Pak Jono masih memegang erat kumpulan tulang daun kelapa kering yang terikat kuat. Terik pijar matahari tidak membuatnya mundur untuk menggugurkan tugasnya membersihkan jalan dari rimbun daun kering dan plastik usang yang berserakan tidak beraturan. Ia berharap dapat mengantongi enam lembar uang lima puluh ribu di setiap awal bulan yang selalu dirindukan. Keriput yang terukir di wajah dan lengannya menandakan ia sudah tidak muda lagi. Sejujurnya, ada asa untuk menikmati hari tua. Warna langit mulai berubah, putih menjadi hitam. Sepatu boot usang miliknya sudah tersandar di depan tempat ia berteduh menghabiskan malam. Ia tinggal sendiri di dalam rumah yang terdiri dari dua kamar, kamar tidur dan kamar mandi. Istrinya Pak Jono, Bu Satriyem sudah dua tahun menemui sang Pencipta, sedangkan putra sulungnya terdampar di negeri pencetak uang hingga lupa untuk pulang. Sebutan “Pak Jono, penguasa Desa Cibuyar” tidak lagi terdengar. Ia mengasingkan diri untuk menemukan kedamaian, hidup tanpa suara – suara manis penjilat kiri dan kanan. Dengan menjadi petugas kebersihan, ia terlepas dari kehidupan sebelumnya, tidak ada lagi orang yang mengenalinya. Pak Jono berjuang menghidupi diri, menelusuri peta hidup yang ia pilih. Pilihan yang mampu membuatnya sadar akan arti kehidupan. Pak Jono berani meninggalkan hidup tanpa balutan emas, karena harta sesungguhnya telah mengacuhkannya. ia kesepian, putra yang dibanggakan tak mampu membagi waktu untuknya. Rasa sepi semakin lama menggrogoti tubuhnya yang renta. Harapnya satu, memeluk dan mencium putranya kembali. Ada rindu yang tak kuasa ia hindari, namun kala Rindu merajai relung hatinya, ia hanya mampu berbincang pada Tuhan, membuat permohonan untuk menyampaikan rindu yang sudah membatu.