Neneng Riati

Neneng Riati, lahir di Bali, SD di Bali lanjut ke Mataram Lobar, lanjut lagi ke Pamekasan Madura hingga lulus SPG dan menjadi guru di daerah Waru, wilayah utara...

Selengkapnya
Navigasi Web

Belajar Dewasa pada Balita

Arfan, keponakan suamiku yang usianya belum lagi genap 4 tahun, masya allah kecerdasannya. Cepat menangkap maksud pembicaraan seseorang, menjawab pertanyaan siapa pun secara rinci, dengan gaya melebihi anak seusianya. Dia juga sangat pengingat, berani, sekaligus keras kepala. Tak kenal menyerah memperjuangkan apa yang dimauinya hingga orang sekitar menyerah.

Suatu hari, Arfan yang rumahnya tak sampai lima langkah dari rumahku itu, bermain ke rumah.

Satu saat, dia berdiri di depanku yang sedang duduk di kursi. Bercerita sesuatu sambil menghadap kepadaku. Tangan dan tubuhnya bergerak-gerak tak henti, membantunya memperjelas cerita. Bicaranya jelas, teratur, meski tetap dengan gaya balita.

Tiba-tiba pikiran jahil datang ke kepalaku. Kaki kecilnya kupijak, sambil berkata padanya.

"Arfan..., jangan injak kaki ibu...." (Dia memang menyebutku dengan panggilan 'ibu').

Arfan menatapku tanpa menjawab.

Yang kutahu, biasanya bila anak seusianya diperlakukan seperti itu, pasti akan spontan berteriak: "Heii..., bukan aku..., kamulah yang injak kakiku...!"

Tapi ini tidak. Seolah mencari cara untuk memberitahukan yang sebenarnya, Arfan terdiam beberapa saat. Seakan tak ingin menyinggung perasaan orang yang telah 'mendzaliminya'.

"Arfan..., jangan injak kaki ibu.... Ayo pindahkan kakinya, kaki ibu sakit, lho...." kataku lagi.

Arfan masih diam, menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.

"Arfan....," ucapku lagi sambil menatap wajahnya serius.

"Tunggu-tunggu," akhirnya Arfan berkata sambil melambaikan tangan mungilnya di depan wajahku.

"Coba lihat ke bawah..., lihat..., lihat...," sambungnya. Tatapannya serius, menyuruhku menunduk. Kedua telapak tangannya terbuka mengarah ke lantai. Seolah orang dewasa yang penuh kesabaran sedang memberi pengertian pada anak kecil yang tak tahu apa-apa.

Aku menahan senyum. Mengikuti ucapannya, menunduk, melihat kaki-kaki kami yang saling bertindihan di lantai.

"Oh..., rupanya ibu yang injak kaki Arfan..., maaf ya..., ibu tidak sengaja...." ucapku pura-pura terkejut, sambil mengangkat kedua kakiku dari atas kedua kaki mungilnya. Wajah menyesal sengaja kuperlihatkan padanya.

Arfan tersenyum memperlihatkan deretan gigi mungilnya. Dengan wajah tenang, mengangguk padaku tanpa sepatah kata pun.

Benar-benar menggemaskan perilakunya. Lucu, sekaligus mengesankan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Makasih Pak.... Masih kalah keren ma tulisan Smpyn....

24 Dec
Balas

Keren ceritanya bu.

23 Dec
Balas



search

New Post