Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 26 TANJUNGPANDAN. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Andara

Cinta Andara

Part. 16

“Aku mau ke apartemen, mungkin pulang agak malam.” Bagas bangkit dari tempat tidur dan langsung keluar kamar. Sama sekali tidak peduli bagaimana perasaanku.

Aku hanya bisa menatap punggungnya. Aku merasa tak tertarik lagi dengan semua hadiah dan kado-kado yang belum kubuka. Ada rasa kecewa melihat sikap Bagas. Dia seakan tak peduli atau memang tidak akan pernah peduli padaku.

Kuhela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Ada bulir bening yang mencoba keluar. Namun, segera kuhapus dengan kasar.

Mengapa kamu harus kecewa, Dara? Bukankah dari awal kamu sudah tahu akan seperti ini, hati kecilku berbisik.

Iya, mengapa aku harus kecewa? Tujuanku menikah dengan Bagas adalah supaya mendapat izin dari Nenek dan Kakek agar aku bisa keluar dari kota kecil kami. Agar aku bisa kuliah di kampus idamanku. Dan itu tinggal selangkah lagi. Mengapa aku harus kecewa dengan sikap Bagas?

Perlahan kakiku melangkah ke arah jendela, mencoba mencari ketenangan. Dari kamar Bagas yang berada di lantai dua, terlihat deretan rumah-rumah megah dengan berbagai arsitektur mewah. Rumah-rumah dengan pagar tinggi yang tampaknya seperti sepi. Mungkin penghuninya sedang sibuk kerja.

Ya, ini adalah kompleks rumah mewah. Sangat jauh berbeda suasananya dengan di kampung. Tidak ada warga yang terlihat sekedar berjalan-jalan untuk belanja ke warung. Hanya terlihat mobil- mobil mewah yang keluar masuk membawa penghuninya. Aku tidak pernah menyangka akan bisa berada di sini. Sekadar membayangkannya saja tidak pernah.

Baru beberapa jam saja, aku sudah merindukan Nenek dan Kakek juga suasana kampungku.

Pintu kamar diketuk beberapa kali, Mbak Rani---asisten rumah tangga yang tadi membantu membawa tasku. Dia tersenyum sambil membungkukkan tubuhnya, membuatku merasa tidak nyaman.

“Mbak, biasa aja.” Aku memegang pundaknya.

“Maaf, Mbak ditunggu Ibu di bawah.”

Aku tersenyum dan mengangguk, lalu mengikuti langkah Mbak Rani menuruni tangga. Karpet yang melapisi tangga begitu lembut. Rumah ini sangat besar. Hanya beberapa kamar yang terisi. Para sopir dan asisten rumah tangga menempati paviliun.

Mama Yeni tersenyum saat melihat kedatanganku. Mbak Rani segera pergi.

“Sini duduk. Bagas pergi ya?” tanya Mama seraya menatapku. “Iya, Ma. Katanya mau mengambil barang di apartemennya.

“Maafkan Bagas, ya.”

Aku menatap Mama. “Maaf untuk apa, Ma?” Aku merasa seperti ada yang disembunyikan wanita itu tentang Bagas.

“Iya, maaf, kamu sering ditinggal sama Bagas.”

“O, enggak apa-apa Ma.” Aku tersenyum menatap wanita itu.

“Ini, Mama mau ngasih tahu. Kalau kamu mau pergi, ada sopir yang mengantar. Soal keuangan tidak perlu khawatir, kamu bisa menggunakan kartu ini sesuka kamu. Bagas juga akan memberikanmu uang tiap bulan. Kamu juga boleh mengirim uang untuk Nenek dan Kakek,” ucap Mama Leny seraya memberikan sebuah kartu ATM.

Mataku menatap ibu mertuaku. “Enggak perlu, Ma. Jangan terlalu berlebihan.”

“Enggak, sayang. Ini memang hak kamu. Terimalah Kamu adalah anak Mama sekarang. Pasti berat buatmu meninggalkan keluarga yang selama ini sudah mengasuhmu. Mama Minta maaf, karena kami meminta kamu untuk menikah dengan Bagas tanpa ada perasaan cinta di antara kalian.”

“Tapi, Ma....”

“Mama ingin kamu bahagia, lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Sudah kewajiban kami untuk memenuhi keinginan dan kebutuhanmu.” Aku terdiam. Ada keraguan untuk menceritakan tentang niatku untuk kuliah.

Dengan ragu-ragu aku mengambil kartu yang diberikan Mama.

“Ma, sebenarnya....” Aku terdiam dan ragu untuk melanjutkan.

“Ya, Sayang. Ada apa? Katakanlah.” Mama tersenyum lembut.

“Kalau boleh, aku ingin melanjutkan kuliah.” Rasanya lega setelah berhasil mengatakan maksudku. Walau aku merasa ragu, apa Mama mengizinkan atau tidak.

“Kuliah? Yang benar?” tanya Mama. Aku tertunduk. “Iya, Ma. Kalau Mama mengizinkan,” jawabku pelan.

“Boleh, Sayang. Mama malah senang. Kamu masih punya keinginan untuk kuliah.” Seketika aku merasa lega. Langsung kupeluk wanita itu dan membiarkan air mataku mengalir.

“Terima kasih, Ma.”

“Iya, Sayang. Kalau kuliah kan enggak masalah walau nanti kamu hamil,” ucap Mama. Seketika aku terdiam.

“Iya, Ma. InsyaAllah,” jawabku perlahan.

“Tapi, apa Bagas sudah tahu?” Aku mengangguk. “Iya, Ma.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi? Besok minta antar Bagas untuk daftar kuliah.”

“Belum bisa, Ma. Karena sekarang sudah lewat masa pendaftaran.”

“Pokoknya kamu tenang saja,” jawab Mama seraya tersenyum.

**

Sampai makan malam, Bagas belum pulang. “Maafkan suamimu, ya Sayang. Munkin dia langsung ke kantor. Karena sudah lama dia tinggalkan.”

“Iya, Ma. Enggak apa-apa.”

Melihat Ayah, ada sesuatu yang menggelitik hatiku dan ingin tanyakan.

“Yah, dulu Ayah pernah tinggal di Belitung kan?” Kulihat Ayah mengangguk.

“Iya, cukup lama, Sampai SMA , Ayah masih di sana.”

“Kalau begitu, Ayah pasti tahu tentang Ibuku.”

“Iya, tapi saat itu Ibu kamu masih kecil. Dia cantik dan lucu,” jawab Ayah sambil tertawa.

“O, jadi Ibu waktu itu masih kecil?” Ayah mengangguk. Ada rasa kecewa di hatiku. Sebenarnya aku ingin mencari informasi tentang Ayah.

Terdengar langkah kaki memasuki rumah. Kami menoleh. Ternyata Bagas.

“Nak, sini makan dulu,” ajak Mama Yeni pada putra kesayangannya.

“Enggak Ma, masih kenyang,” jawab Bagas sambil tetap melangkah menaiki tangga. Aku merasa kesal melihat sikapnya yang tidak memedulikan kedua orang tua yang begitu menyayanginya.

Aku termangu menatap piringku yang tersisa separuh. Bagas sungguh keterlaluan. Dia boleh mengabaikanku, tetapi jangan kedua orang tuanya.

“Udah, kenyang, Ma.” Kutinggalkan piringku dan berjalan menaiki tangga menuju kamar Bagas.

Laki-laki itu sedang berganti pakaian. Dia mengacuhkanku. Wajahnya ditekuk. Aku menghela napas. “Kamu boleh tidak mengindahkanku. Tapi kamu sama sekali tidak memedulikan Mama dan Ayah yang sejak tadi menunggu dan mengajak untuk makan bersama.”

Bagas menatapku dengan tatapan dingin dan tidak suka. “Kamu, baru sehari jadi istriku. Sudah berani untuk mengatur-atur hidupku?” Nadanya terdengar sinis. “Kalau mau makan ya makan saja, untuk apa menunggu aku pulang?”

Ya Allah... Kesal rasanya mendengar ucapan yang keluar dari mulut suamiku. Ingin rasanya kulempar dengan alas kaki. Sunggu tidak punya perasaan!

“Kamu tidak pernah tahu bagaimana rasanya tidak punya orang tua!” Aku tidak bisa menahan perasaanku. Bagas terdiam dan menatapku.

“Maaf, kalau aku terlalu kepedean. Aku cuma tidak ingin mereka kecewa. Karena, aku sudah menganggap mereka sebagai orang tuaku. Orang tua yang selama ini tidak pernah ku miliki.”

Sejenak Bagas terdiam. Namun, aku tidak peduli dan segera keluar kamar. Malas rasanya berlama-lama dengan orang yang tidak punya perasaan dan empati seperti. Itu.

Aku menuju taman belakang. Duduk di pinggir kolam renang. Suasana sepi. Kubiarkan bulir bening menetes. Entah berapa lama aku sanggup bertahan.

Selama ini aku tidak pernah muluk-muluk. Pendamping hidup yang kuinginkan adalah sosok yang bisa mengerti aku dan menyayangi keluarga. Soal materi tidak pernah terpikir di benakku.

Aku menatap kearah kamar Bagas yang sekarang juga merupakan kamarku.

Ah! Hari pertama saja sudah seperti ini. Bagaimana dengan hari-hari selanjutnya?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap karyanya

23 Mar
Balas

Alhamdulillaah, keren karyanya, sehat selalu bersama keluarga dan sukses bu Nelly Kartina

23 Mar
Balas



search

New Post