ruangan kerja berkelas. Meja kerja tersebut diapit oleh dua tonggak bendera yang sebelah kanan dari arah tempat duduk terpancang tonggak bendera yang dipasangkan bendera merah putih dan sebelah kini juga berdiri tonggak bendera lembaga yang ku pimpin dan diikatkan bendera lembaga yang mayoritas berwarna kuning.

Pukul 07.15 aku telah sampai diruangan kerjaku. Kulihat setumpuk kertas kerja yang harus ditanda tangani. Melihat setumpuk kertas kerja tersebut membuat aku kurang bergairah mengerjakkannya, salah satunya kebijakan masa depan lembaga yang kupimpin yang harus kuselesaikan, tetapi pekerjaan tersebut kurang pede dalam menyelesaikannya. Aku tak mau ambil pusing, aku harus mengerjakan yang dapat kukerjakan saja. Sementara pekerjaan yang rumit akan kulemparkan kepada bawahanku. Aku tak mau tahu, ”pokoknya pekerjaan tersebut harus dapat diselesaikan oleh bawahanku. “Ah.., tak mau ambil pusing, pikirku,” aku berguman sendiri.

Kebisingan tempat kerjaku membuat aku cepat jenuh dan buntu dalam menyelesaikan pekerjaanku. Tapi aku tak mau pusing juga..., Dalam keadaan ini, aku teringat oleh Wati yang sungguh sangat menawan. Kupikir cocoklah untuk berbagi ide, pendapat dalam hal-hal tertentu. Bila kupikir sebenarnya aku tidak boleh seperti itu, apalagi Wati sudah bersuami pula dengan kelas yang mapan juga dan nyentrik dengan keplontosannya. Sementara aku juga sebenarnya sudah beristri, punya anak dua. Tapi apa boleh buat perasaanku masih menaruh kepada Wati yang terlihat begitu cantik dan memberikan daya magic yang sungguh luar biasa. Kebanyakan orang-orang juga seperti gedongan dan kedudukannya lebih tinggi dari aku, mereka juga seperti itu, mungkin lebih parah lagi dari sekedar teman kerja ataupun sahabat ceting-cetingan. Pikiran konyolku ini muncul karena pengalamanku yang oleh teman dekatku juga seperti itu. Apa bedanya dengan saya, saya hanya mengingat Wati sebagai teman juga, teman kerja juga, teman kompromi, teman untuk diskusilah,”Ya begitulah, celoteh dalam pikiranku.”

Suatu ketika, saat aku harusnya masuk kerja 07.30 terpaksa telat masuk kerja, yaa walaupun banyak telatnya alias hadir juga banyak bolongnya, sebab aku harus mampir dulu di tempat kerja Wati. Tak apalah, sebab kehadiranku sudah diambilkan oleh bawahanku. “Enteng tu absen”

“masak bodoh,”

“Bukankah semuanya sudahku atur bawahanku untuk absesnsiku” Gumamku dalam hati.”

“Kan lebih baik singgah dulu di tempat kerjanya Wati, yang selama ini cukup mengganggku pikiran dan perasaanku.”

“Assalamualaikum Wati,” Kata ku setelah sampai diruangan kerja Wati.

Wati terkejut mendengar aku, telah berdiri di depan pintu masuk ruangan kerja Wati.

Lalu, ”Waalaikumsalam Bang Tobat,” jawab Wati menjawab salamku.

“Silahkan masuk, Bang Tobat,”Kata Wati, mempersihkan aku masuk keruangan kerja Wati.

“Ndak masuk kerja ni, Bang?” Tanya Wati”

“Iya,”Jawabku sambil duduk dikursi tamu ruangan kerja Wati yang lebih kurang sama mewahnya ruangan kerjaku.

“Ada apa ni, Bang pagi-pagi sudah mampir di sini, geledek Wati.”

“Apakah ada yang perlu kita diskusikan?” Tanya Wati kembali.

“Anu,...oh, anu, masalah yang kemarin itu Wati, dari atasan kita di Padang,” Kilahku.

“Masalah apa tu Bang Tobat?”kejar Wati yang belum juga paham.

“Masalah rencana keberangkatan ke Jakarta” Jawabku dengan mantab.

Hampir saja kedokku ketahuan, mengapa pagi-pagi begini sudah ke ruangan kerja Wati,”Pikirku.”

Dasar edan pikiranku ini, kurasa harus diset kembali pola pikiranku. Sebab Wati selama ini memberikan harapan kepadaku, sehingga aku pun terpeleset pada pandangan dan senyumnya. Aku tahu tentang pikiran Wati terhadapku. Apakah juga dia menganggapku sebagai rekan kerja yang cocok atau tidak. Jangan-jangan aku sendiri yang kerasan, sementara Wati tidak, alangkah edannya pikirnku ini.

“Ooh... , masalah rencana ke Jakarta kemarin itu? ,”Wati kira ada yang hal penting banget Bang.

Waduh, malu juga aku rasanya, mendengar jawaban Wati yang seakan-akan mengetahui jalan pikiranku dan sengaja meledeknya. Tapi ndak tahu jugalah jalan pikiran Wati, apakah memang sama sekali tidak mengetahui jalan pikiranku sehingga maksudku datang berkunjung ke ruangan kerjanya untuk melepas unek-unek,” gitu loh.”

“Kalau masalah itu, dapat kita bicarakan dilain waktu saja Bang, “Kata Wati.

“Bukankah kita pergi bersama rombongan.” Jadi lebih baik kita bicarakan bersama rombongan, kan lebih baik, “Iya kan Bang.”Kata Wati.”

“Oh, iya..., iya Wati, nanti dibicarakan bersama teman lainnya agar lebih baik dan oke,” Tambahku untuk meluruskan persoalan dan memperbaiki ide dan jalan pikiranku yang konyol itu.

Betapa malunya aku dalam peristiwa yang barusan kulalui. Tapi, Wati sebenarnya mengajariku tentang cara berpikir yang lebih baik, memprioritaskan pekerjaan dan tanggungjawab ditempat aku bekerja, bukankah aku seorang ledership alias pemimpin lembaga. Tapi di sisi lain perasaanku kepada Wati tak dapat pula kupungkiri, bahwa sebenarnya aku suka kepada Wati. Aku juga suka cara Wati memutuskan suatu perkara sesulit apapun masalahnya dapat diselesaikannya dengan baik. Coba bandingkan dengan aku, tak punya visi kerja, tidak punya rencana kerja, tidak berani mengambil keputusan dan tidak memiliki inisiatif dalam menyelesaikan suatu masalah yang kuhadapi di lembaga yang kupimpin.

“lider apalah aku ini,”Aku bertanya dalam hatiku sendiri.”

Tapi Aku kan sudah berusaha pula untuk DEPIM (dekatin pimpinan).

“Ya, di situ pula keunggulanku, pikirku agak angguh”

Kembali pada masalah ke Jakarta tadi. Sebenarnya bukan kali ini saja Wati membuat pikiranku kacau dan mempermalukan aku. Walaupun sebenanrnya pikiranku memang kacau sudah dari sononya barangkali. Beberapa peristiwa yang membuat aku kecewa, misalnya saat pergi ke Padang tempo hari juga seperti itu,” Aku berjanji dengan Wati pergi semobil, tapi nyatanya wati pergi dengan suaminya. Ya terpaksa aku sendiri dan nyetir mobil sendiri. Ketika pergi ke Batusangkar juga seperti itu, aku sudah janjian akan menjemput Wati pergi bersamaan,”eeeh, tahu-tahu Wati tak jadi pergi. Nasiiiib,...-nasiiiiiib, alangkah edannya pikiranku.

Hari terus berlalu, bulan berganti dengan bulan, bahkan tahun sudah berganti pula menjadi tahun 2020. Demikian juga dengan detik, menit, jam, dan waktu demi waktu aku lalui terus bergulir sesuai dengan putarannya. Aku belum juga mau beranjak dari persoalan pribadiku kepada Wati. Walaupun aku menyadari bahwa Wati sebenarnya baik kepadaku, tetapi wati tidak tahu keinginanku. Aku adalah Tobat, ya namaku Tobat, benar-benar Tobat yang belum Tobat. Aku sangat menyadari dan sangat menyadari tentang diriku, tetapi aku belum juga tobat bahwa Wati punya suami, punya anak, dan keluarga. Dan aku juga demikian punya istri, punya anak dan keluarga. Tapi kapan sadarnya dan tobatnya ya, sesuai dengan namaku sendiri “TOBAT”.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post