Tantangan Menulis Hari Ke-39

Usai makan aku pun menghampiri Mas Wasto dan ikut melihat-lihat kebun jagung. Bahagia rasanya bisa menatap jagung-jagung yang tumbuh subur. Mas Wasto sangat telaten dalam mengurus kebun maupun sawah, sehingga hasil panénnya selama ini tak pernah mengecewakan. Saatnya sholat asar kami pun sholat asar di dangau. Ada pancuran yang tak jauh dari dangau, hingga untuk mandi sekalipun bisa dilakukan di sini. Ya, Mas wasto memang sudah mengubah dangau dan kebunnya bak rumah dan halamannya sendiri, hanya karena jauh dari perkampungan makanya kami tidak tinggal di sini. Usai sholat asar, Mas Wasto mengajakku pulang, kami pun pulang bersama, menyusuri jalan setapak.

Malam hari menjelang tidur, aku pun menceritakan tentang obrolan tadi pagi dengan kepala sekolah dan pengawas, tentang tawaran menjadi kepala sekolah. Di luar dugaan, Mas Wasto justru sangat mendukung.

“Jika Néng memang bersedia, silahkan saja. Mas setuju saja. Malah bagus, jika Neng yang jadi kepala sekolah, kesempatan untuk memajukan sekolah akan jauh lebih banyak, karena Neng yang punya kebijakan,” kata Mas Wasto.

“Yakin Mas ga apa-apa jika saya jadi kepala sekolah?” tanyaku.

“Lho, memangnya kenapa? Neng pikir Mas akan minder punya istri jadi pejabat? Engga lah, Neng, karena Mas yakin, sampai kapanpun, Neng tetap Neng yang dulu, yang menghargai suami kapan dan di manapun. Bukankah sejak awal menikah kita tak pernah membahas tentang posisi dan jabatan? Meskipun Mas bukan PNS. Mas tetap punya rasa percaya diri, karena Mas juga tetap bertanggung jawab terhadap diri Neng, sama seperti suami-suami lain yang jadi PNS atau pejabat. Cuma beda cara dalam mencari nafkah saja. Jika yang lain menafkahi dengan gaji, Mas dengan bertani. Sama saja kan?” Mas Wasto panjang lebar bicara, membuat saya makin sayang dan kagum kepadanya.

BersambungBekasi, 08-02-2022