Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 26 TANJUNGPANDAN. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Andara

Cinta Andara

Part. 6

Setelah sarapan, aku ikut bersama Nenek dan Kakek ke rumah sakit. Aku merasa sangat sedih ketika melihat Tante Yeni terbaring lemah. Wanita itu tersenyum melihat kedatanganku.

“Alhamdulillah, Dara datang juga ya,” ucap Tante Yeni saat melihatku. Aku segera mendekat dan mencium tangannya. Wanita itu terus menggenggam tanganku. Dia tersenyum lembut. Aku merasa begitu dekat. Sikapnya selalu membuatku merasa seperti menemukan sosok ibu yang selama ini aku rindukan.

Aku merasa kesal pada Bagas yang telah tega membuat ibunya sakit.

Dasar anak durhaka! Ucapku dalam hati.

Ruangan tempat Tante Yeni di rawat lumayan luas. Jauh lebih besar dari kamarku. Fasilitasnya lengkap seperti berada di rumah sendiri. Selain tempat tidur pasien juga ada sofa panjang dan TV. Kemudian ada juga meja dan lemari.

Pintu ruangan terbuka, seseorang masuk. Ternyata Bagas yang datang. Dia menyalami Kakek dan Nenek. Kemudian pemuda itu menghampiri kami. Sebenarnya aku ingin segera pergi. Malas rasanya melihat orang yang tidak bertanggung jawab yang telah tega memberi malu keluarganya sendiri. Namun, tangan Tante Yeni begitu erat memegang tanganku.

Aku salang tingkah saat Bagas berdiri di sampingku.

“Hai! Anak kecil,” bisiknya di dekat telingaku. Aku menoleh dan menatapnya dengan rasa tidak suka. Kalau saja tidak di depan Tante Yeni, sudah kubalas ledekannya. Beraninya mengataiku anak kecil. Sementara dia tidak menyadari kalau perbuatan yang lari dari tanggung jawab itu lebih buruk dari tingkah seorang anak kecil.

“Tante, Maaf.” Kulepaskan tangan Tante Yeni dan mendekati Nenek dan Kakek. Wanita itu terlihat begitu tanah dan sabar. Dia masih tersenyum menatap Bagas. Om Hendra sedang tidak berada di ruangan.

“Ma... maafkan Bagas,” ucap Bagas. Dia tampak mencium ibunya.

Kami segera keluar ruangan. Memberi kesempatan kepada ibu dan anak itu untuk berbicara dan menyelesaikan masalah yang telah terjadi.

Dari luar kaca, aku melihat Tante Yeni yang berbicara dengan anak yang telah membuatnya masuk rumah sakit. Tidak ada kemarahan di wajah lembut wanita itu. Sungguh keterlaluan Bagas telah membuat wanita yang telah melahirkannya menanggung rasa malu.

Om Hendra yang baru datang menghampiri kami. “Kok di luar?” tanya laki-laki itu. Aku tersenyum. Om Hendra melihat ke kaca. Dan dia mengerti apa yang membuat kami berada di luar.

“Ternyata si pembuat masalah sudah datang,” ucap Om Hendra saat melihat Bagas yang tampak sedang berbicara dengan istrinya.

“Sebentar, saya ke dalam dulu, ya,” ucap Om Hendra.

“Iya, Om.” Aku tersenyum.

Aku duduk dan menunggu bersama Nenek di luar. Kakek pamit ke mushola rumah sakit untuk salat Dhuha. Sebuah ruangan yang dijadikan mushola.

Aku memperhatikan Bagas. Menatap wajahnya ada getaran halus yang kurasakan. Namun rasa itu segera kutepis. Aku masih kesal dengan tingkahnya.

Seberapa susah sih, menuruti pilihan orang tua yang sudah pasti memilihkan perempuan baik-baik. Toh, itu demi kebahagiaan dia dan orang tuanya sendiri.

Seorang dokter tampak masuk ke ruangan. Bagas tampak keluar dan mendekati kami. Aku pura-pura tak peduli.

Namun, aku merasa kecewa saat melihat Bagas yang terlihat pergi entah kemana. Aku hanya bisa menatap punggungnya.

“Maaf ya, harus di luar.” Aku terkejut mendengar suara Om Hendra. Sepertinya laki-laki itu tahu kalau aku sedang menatap kepergian anaknya.

“Kakek kemana?” tanya Om Hendra.

“Lagi ke mushola, Om,” jawabku.

“Bagaimana keadaan Yeni?” tanya Nenek.

“Mudah-mudahan tidak apa-apa dan hari ini bisa di perbolehkan pulang.”

“Iya, Mudah-mudahan.”

“Nek, ini minum dulu.” Bagas memberikan sebotol air mineral pada Nenek. Aku merasa bersalah telah menuduhnya macam-macam. Ternyata dia pergi ke kantin rumah sakit.

“Nih, hauskan?” Bagas memberikan sebotol padaku. Perkataannya sungguh tidak sopan. Aku mendelik kesal dan merebut botol yang masih di tangannya. Sejak tadi aku memang merasa haus.

Bagas tertawa. Nenek mendelik melihat sikapku yang dianggapnya tidak sopan.

“Dara! Kok tidak sopan seperti itu.” Nenek menegurku. Aku hanya diam dan merasa kesal. Bagas tampak tersenyum penuh kemenangan. Om Hendra tersenyum.

Dokter keluar dari kamar dan menghampiri Om Hendra. Dari pembicaraan keduanya aku mendengar kalau Tante Yeni boleh pulang. Aku merasa ikut senang.

“Silakan masuk,” ucap Om Hendra mengizinkan kami untuk masuk ke ruangan. Nenek segera masuk. Aku mengikutinya, Bagas menjejeri langkahku. Tante Yeni tersenyum menatap kami berdua. Aku merasa salah tingkah.

“Kalian berdua tampak sangat serasi,” ucap wanita itu yang membuatku merasa terkejut. Bagas hanya senyum-senyum. Entah apa maksudnya.

Tante Yeni sudah bangkit. Infus di tangannya sudah dilepas.

Om Dirga ternyata mendengar perkataan istrinya.

“Iya, ya Ma. Aku juga melihat seperti itu.”

Nenek hanya tersenyum mendengar perkataan Om Hendra.

Aku membantu Tante Yeni membereskan barang-barang dan pura-pura tidak mendengar perkataan Om Hendra.

Kakek sudah keluar dari mushola. Bagas segera menghampirinya. Entah apa yang mereka bicarakan.

Om Hendra minta izin untuk menyelesaikan administrasi. Kami diminta menunggu.

Tak lama kemudian Om Hendra kembali. Dan kami segera pulang.

“Dara, kamu ikut Bagas ya,” ucap Om Hendra.

“Tapi, Om.” Aku ingin menolak.

“Mau ya, soalnya Om tidak bawa mobil.”

Aku hanya bisa terdiam. Sementara Bagas tampak datar-datar saja tidak menunjukkan penolakan ataupun mengiyakan.

“Sudah, sana sama Nak Bagas. Kan katanya mau lihat-lihat Jakarta?” ucap Nenek. Aku merasa heran. Biasanya Nenek paling cerewet kalau tahu aku punya teman laki-laki, tapi kali ini?

Ada apa sebenarnya?

Semuanya sudah masuk ke mobil. Dan memang penuh. Aku terpaksa mengikuti langkah Bagas menuju mobilnya yang ternyata diparkir cukup jauh.

“Jangan coba menarik simpati orang tuaku.” Ucapan bernada sinis menghentikan langkahku. Kuhela napas panjang dan mencoba menenangkan diri.

“Maaf, maksud kamu apa ya? Siapa yang mencoba menarik simpati? Sayang sekali aku tidak punya maksud sejauh itu hingga harus repot-repot menarik simpati orang lain.”

Ada rasa sakit yang kurasakan. Aku tidak terima tuduhannya. Rasanya ingin segera pergi dan meninggalkan laki-laki yang sangat menyebalkan ini. Namun, aku takut. Aku tidak tahu sama sekali situasi Jakarta.

Aku hanya berdiri mematung. Bagas menatapku dan berdiri di depan pintu mobilnya.

“Ayo masuklah,” ucapnya sambil membukakan pintu mobil. Aku masih bergeming.

“Kalau tidak mau ikut. Kenapa tadi mengikutiku?” Ucapnya lagi.

Ya Allah, aku benar-benar kesal dan marah mendengar ucapannya. Entah terbuat dari apa hati laki-laki yang satu ini. Dia seakan tidak memikirkan perasaanku sama sekali.

“Pergilah! Aku tidak mau ikut bersama dengan orang yang tidak punya hati!” ucapku sambil berjalan meninggalkan Bagas.

Aku terkejut saat merasakan ada yang menangkap tanganku. Aku menoleh. Bagas memegang tanganku erat.

“Jangan membuat aku dalam masalah baru! Ayo masuk. Apa kamu sengaja membuat aku tidak diakui kedua orang tuaku karena menelantarkan anak orang?” tanyanya sinis.

Ya Allah, ternyata ada manusia yang kasar dan dingin seperti ini. Kali ini aku memilih untuk mengalah. Aku takut Kakek dan Nenek merasa khawatir karena kami lama belum pulang.

Akhirnya aku terpaksa masuk. Setelah memastikan aku berada di dalam. Bagas segera menutup pintu mobil. Kemudian dia memutari depan mobilnya dan masuk lewat pintu sebelah kanan dan duduk di belakang kemudi. Sejenak dia menatapku. Aku hanya diam tak mengindahkannya.

Aku bergetar saat Bagas mendekat. Entah apa yang ingin dia lakukan.

“Kamu mau kita ditilang polisi gara-gara tidak pakai sabuk pengaman?” ujarnya sambil memakaikan sabuk pengaman ku.

Dalam hati aku senyum sendiri dan merasa bersalah karena telah menyangkanya ingin berbuat macam-macam.

Sepanjang perjalanan kami hanya membisu. Aku memperhatikan ke luar jendela. Tiba-tiba perutku berbunyi. Hari memang sudah siang. Biasanya di rumah aku sudah makan.

Bagas menatapku seraya tersenyum. Kemudian dia membelokkan mobilnya memasuki parkiran sebuah rumah makan bergaya Sunda.

Bagas segera turun dan membuka pintu mobil. “Ayo turun, anak kecil. Perut kamu enggak bisa bohong.” Bagas tersenyum lepas.

Dia menyodorkan tangannya. “Maaf atas ucapanku,” ucapnya. Aku menatapnya sekilas dan segera turun. Tak kuhiraukan tangannya yang tetap terjulur.

Bagas tersenyum dan menutup pintu mobil. “Kata Mama, kalau kita salah harus minta maaf. Orang yang tidak mau memaafkan berdosa.”

Aku jadi senyum sendiri mendengar ucapannya. Ternyata Bagas melihat senyumanku.

“Nah, gitu dong. Kalau senyum kan tambah cantik,” bisiknya di telingaku.

“Enggak lucu!” Kucubit pinggang ya dan membuat Bagas meringis.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Salam literasi

09 Mar
Balas



search

New Post