Pagi itu, mentari tak tampak. Langit muram. Butir-butir air jatuh perlahan. Alam seakan tahu, hati Alila sedang pilu.

Keluarlah dia dari kamar. Matanya sendu, sepertinya dia menangis semalaman. senyum tipis di bibir mungilnya seakan mengisyaratkan bahwa ia akan baik baik saja. Isyarat yang ia bisikkan demi memberi semangat pada hati rapuhnya, yang senang berpura pura kuat.

Alila, gadis belia yang sebagian orang menganggapnya aneh. Ada pula sebagian lagi yang menganggapnya biasa saja. Wajahnya manis, rambutnya sepunggung dan sedikit bergelombang. Dandanannya sederhana, dia tak suka jika tampak terlalu mencolok. Menurutnya, dandanan yang berlebihan menarik perhatian orang-orang sekitarnya. Tentu saja dia merasa terganggu. Terganggu dengan tatapan tatapan aneh orang orang sekelilingnya.

Dia tak punya banyak teman. Tak aneh, dia memang seorang yang tak pandai bergaul. Tak pandai menyampaikan perasaan. Malah, sering kali apa yang hatinya maksudkan berlawanan dengan kata yang terlontar dari mulutnya. Hingga membuat orang salah faham.

Hari hari sebelumnya, kulihat Alila terus menatap layar handphonenya. Handphone pertama, yang belum lama dibelinya. Handphone itu dia beli dengan susah payah. Dia sisihkan tiga perempat bagian dari besar gaji pertama hasilnya bekerja.Satu tujuannya. Dia ingin lebih dekat dengan Baga. Pemuda yang sudah lama ada di hatinya.

Namun, pemuda itu rupanya lama tak bertukar kabar dengannya. Lama sudah mereka tak jumpa.

Sore ini, barulah kutahu sebab sendu di mata Alila. Hanphonenya hilang, bersama cintanya.

Kini, hanya senyum pura puranya yang tersisa.