Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 26 TANJUNGPANDAN. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mimpi Anak Pulau

Judul : Anak Pulau

Penulis : Nelly Kartins

Part. 1. Dapat Ikan

“Mak! Aku dapat ikan, banyak!” teriak seorang anak laki-laki yang tampak begitu bahagia dengan hasil tangkapannya.

Anak laki-laki bertubuh kurus itu berlari menyusuri pantai kemudian berbelok ke jalan setapak menuju rumahnya, tangan kirinya menenteng tombak bermata tiga yang tadi dibawanya untuk mencari kepiting, sedang tangan kanannya menjinjing ember plastik berwarna hitam yang kini dipenuhi ikan.

Sam berjalan cepat menuju rumahnya. Kedua kakinya yang tidak beralas tampak kotor berlumur lumpur. Kakinya dengan lincah berjalan di sela- sela batu karang. Saat itu memang laut sedang surut.

Sam berjalan ke pinggir pantai. Ia ingin cepat pulang karena embernya telah penuh. Senyumnya terkembang. Ia melangkah dengan ruang menuju rumah. Dalam pikirannya ia membayangkan ibunya pasti akan merasa senang, karena dirinya mendapat ikan yang bisa mereka masak untuk lauk nanti malam.

“Mak!” Sam kembali memanggil ibunya. Ia menaiki tangga di belakang rumah dan mendorong pintu kayu yang engselnya sudah berkarat, sehingga kalau mau menutupnya harus sedikit diangkat.

Sam meletakkan ember yang sejak tadi dibawanya di lantai dapur rumahnya yang terbuat dari bilahan bambu. Wajahnya tampak sedikit kecewa karena niatnya yang ingin segera memamerkan hasil tangkapannya pada wanita yang sangat disayanginya tertunda. Tidak tampak keberadaan ibu di dapur.

Sam melihat ke arah tungku. Dia melihat puntung kayu masih mengeluarkan bara. Di atas tungku tertanggar panci yang biasa digunakan ibu untuk memasak nasi.

Berarti ibu baru saja meninggalkan dapur, pikir anak laki-laki itu. Dia kembali turun menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah untuk mencuci kakinya. Ia segera mengambil timba dan tangan kecilnya dengan cekatan menimba air dari dalam sumur. Kemudian air yang berhasil ditimbanya dituang ke dalam sebuah tong bekas cat di kamar mandi yang berdinding terpal yang sudah rapuh.

Sam menyiram kakinya yang berlumpur, dan menyabunnya dengan sabun batang yang biasa digunakan ibu untuk mencuci pakaian mereka. Digosokkan nya sabun itu ke kakinya, supaya lebih bersih, dia menggosok kakinya dengan sikat yang terbuat dari potongan sabut kelapa. Setelah dirasa cukup bersih, dia kembali naik ke tangga rumah dan mencari ibunya ke dalam rumah.

Kakinya yang basah meninggalkan jejak di lantai papan rumah panggung mereka.

“Mak.” Anak laki-laki itu menyibakkan gorden yang menjadi penutup kamar ibunya. Tidak ada siapa-siapa di dalam.

Terdengar langkah kaki menaiki tangga depan rumah. Sam segera keluar untuk melihat siapa yang datang.

“Umak dari mane?” tanya Sam menghadang ibunya yang baru menaiki tangga. Ternyata yang datang adalah Suhana—wanita bertubuh kurus berhidung mancung, sama seperti hidung Sam. Suhana adalah ibunya Sam.

Tampak wanita yang mengenakan hijab coklat itu bersama seorang anak perempuan berumur sembilan tahun. Nengsih—gadis kecil itu adalah adik Sam. Wajahnya begitu mirip dengan abangnya. Nengsih begitu manis, apalagi saat tersenyum ada lesung pipi.

“Umak dari rumah Makcik Jahara, besok umak diajak ngemping,” jawab Suhana. 'Ngemping' adalah proses membuat emping melinjo.

“Oh, pantas dicari-cari ndak ade,” jawab Sam. Suhana menatap anak laki-laki nya.

“Nak ngape nyari Umak?”

“Yuk, kite ke dapor,” ajak Sam tersenyum. Ia menarik tangan ibunya ke dapur. Suhana yang penasaran mengikuti langkah anak laki-laki nya itu. Sam tampak semringah. Ningsih yang merasa heran melihat tingkah abangnya, juga segera mengikuti.

Sam mengambil baskom dari rak piring dan menuangkan isi ember yang tadi dibawanya.

“Lihat Mak, aku dapat ikan banyak!” seru Sam. Suhana tampak kaget saat melihat ke dalam baskom.

“Ya Allah, Sam! Sudah simpan di situ!” teriak Suhana. Ditariknya tangan Sam yang mau mengangkat ikan hasil tangkapannya. Sam merasa heran dan kecewa melihat reaksi ibunya.

“Tapi, Mak...”

“Jangan dipegang Nak, ini ikan unsat. Jangan sembarangan dipegang, petiknya berbisa!” teriak Suhana sambil menarik dan memeriksa tangan anak laki-lakinya. Sam kaget melihat ibunya marah. Ia hanya bisa terdiam.

“Aku tidak apa-apa, Mak,” jawab Sam, saat Suhana membolak-balikkan tangannya.

“Maaf, Umak takut kamu terluka.” Suhana mendekap anak laki-laki nya itu. Sam anak yang baik. Dia tidak pernah mengeluh, walau sering diejek teman-temannya kalau Ayahnya buronan polisi.

Suasana hening. Ada rasa haru yang menyeruak. Suhana mendekap kedua buah hatinya. Sam dan Nengsih, keduanya anak yang kuat dan selalu menjadi penguat bagi Suhana.

Dia merasa sedih kedua anaknya harus merasakan kesusahan.

“Lain kali jangan lagi, ya Nak. Ikan ini bahaya kalau tidak hati-hati. Terkena durinya sedikit saja bisa bengkak,” ucap Suhana seraya menatap Sam dengan lembut. Wanita itu merasa sangat khawatir. Dia merasa bersyukur Sam tidak apa-apa.

Melihat ibunya yang begitu khawatir dan sedih. Sam merasa bersalah.

“Iye Mak, maaf. Aku ndak tau...” ujar Sam. Ia tidak tahu kalau ternyata apa yang dilakukannya akan membuat ibunya sedih. Biasanya kalau hanya mencari kerang atau kepiting, ibunya tidak pernah marah. Dan memasak apa yang di dapat Sam untuk lauk mereka. Tapi berbeda kali ini.

“Ini semua gara-gara Ayah!” bisik Sam dalam hati. Ia merasa Ayah yang membuat hidup mereka susah. Gara-gara Ayah, dia sering berantem dengan teman-temannya di sekolah. Sudah hampir tujuh tahun Ayahnya pergi dan belum kembali. Pak Harun--Ayah Sam memang seorang nahkoda kapal. Laki-laki asal Sulawesi itu sering membawa rempah-rempah ( lada dan cengkih) untuk di jual ke Batam dan Singapore secara ilegal tanpa surat ijin resmi.

Dulu, saat Pak Harun pulang dari berlayar, Laki-laki itu sering membawakan anak-anak nya mainan yang bagus yang dibelinya dari Singapura.

Saat kedatangan terakhir , banyak polisi yang datang ke pulau untuk mencari Pak Harun. Namun, laki-laki itu bersembunyi dan diam-diam berangkat lagi. Itu adalah terakhir laki-laki itu berada di Pulau.

Sam sering mendengar kalau Ayahnya disebut penyelundup. Awalnya dia tidak mengerti mengapa ayahnya dijuluki seperti itu.

“Anak buronan!” Beberapa anak di sekolah yang tidak menyukai Sam sering mengejeknya. Anak-anak itu tidak suka melihat Sam yang pintar dan disayangi guru.

Tidak jarang Sam harus berurusan di ruang guru. Karena telah menonjok anak yang telah mengolok-oloknya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cernaknya, Bunda. Salam literasi

15 Sep
Balas

Puisi keren, dilema yang harus diselesaikan secepatnya

15 Sep
Balas



search

New Post