Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 26 TANJUNGPANDAN. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mimpi Anak Pulau

Mimpi Anak Pulau

#MimpiAnakPulau

Penulis: Nelly Kartins

Part. 12

“Waalaikumussalam,” jawab Suhana. Wanita itu membuka pintu dengan perasaan yang tidak karuan. Bagaimana kalau yang datang adalah Ayah anak-anaknya? Apa yang harus dia lakukan?

“Maaf, mengganggu.” Mendengar suara itu Suhana tersadar.

Tidak itu bukan suara ayahnya Sam. Walau sudah lama terpisah, dia masih ingat suara La Harun yang tegas dan berat.

“Oh, iya, ada apa Pak?” Suhana merasa tidak enak hati melihat kesayangan Pak Basir. Suhana jadi ingat kejadian yang menimpa anak laki-lakinya.

“Boleh saya masuk, Bu?” tanya Pak Basir yang melihat Suhana masih berdiri di tengah-tengah pintu.

“Maaf Pak, apa tidak bisa di sini saja?” jawab Suhana. Dia tidak mau kedatangan Pak Basir menimbulkan fitnah. Statusnya sebagai seorang wanita yang ditinggalkan suami sudah cukup membuatnya menderita. Dicurigai bahkan difitnah. Dia juga merasa kesal, karena kelakuan anak Pak Basir yang selalu mencelakai Sam.

“Saya ingin membicarakan tentang anak-anak kita Bu.”

“Iya, Pak. Saya tahu. Saya juga ingin bertanya pada anak Bapak. Mengapa dia selalu mengganggu anak saya,” ucap Suhana mengatakan semua rasa kesalnya.

“Iya Bu, saya datang ke sini justru ingin menanyakan pada anak Ibu, mengapa dia sampai mengeroyok anak saya?”

“Apa? Mengeroyok anak Bapak? Apa tidak terbalik?” Suhana tidak bisa menahan emosinya. Sam yang mendengar Ibunya seperti bertengkar segera keluar. Dia terkejut melihat Pak Basir. Suhana yang melihat Sam segera menghampiri anaknya itu.

“Lihat, Pak! Justru anak Bapak yang telah mengeroyok anak saya! Lihat Pak!” Suhana menunjuk luka di kening Sam.

“Iya, Pak, Rendy bersama dua temannya yang telah mengeroyok Sam. Saya dan ayah saya saksinya!” jawab Mira. Gadis itu melihat saat Pak Basir menuju ke sini. Mira langsung mengikuti. Dia takut Rendy mengadu pada Ayahnya. Ternyata dugaannya benar.

Suhana merasa senang melihat kehadiran Mira, karena gadis itu adalah saksi yang melihat kejadian.

Pak Basir terdiam.

“Tadi saya melihat, Rendy menendang sepeda Sam, hingga terjatuh. Dia juga berusaha untuk menyerang Sam, tapi tidak jadi, mereka kabur setelah melihat kami.”

“Tapi wajah Rendy juga babak belur, berarti mereka memang berkelahi.”

Sam menatap Mira, dia tidak tahu apa yang dimaksud Pak Basir. Dia memang sempat membalas dengan meninju wajah Rendy, tapi itu hanya sekali dan tidak terlalu keras. Mana mungkin kalau sampai babak belur.

Mira tertawa, “ Bapak tanya lagi anak Bapak. Apa yang sudah dia lakukan.” Pak Basir terdiam.

“Begini ya, Pak. Saat di sekolah, Rendy selalu mengejek Sam dan membully nya sebagai anak buronan. Dia selalu mencari gara-gara. Tapi, tidak pernah ditanggapi Sam. Sampai tadi dia dan kedua temannya menghadang sepeda Sam saat pulang sekolah. Hingga Sam terjatuh. Bukannya menolong malah mereka kembali menendang sepeda Sam saat dia mau bangkit.” Pak Basir menatap Sam yang hanya diam.

“Bapak tahu? Selain luka dan lecet. Baju seragam dan sepatunya robek!” ucap Mira lagi.

“Kalau begitu, maaf. Nanti saya ganti,” jawab Pak Basir.

“Maaf, Pak. Kami tidak menuntut untuk diganti, tapi tolong Bapak jaga anak Bapak untuk tidak mengganggu anak saya lagi,” jawab Suhana.

“Iya, Bu. Saya minta maaf atas kelakuan anak saya.” Wajah Pak Basir merah. Mungkin menahan malu dan marah karena ternyata cerita Rendy sangat berbeda dengan apa yang terjadi.

“Baik, Bu. Sekali lagi saya mohon maaf,” ucap Pak Basir sambil melangkah menuju motornya.

“Ini akibatnya kalau anak terlalu dimanja!” desis Pak Basir. Dia merasa kesal pada istrinya yang terlalu memanjakan anak bungsu mereka, sehingga anak itu menjadi besar kepala dan mau menang sendiri. Dia merasa dipermalukan oleh anak dan istrinya sendiri yang memaksanya untuk mendamprat Sam.

“Terima kase, Mir,” ucap Sam pada Mira yang sudah membantu ibunya menghadapi Ayah Rendy.

“Iye, Same-same, Sam,” jawab Mira.

“La masok la, umak nak masakek minyak dulu,” ucap Suhana. Wanita itu meninggalkan kedua anak itu untuk ke dapur melanjutkan memasak minyak kelapa.

“Ye, Mak,” jawab Mira. Gadis itu menatap kening Sam yang terluka. Sam menjadi salah tingkah.

“Sam kite ke pantai yuk,” ajak Mira. Sebentar lagi matahari terbenam. Dia sangat menyukai cahaya senja, apalagi saat sinar mentari menyebar di permukaan laut sehingga menimbulkan pantulan cahaya ke emasan.

Sam tidak tega menolak keinginan Mira yang sudah sering menolongnya.

“Yuk,” jawab Sam. Mereka berjalan ke belakang rumah. Ada bangku kayu yang dibuat Sam di bawah pohon ketapang. Mereka duduk di sana menatap ke arah lautan yang sedang pasang. Riaknya lembut. Tampak beberapa ekor burung camar terbang dan kemudian menukik menangkap ikan.

“Mir, terima kasih ya, kao la banyak nulong aku,” ucap Sam.

“Ih, ape se. Aku dak jak ngape-ngape,” jawab gadis beranjak remaja itu tersenyum malu.

Sejenak suasana sepi, hanya terdengar desir angin yang menerpa dedaunan, juga suara debur ombak yang memecah pantai. Perlahan senja mulai turun. Cahayanya sangat indah, kemerahan bulat sempurna, awan tipis perlahan bergerak menutupi.

Namun, mentari akhirnya keluar lagi, seakan dia tidak mau menyembunyikan keindahannya.

“Sam, kao SMP di mane?” tanya Mira. Di pulau belum ada SMP, jadi kalau mau melanjutkan sekolah mereka harus memilih mau SMP kecamatan atau ke SMP yang ada di kabupaten.

“Lum tahu, Mir,”jawab Sam. Dia memang belum tahu, dan belum meminta pendapat ibunya. Tapi, sebenarnya Sam sendiri ingin ke SMP yang ada di kabupaten. Di sana ada bisa, tinggal di rumah saudara ibunya. Kalau di kecamatan memang lebih dekat, tapi dia tidak punya saudara yang tinggal di sana. Untuk pulang pergi tentu ongkosnya lebih besar.

“Sam! Liat bagus amat!” Mira menunjuk kearah mentari yang memancarkan cahaya kemerahan. Begitu indah.

Walaupun Mira sudah sering melihat keindahan mantari di saat pagi ataupun senja, namun, dia tidak pernah bosan dan selalu merasa takjub.

“Bang!” Nengsih mendekati abangnya. Gadis kecil itu membawa sepiring singkong goreng yang masih hangat.

“Kak, ini,” ucap Nengsih menyodorkan singkong goreng itu pada Mira. Mira mengambil sepotong.

“Makase,” jawabnya tersenyum menatap Nengsih yang tampak sudah bersih dan wangi. Sepertinya gadis kecil itu baru selesai mandi.

Waktu mentari sudah tenggelam, mereka kembali ke rumah.

“Mak, aku balik duluk ye,” ucap Mira pamit pada Suhana yang juga dipanggilnya ‘Umak' sebutan untuk ibu di pulau kecil ini.

“Tunggu, Yang. Ini bawa, untuk umak kao,” Suhana memberikan minyak kelapa sebotol pada Mira. Dia memberikan minyak kelapa yang baru saja selesai dibuatnya untuk Rahma---ibu Mira. Mereka memang berteman sejak masih remaja.

“Makase, Mak,” jawab Mira seraya menyambut sebotol minyak kelapa yang masih terasa hangat. Minyak buatan Suhana sangat bening dan wangi.

Gadis remaja itu kemudian berjalan pulang. Mira tidak punya saudara, dia anak semata wayang. Makanya dia merasa senang kalau bisa bermain dengan Nengsih dan Sam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post