Nela Yanti Despan, S.H.,S.Pd

Nama Saya Nelayanti Despan, S.H Lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada tahun 1974. Saya lulusan Universitas Muhammadiyah Sumatra Ut...

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan paksa anakmu sekolah!

Jangan paksa anakmu sekolah!

Sudah menjadi hal umum orangtua seolah berlomba-lomba ingin mendaftarkan anaknya masuk ke jenjang sekolah dasar, meski tak jarang belum cukup usia.

Ada fenomena menarik belakangan ini disekolah. Beberapa orangtua berusaha memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar kami sedini mungkin. Bahkan, ada orangtua yang ingin memasukkan anaknya yang masih berusia 4,5 tahun hanya karena si orangtua khawatir, anaknya “ketuaan” saat masuk SD. Mereka juga merasa anaknya sudah siap masuk sekolah dasar, karena sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

Biasanya tamatan dari Taman Kanak-kanak di lingkungan lembaga pendidikan kami sudah pasti langsung diterima di SD kami. Namun masih harus mengikuti seleksi usia sekolah seperti yang sudah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seperti tertuang dalam Peraturan Mendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Pada Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Penolakan sejumlah anak yang belum cukup umur pada Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) bukan keinginan pihak sekolah dasar.

Suatu pagi aku kedatangan sepasang suami istri yang ingin mendaftarkan putranya yang katanya pertanggal 1 Juli berusia 5 tahun 6 bulan. Sulit untuk melihat kebohongan pada mereka saat itu. hanya saja sudah kuingatkan bahwa jangan memaksakan untuk menyekolahkan anak mereka dengan usia yang masih cocok duduk di bangkuTK. Kemudian aku menjelaskan dampak dari kurangnya umur meskipun sehari mau masuk SD tetapi usianya di bawah 6 tahun, maka tidak akan masuk dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Hal tersebut mengacu pada peraturan pusat yakni Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang hanya menerima siswa tersebut 6 tahun ke atas.

"Kalau memang anak bapak dan ibu tidak diterima disebabkan karena sistemnya menolak, bukan karena sekolah," tuturku kepada mereka.

Kemudian aku melanjutkan,,”meskipun anak bapak dan ibu tetap dipaksakan masuk maka tidak akan terdata dapodik, serta tidak mendapat nomor induk siswa”.

Jadi, jika bapak dan ibu memiliki anak usia 6 tahun, dan berencana ingin memasukkannya ke sekolah dasar, maka boleh-boleh saja. Asalkan anak memang sudah siap secara psikis dan memiliki kecerdasan istimewa. Itulah mengapa beberapa sekolah dasar lain melakukan observasi pada calon peserta didiknya, semata-mata agar calon siswa memang memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.

Mereka tetap ngotot ingin memasukkan anaknya untuk tetap masuk SD dan mirisnya aku tidak mengetahui bahwa anaknya tetap bersekolah di SD kami. Astaghfirullahaladzim, aku kecolongan. Konsekuensinya di bulan September terbukti bahwa anak tersebut (sebut saja si “M”) di Blok Merah oleh sistem. Kalau sudah begini, apa coba?

Aku memanggil orangtua dari siswaku itu ke kantor untuk mengklarifikasi masalah ini. Bukan solusi yang baik kuterima, malah mereka menyalahkan diriku waktu itu. Tentunya aku juga tak terima perlakuan tak baik dari mereka karena sudah dari awal diingatkan dan sudah dijelaskan. Mereka tetap menuntutku untuk tetap menerima anaknya di SD kami. Perdebatanpun mulai memuncak sehingga menimbulkan ancaman dari bapaknya. si “M”.

Menghadapi persoalan ini, sebenarnya aku tidak khawatir karena hal ini telah ditetapkan oleh pemerintah. Semua aturan ini sebenarnya sudah melalui berbagai macam pertimbangan, sehingga sebagai orang tua tidak perlu memaksakan aturan tertentu sampai-sampai harus berbohong pada pihak sekolah agar anak diterima di sekolah tersebut. Orang tua memang perlu bijak dalam memahami setiap aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Akhirnya,dengan berbagai pertimbangan mereka mengurus sendiri agar anaknya bisa tetap mengikuti pembelajaran di SD. Prinsipku peraturan tetaplah peraturan, menerima resiko kemudian hari, ini tak kuinginkan. Semua regulasi sudah kujelaskan dan banyak pertimbangan yang harus mereka pikirkan dengan akal yang jernih. Ini untuk masa depan anak mereka, dan mereka juga harus memikirkan keberlangsungan pendidikan kedepannya. “Kasihan anaknya menjadi korban keegoisan orangtuanya,” gumamku dalam hati.

Menurut laporan wali kelasnya, si “M” belum mandiri dan manja sehingga semua tugas dikelas tak pernah selesai dikerjakannya. Bagaimana tidak? Yang harusnya diusianya sekarang ini, dia masih harus bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain.

Dengan kejadian yang kualami ini, aku bermohon kepada seluruh orangtua di seluruh penjuru nusantara untuk lebih cermat dalam memahami kesiapan sekolah anak dan memeriksa kembali apakah kemampuan anak di seluruh aspek perkembangannya sudah benar-benar matang untuk melanjutkan pendidikan ke SD.

Jangan sampai orangtua merasa anak siap, namun kenyataannya masih ada aspek-aspek yang perlu dioptimalkan kembali pada anak. Anda sayang anak? Saya juga!

Tantangan menulis hari ke-61

#TantanganGurusiana

Jumat, 28 Maret 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Komunikasi yang baik dengan saling mendengar pendapat sangat penting dalam mengambil kepugusan.

29 Mar
Balas

Rasa hormatnya sudah hilang pak, kita dipaksa untuk menerima anaknya dengan mengancam. Saya hanya kasian lihat si anak belum siap untuk SD. Merasa hebat dengan pamer kekuatan.

02 Apr
Balas



search

New Post