Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 26 TANJUNGPANDAN. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mimpi Anak Pulau

Mimpi Anak Pulau

#MimpiAnakPulau

Penulis: Nelly Kartins

Part. 4

“Maaf, Paman. Ini kapal dari mana?” Sam menahan seorang laki-laki yang baru saja turun dari kapal yang sejak tadi mereka perhatikan. Mau naik ke kapal takut diusir disangka mau minta ikan.

“Iya, Nak. Kenapa? Ini kapal dari Ambon,” jawab laki-laki bertubuh gempal dan berambut keriting kemerahan itu menjawab pertanyaan Sam dengan ramah. Sam menoleh ke arah Rahim.

“Ada apa?” tanya laki-laki itu yang ternyata memperhatikan kedua anak itu.

“Kami mau nanya, apa Paman kenal dengan La Harun?” tanya Rahim. Sam hanya diam.

Laki-laki kembali menatap kedua anak yang ada di hadapannya.

“Siapanya kalian? La Harun?” Laki-laki itu balik bertanya.

“Ayahnya Sam, paman!” jawab Rahim dengan semangat menunjukkan tangannya ke arah Sam. Namun, sesaat kemudian anak berambut keriting itu merasa kesakitan saat kakinya diinjak oleh Sam, yang menatapnya dengan tatapan protes.

Sam tidak mau Rahim menceritakan tentang siapa dirinya. Dia juga merasa malu memiliki ayah yang telah melupakan istri dan anaknya. Sam hanya tertunduk.

Laki-laki yang mereka panggil paman itu mengusap kepala Sam. Entah apa maksudnya. Mungkin karena dia merasa kasihan.

“Maaf nak, Paman tidak tahu. Tapi coba naik ke kapal. Mungkin ada yang mengenal ayah kamu,” ucap laki-laki itu. Mendengar hal itu Rahim tampak sangat senang. Dia memang sangat ingin naik ke kapal besar itu.

“Aku ndak nak,” jawab Sam saat Rahim mengajaknya naik ke kapal.

“Ayuk la, Sam, sape tahu ade yang kenal kan Ayah kao,” rayu Rahim. Sam tetap bergeming.

“Tidak apa-apa Nak. Naiklah, Paman mau ke warung dulu,” ucap laki-laki yang belum mereka ketahui namanya itu. Dia berjalan ke arah warung yang ada di samping pintu gerbang dermaga.

“Maaf nama Paman siapa?” tanya Rahim sambil mengejar laki-laki itu. Anak itu memang sangat pemberani dan cepat akrab dengan orang asing.

Laki-laki itu menghentikan langkahnya dan tersenyum. “Nama paman, La Andi,” jawabnya.

“Ok Paman, Terima kasih!” Rahim tampak girang.

“Ayo Sam, kita naik. Kini kite sebut, la di suro Paman La Andi,” ajak Rahim menarik tangan Sam meniti papan yang digunakan untuk menyeberang ke kapal. Karena badan kapal tidak sepenuhnya bisa merapat ke dermaga.

“Ndak ah, aku nak balik la. Kate kao kite nak main bula ke dampar,” jawab Sam. Dia mencari alasan untuk menolak ajakan Rahim.

Mendengar jawaban Sam, Rahim teringat janji mereka untuk bermain bola di lapangan yang terletak di Dampar ( sebutan untuk bagian utara Pulau Seliu).

“O ye ye, biar isok la baru kite ke kapal,” jawab Rahim. Pasti teman-teman mereka sudah menunggu, karena Sam adalah kiper andalan mereka.

“Yuk la, kite ke Dampar,” ajak Rahim.

Mereka segera berjalan menuju sepeda Sam.

“Kao dak bawak kertangin?” tanya Sam yang melihat Rahim mengikuti dirinya.

“Ndak, ajak aku ye. Biar aku yang ngumpil,”jawab Rahim sambil tersenyum. Sam mengangguk. "Itu, ambik sepida e," jawab San seraya menunjuk ke arah sepedanya yang tersandar di bangku kayu di bawah pohon mangga.

Tak lama kemudian keduanya sudah berboncengan menuju ke lapangan bola. Ternyata memang mereka sudah ditunggu.

“Lamak benar mikak ne! La sure ini, kini kite ndak lamak maine!” omel beberapa anak. Tampak mereka sudah siap untuk bermain sepak bola.

Lengkap dengan sepatu bolanya. Mereka segera masuk ke lapangan. Sam melepas sendal jepitnya di pinggir lapangan. Dia bermain dengan kaki telanjang. Sedangkan Rahim mengenakan sepatu bola yang sudah dia siapkan dalam tas yang disandangnya.

“Masa main bula, nyeker!” ucap Rendy seraya melirik Sam. Mendengar hal itu Sam hanya diam. Karena hanya dirinya yang tidak memakai sepatu bola. Namun, dia tidak peduli dan langsung menuju gawang yang harus dijaganya.

Sesaat kemudian permainan berlangsung seru. Tidak ada yang bisa membobol gawang Sam. Anak itu begitu cekatan berlari dan menangkap bola. Dia tidak peduli kakinya terasa sakit karena menginjak rumput ilalang yang baru mau tumbuh. Yang penting gawangnya tidak kemasukan bola. Hal ini yang disukai teman-temannya Sam.

Sorak-sorai terdengar saat bola menjebol gawang lawan. Permainan mulai agak panas. Saat Sam menangkap bola yang menuju gawangnya dia terkejut dan terjatuh karena kakinya ditendang dengan keras. Anak itu terjerembab. Namun bola masih dalam dekapannya. Rendy dari tim lawan telah bertindak curang.

Melihat Sam terjatuh, Teman-teman merubunginya. Sam merasa kakinya sangat sakit. Beberapa temannya merasa kesal,berusaha untuk membalas perbuatan Rendy. Namun, Sam berusaha untuk mencegahnya.

“Udah, jangan. Kini kite ndak kuang agik main bula di sinek,” ucap Sam mengingatkan teman-temannya. Memang lapangan bola itu di buat olah ayahnya Rendy. Pak Basir--ayah Rendy orang yang sangat baik dan dermawan, berbeda dengan anaknya yang sombong dan angkuh.

Permainan terpaksa harus berakhir. Sam memaksakan diri untuk bangkit, walau betisnya terasa sangat sakit karena kena tendangan dengan sepatu bola yang sangat keras.

“Yuk kite balik, antar aku ke rumah ye, Him.” Sam meminta tolong pada Rahim untuk mengantarnya sampai rumah. Karena dia tidak bisa mengayuh sepeda sendiri.

“Iye, yuk. Naik lah.” Rahim sudah mengambil sepeda Sam dan membantu temannya itu untuk naik ke boncengan. Sesekali Sam meringis kesakitan.

Sam merasa takut ibunya akan merasa sedih saat melihat keadaannya.

Rahim yang merasa kasihan melihat keadaan Sam, mengayuh sepedanya dengan cepat.

“Pigangan Sam, kite ngebut biar cepat sampai,” ujar Rahim sambil mengayuh sepeda dengan susah payah karena melewati tanjakan, sebenarnya Sam merasa kasihan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk di boncengan.

Saat sampai rumah. Rahim langsung membawa sepeda ke dekat tangga belakang rumah Sam. Saat dia sedang membantu Sam untuk turun, Suhana melihatnya.

“Sam, ngape Nak?” Suhana langsung mendekat dan membantu menurunkan anak laki-lakinya itu dari boncengan. Tampak sekali dari raut wajah wanita itu kalau dia sangat merasa khawatir.

“Ngape Sam, Him? Mikak isak jatuk?” tanya Suhana mencecar Rahim dengan pertanyaan. Sam yang sudah duduk di tangga hanya diam. Dia takut Rahim akan menceritakan cerita sebenarnya yang berakibat dirinya tidak akan diperbolehkan lagi untuk bermain bola.

“Iye Mak, tadi kamek tebaring, rude sepida nerpak batu, kaki Sam ditimpak sepida, ” jawab Rahim. Sam tersenyum mendengar jawaban Sam.

“Dasar tukang bebulak,” ucap Sam dalam hati. Tapi kali ini dia harus berterima kasih pada sahabatnya itu.

“Mak, aku balik duluk,” ucap Rahim. Anak itu cepat-cepat pamit pulang pada Suhana, dia takut kalau lama-lama akan banyak pertanyaan dari Ibunya Sam, dan kebohongan mereka akan terbongkar.

“Iye, Him. Makase ye, la ngantar Sam.”

“Iye, Mak. Assalamu’alaikum.” Rahim memutar langkah untuk pulang ke rumahnya yang tidak begitu jauh. Berjarak lima rumah dari rumah Sam.

Suhana mau memapah Sam masuk ke dalam rumah.

“Mak, kaki aku kutor,” ucap Sam merasa bersalah pada Suhana.

“Cuci duluk, tunggu di sinek.” Suhana mengambil air di ember dan handuk kecil. Kaki Sam disiram dan disabuninya perlahan-lahan. Sam meringis kesakitan.

Setelah selesai, kaki Sam dilap menggunakan handuk kecil. Kemudian dipapahnya Sam ke dalam rumah.

“Tiduran duluk, kini Umak balor kan jadam biar ndak bengkak,” kata Suhana. Wanita itu tampak begitu khawatir. Sam merasa sangat bersalah, dia merasa selalu menyusahkan ibunya.

“Itula, hati-hati,” nasihat Suhana seraya membalurkan ramuan jadam di betis kaki kiri Sam. Jadam adalah ramuan yang terbuat dari getah hitam yang berasal dari pohon dan banyak sekali khasiatnya untuk kesehatan.

“Iye, Mak,” jawab Sam lirih.

“Mak, ngape Abang?” tanya Nengsih melihat abangnya terbaring dan kakinya berwarna hitam. Nengsih baru pulang dari rumah Kakeknya. Gadis kecil itu duduk di samping abangnya itu.

“Abang jatuk dari sepida,” jawab Suhana.

“Itulah Abang se, ndak ngajak Adek,” jawab Nengsih. Mendengar jawaban gadis kecil itu Sam dan Suhana tidak bisa menahan tawa mereka. Karena tidak ada hubungannya jatuh dengan tidak mengajak dirinya.

“Ape Adek ne, ndak nyambong,” jawab Sam sambil meringis karena kakinya terasa nyeri. Nengsih yang ditertawakan merasa kesal. Gadis manis itu bangkit meninggalkan abangnya dan menyusul Suhana yang sudah kembali ke dapur. Mukanya merengut kesal.

Keesokan harinya Sam tidak bisa sekolah, karena kakinya masih sakit kalau dibawa berjalan. Suhana menitip surat izin pada Rahim yang tadinya ingin menjemput Sam ke sekolah. Awalnya surat izin itu mau dititip pada Nengsih kalau tidak ada Rahim.

Di sekolah, kabar tentang Sam yang sakit karena kakinya bekas ditendang Rendy ternyata sudah ramai. Bahkan ada yang mengadukannya pada guru. Rahim yang mengetahui hal itu menjadi khawatir takut ibunya Sam tahu mereka sudah berbohong.

Saat pulang sekolah dia langsung menemui Sam, dengan suara pelan, Rahim menceritakan tentang kehebohan di sekolah. Tiba-tiba di luar terdengar ramai, ada yang mengucap salam.

Rahim bergegas keluar, dia ingin melihat siapa yang datang. Langkahnya terhenti dilihatnya Suhana sedang berbicara dengan Mira, ada juga Ibu Retno—wali kelas mereka. Rahim segera kembali menemui Sam dan menceritakan apa yang dilihatnya.

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post