Neni Nurachman

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Si Geboy

Si Geboy

“Jam berapa pulang? Naik angkutan umum saja. Abah baru sampai rumah.” Pesan WA di layar HP Iteung, tertulis sampai pukul 12.30 WIB. Iteung hanya membalas dengan emoticon jempol tangan. Lalu segera dia bergegas kembali berkeliling dalam kelas.

Para muridnya tercengung, mengernyitkan kening berkali. Ulangan di jam terahir membuat mereka bercucur peluh juga pening. Konversi rumus diiringi dengan bahasa ilmiah, membuat mereka tambah banyak mengucapkan istigfar. Hinga binger bunyi bel tanda segera kelas harus diahiri. Iteung menambah waktu ekstra beberapa menit, untuk menunggu lembar ulangan mereka terkumpul.

Tas ransel bertengger di punggung Iteung, yang berdiri menunggu angkutan umum datang, bersama rekan lainnya. Bersenda gurau, melepas penat dan menghilangkan jemu. Yang dinanti tiba, meski berjejal, apa daya, terlalu lama jika menanti satu jam kemudian. Jelang sore lumayan terbatas angkutan. Kali ini Iteung langsung menuju rumah. Tidak membawa buah tangan untuk Ade dan Ujang.

“Assalamualaikum.” Iteung membuka pintu rumahnya. Sepi, tak berjawab.

Setelah meletakan sepatu, tas dan berganti pakaian, Iteung bersiap tempur di kantor utamanya, dapur. Memeriksa isi boboko, ternyata sudah berisi, nasi putih masih hangat. Dibukanya tudung saji, beberapa buah mentimun muda dan sambal terasi tersaji. Ditemani irisan ikan goreng, masih hangat.

“Assalamualaikuuummm, Ambuuuu.” Pintu depan terbuka, kedua bocah berteriak kompak, memanggil ibunya.

“Waalaikumussalam, cepat simpan tasnya di kamar, biar nggak balatak.” Iteung mengingatkan, tanpa bosan.

“Bu tadi Ade ulangannya nggak bisa, abis menulis arab tapi dibacakan saja sama ustadzah.” Ade seperti biasa, cerita apa yang dia alami.

“Ujang mah bisa da, babari De.” Tak mau kalah.

“Bentar, Ade dulu yang cerita, Ujang nanti dulu. Gitu da suka motong.” Ade cemberut.

“Udah, jangan rebutan, bergantian saja ceritanya. Ambu bilang tas simpan dulu ke kamar, sana.” Iteung menengahi, sebelum perang saudara terjadi.

Keduanya bergegas, menuju kamar masing-masing, dengan mulut maju beberapa centimeter. Beberapa saat kemudian, mereka datang kembali menuju Iteung.

“Abah kemana?” Tanya Iteung.

“Tadi ada da, sebelum Ujang dan Ade TPA” Jawab Ujang.

“Sudah makan belum?” Tanya Iteung lagi, walau rutin tiap sore bertanya tentang makan, entah serasa pertanyaan baru, padahal ini selalu terulang setiap hari.

“Tadi siang sudah, Ujang masak nasi goreng sama telur. Ade mah botram di teras sama teman-teman.” Jawab Ade.

“Wah, mau atuh Ambu dibuatkan nasi goring sama Ujang. Pakai kunyit atau kecap?” Iteung menatap Ujang. Tersenyum bangga.

“Wah habis Mbu, sama temennya Ade tuh. Tadi mau dipisahkan buat Ambu.” JAwab Ujang, bernada tinggi. Mata agak melotot ke adiknya. Walau sebenarnya tak nampak juga, karena mata Ujang terlalu kecil jika dibilang melotot.

“Hayu atuh makan lagi. Abah tadi mincing, dapat ikan besar.” Ajak Ujang, sedang fase banyak makan memang di usianya.

“Ujang sama Ade duluan, kalau sudah lapar lagi. Ambu nanti menunggu Abah.”

“Assalamualaikum, apa ini lagi pada ngomongin Abah?” Tiba-tiba Abah Kabayan berada di belakang anak dan istrinya. Suaranya mengagetkan.

“Abah, nuhun sudah masak untuk kita. Hayu atuh makan.” Iteung dibantu Ade dan Ujang menggelar makanan, berpindah dari meja kecil, ke hamparan tikar.

“Tolong buatkan dulu irisan cabe campur bawang merah dicampur kecap, Ambu !” Ujar Abah.

Tak lama, pesanan Abah sudah tersaji. Semua menikmati sajian hasil jerih payah Abah Kabayan. Lahap. Namun Iteung masih penasaran, ikan yang dimakan sangat lezat. Walau digoreng hanya berbumbu garam.

“Abah, ini teh ikan apa? Tambakang atau nila? Rasanya kalau nila bukan. Walaupun nilanya besar, tapi tidak seperti ini dagingnya.” Diantara kunyah, Iteung melontar tanya, penasaran.

Abah tersenyum. Tak lama dia menjawab, “Memangnya Ujang nggak cerita?”

“Cerita nya belum sempat, tadi Cuma bilang, Abah mincing katanya.” Iteung melirik kedua anaknya, yang masih konsentrasi memilah duri diantara daging ikan.

“Nanti saja ceritanya, setelah makan. Selesaikan dulu makannya. Biar nikmat.” Jawab Abah kabayan, makin lahap, bercucur keringat menahan pedas.

Usai makan, Iteung dibantu Ujang dan Ade merapikan kembali bekas makan. Mencuci perabotan yang kotor. Hingga adzan magrib berkumandang. Rutinitas petang di rumah Abah Kabayan berjalan seperti biasanya. Ade dan Ujang pergi mengaji, Abah di mesjid menunggu Isya. Sementara Iteung beraktifitas di rumah saja.

***

“Abah! Abah!” Suara Iteung memekik.

“Ada apa Ambu?” Abah Kabayan segera menghampiri Iteung.

Iteung histeris, berdiri memaku di samping rumah, di pinggir kolam kecil.

“Ada apa, Ambu?” Tanya Abah, mengguncangkan bahu Iteung.

“Si Geboy Abah, si Geboy!” Iteung menunjuk lentik telunjuknya, ke arah tengah kolam.

“Si Geboy nggak ada. Dicuri orang rupanya.” Iteung terus mengomel, hilir mudikmengelili kolam kecil. Berharap si Geboy muncul ke permukaan air.

“Paling tidak bangkainya mengambang, Abah jika dia mati.” Telik mata Iteung menyapu setiap riak air.

Rupanya Iteung lebih pagi memberi makan ikan. Biasanya saat melempar bekatul, Iteung mengajak ngobrol ikan kesayangannya, si Geboy. Ikan gurame bule yang dia pelihara semenjak lima tahun lalu. Pagi ini, ikan itu tak nampak muncul memburu pakan ke permukaan.

“Aduh, punten Nyai, punten, semalam teh mau cerita nggak jadi. Keburu lupa.” Abah Kabayan pelan setengah berbisik pada Iteung.

“Kemarin teh si Geboy tersangkut, jadi diala sama Abah, kasihan. ” Abah Kabayan meneruskan cerita.

“Lantas, bagaimana nasibnya Abah? Nyangkut kemana Abah? Ranting, rumput atau masuk sampah plastic?” Iteung menghujani Abah dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Mata iteung kembali melihat permukaan kolam. dia tak melihat sampah plastik di permukaan kolam. Hanya nampak dedaunan yang terkoyak dimakan ikan. masih heran, tersangkut kemana si Geboy hingga tewas.

“Tersangkut ke cuilan bala-bala, Nyi Iteung.” sapaan mesra Abah Kabayan tak jua menenangkan Iteung. Dia masih tetap mondar-mandir, melihat ke sekeliling kolam.

“Kok bisa Abah, tersangkutnya di bala-bala?” Iteung tak juga menyadari kalimat suaminya.

“Iya, cuilan bala-balanya nyangkut di ujung kail, makanya si Geboy tak berdaya.” Jawab Abah Kabayan, sambil menatap Iteung, menanti reaksi pujaan hatinya.Penuh terka.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post