NENI SURYAMAH

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Yang tertunda…..

Bukan….., bukan tumor

Seperti biasanya, setiap hari jum’at di Sekolahku selalu ada pengajian selama tiga puluh menit sebelum masuk kelas. Berbeda dengan hari jum’at sebelumnya, setelah pengajian dilanjutkan dengan istighosah untuk kelas XII. Hari ini, hari terakhir masuk sekolah. Besok digunakan sebagai hari tenang untuk menghadapi UNBK.

Setiap tahun kegiatan seperti ini selalu dilaksanakan. Namun terasa beda untuk hari ini, karena diantara mereka kelas XII ada putriku yang ke empat, Rara namanya. Air mataku tiba-tiba mengalir deras, ketika kusujud dalam dhuha hari ini. Ya Allah…. Berilah kemudahan untuk anak-anak kami. Terlintas dua belas tahun yang lalu ketika anakku Rara di fonis tumor oleh dokter. Masih terbayang kejadian saat itu……

Sudah menjadi kebiasaan anak-anakku mereka bermain bebas. Kalau hujan kuijinkan bermain hujan hujanan. Seperti halnya hari ini, Rara, anak usia lima tahun yang masih duduk di TK. minta bermain hujan hujanan.

“ Maaa ….. boleh main diluar ya….aku mau ujan-ujanan”, katanya.

“Ya…. Hati-hati, di depan rumah saja ya” sahutku.

“Asiiiik………..” serunya, sambil berlari keluar rumah.

Adiknya pun Riri mau mengikutinya dari belakang.

“Eitsss jangan dulu sayaaaang” seruku sambil memegang tangan Riri. Ia menangis meronta. Kamu masih kecil ah…..gumamku.

Sekitar satu jam Rara bermain air, mengguyur kepalanya dibawah talang. Menampungnya kedalam gayung. Kubiarkan dia ditemani Nunu kakanya, anakku ketiga. Sekali kali mereka berlari ke jalan sambil melepaskan sandal dan kemudian mengejar sandal yang hanyut.

“Heeeeyyy, jangan jauh-jauh teriak suamiku. Aku dan suamiku hanya melihat dibalik kaca sambil memegang Riri (adiknya Rara yang baru berusia dua tahun) hendak turut mereka ujan ujanan. Setelah agak reda hujannya, mereka masuk rumah dan segera membersihkan badan.

Sore hari, entah karena kecapean setelah makan, Rara tertidur. Ku bangunkan dia menjelang maghrib.

“Maa, aku pusing”, katanya.

“Ya …. bangun dulu, sebentar lagi maghrib”, jawabku.

Dia bangun, tapi kelihatan menggigil kedinginan. Kuraba keningnya terasa hangat. “Pak….., Rara hangat”, aku beri tahu suami.

“Mungkin kelamaan main hujan hujanan”, sahut suamiku.

“besok juga sembuh”, sambungnya lagi.

Malam hari kuraba kening Rara semakin bertambah panas. Suamiku segera memberi obat penurun panas. Pagi hari sudah agak reda tapi suamiku tetap memberikan obat penurun panas. Selama dua hari diberi penurun panas, karena suhu badan Rara naik turun. Hari ketiga ketika bangun pagi aku kaget, leher Rara membengkak dan kelihatan merah.

“Pak….., ini Rara kenapa ?” sambil membangunkan suamiku.

“lihat lehernya….” Aku panik.

Astagfirulloh…..” serunya, suamikupun panik.

“kita bawa ke dokter” sahutnya lagi.

Ku antarkan dulu Riri ke Tempat Penitipan Anak (TPA). Setiap hari Riri ku titipkan di TPA kasih ibu, TPA yang berada di Rumah Sakit tempat suamiku bekerja. Sementara kami bertiga menuju tempat praktek pribadi dokter yang sudah terbiasa kukunjungi. Dengan teliti dokter memeriksa sambil bertanya. Sudah berapa hari panasnya, sudah diberi obat apa ? suamiku menjelaskan semuanya dan tak lupa memberi tahukan pada dokter, panasnya itu setelah hujan-hujanan.

“Ini penyakit gondongan, pak” kata dokter.

“Teruskan saja obatnya dan tambah resep ini”, sahutnya lagi.

“Obat ini harus habis, karena ini ada antibiotiknya’ sambil memberikan kertas resep yang harus dibeli. Di apotik kami menunggu, ternyata obat yang diberikan berupa serbuk. Obat puyer kami menyebutnya. Walaupun susah untuk meminumnya aku berikan secara rutin. Rara sudah terbiasa dengan rasa pahitnya. Dan selalu kuberi minum yang banyak.

Dari hari ke hari obat yang diberikan seperti tidak ada efeknya. Bengkak di lehernya semakin membesar. Selain kuberikan obat, secara tradisional kuturuti pengalaman tetangga yang katanya kalau gondongan bisa mengoleskan “blao” atau “cuka” atau kepalan nasi yang digelengkan pada leher yang bengkak. Semua kuturuti, namun leher Rara tetap tak mengecil. Akhirnya kami putuskan untuk dibawa ke Rumah sakit.

Pagi-pagi suamiku berangkat sambil menitipkan Riri ke TPA, sekalian mendaftar untuk pemeriksaan Rara. Aku berangkat nanti setelah dokternya datang. Pukul 9.00 aku dan Rara dijemput suami. Biasanya mulai pemeriksaan pukul 9.30, walaupun sakit Rara selalu ceria.

“Maa… mau sembuh”, sahutnya.

“Ya sayang…….”, jawabku singkat, ada kegundahan dalam hati ini.

Kami berangkat dan kebetulan mendapat nomor yang kecil. Dokter memeriksa dengan teliti sambil bertanya kronologis pembengkakan di leher Rara. Suamiku menjelaskan secara detail, sampai akhirnya bertanya :

“Apakah ini penyakit gondongan ?”

”bukan……”, jawab dokter.

”Ini tumor…..”, kata dokter.

Braaaak…….., bagai disambar petir tengah hari. Aku lemas, dan tak terasa air mataku terus mengalir. Kepeluk Rara erat erat, tidak nak, bukan…. bukan, bukan tumor, hatiku terus membisikan kalimat itu. Suamiku pun hanya bisa berkata dengan terbata-bata…. Sabar ma…..sabar sambil mengelus kami.

Dokterpun membiarkan kami, seperti yang mengerti perasaan kami setelah reda sedikit demi sedikit dokter menjelaskan penyakit anakku.

“begini pak, penyakit ini digolongkan tumor, jangan cemas, setiap benjolan yang tidak normal pada tubuh kita menurut istilah kedokteran dinamakan tumor.

Tidak semua tumor ganas. Tumor ganas dinamakan kancer. Untuk mengetahui penyakit Rara tumor ganas atau bukan, sampel cairannya harus diperiksa ke laboratorium di Bandung”. Aku hanya terdiam sambil mendengarkan penjelasan dokter sesekali ku usap air mata yang selalu mengalir. Terasa berat dada ini. Helaan nafas, setiap hembusan yang sesak kurasakan. Namun tak henti hati kecilku tetap menolak, bukan….. bukan, bukan tumor penyakit Rara ini.

“Jadi pemeriksaan selanjutnya harus bagaimana, dok ?” sela suamiku.

“Akan diaspirasi dulu pak, kemudian sampel cairannya akan diperiksakan ke Laboratorium”, jelasnya.

“Sementara berikan dulu obat ini”, sambil menulis untuk resep. Dan Rara harus rawat inap supaya mudah pemeriksaan lanjutnya.

Setelah pemeriksaan, suamiku mengurus administrasi untuk mendapatkan kamar. Alhamdulillah diberi kemudahan, atas bantuan dari teman-teman suamiku, yang kebetulan sebagai karyawan Rumah Sakit. Rara dirawat inap di rumah sakit, kutunggui bersama suami.

Aku jelaskan kepada semua anakku tentang Rara dan minta pada Adin(anak pertamaku) untuk menjaga Riri yang masih berusia dua tahun. Mendapat kamar VIP yang cukup representative siang hari semua anakku berada di rumah sakit. Sore hari, keempat anakku pulang kerumah diantar suamiku. Sedangkan aku tetap di rumah sakit. Siang hari keadaan di rumah sakit Rara selalu ceria, kepada saudaranya dia bilang :

“aku punya pedang panjang” sambil mengangkat tangan yang diinfus keatas. Pedang yang ia tunjukkan adalah pen untuk menjaga selang infus. Sambil loncat-loncat di kasur, Rara nyanyi aku seorang kapiten.

Aku tetap tersenyum dihadapan mereka, walaupun hatiku sakit…..bagai teriris karena belum tahu penyakit yang diderita Rara. Ya Allah hanya kepada Mu lah kami meminta pertolongan……seluruh do’aku penuh setiap malam hanya untuk kesembuhan putri ku, Rara.

Setiap hari pemeriksaan dilakukan. Setiap hari cairan dileher itu diambil. Sampai akhirnya benjolan di leher Rarapun mengecil. Setelah seminggu hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penyakit Rara tidak ganas. Dokter memberikan alternatif bisa di operasi ketika usia Rara sudah berusia tujuh tahun. Sementara sekarang cukup diaspirasi.. Kami turuti semua saran dokter yang menangani Rara, baik dokter anak maupun dokter bedah yang selalu memeriksa tiap hari. Akhirnya Rara bisa pulang ke rumah dengan kondisi benjolan di lehernya sudah kelihatan mengecil, karena setiap hari diaspirasi. itu awal dari langkah pengobatan Rara.

“Bu kenapa ?” aku tersadar oleh pertanyaan siswa kelas X yang berada dihadapanku. Aku tersenyum simpul sambil mengusap air mataku. “ga apa apa say”, sahutku singkat. “Aaah bu cerita dong…., elis ingin tahu”. Serunya lagi. Aku hanya menghela nafas dan berucap, hari ini ibu sangat sedih….. anakku yang di fonis tumor oleh dokter dua belas tahun yang lalu, nanti senin akan mengikuti ujian. Eeeh air mataku malah meleleh kembali. Dan kelihatan anak anak yang ada didepanku pun berkaca-kaca. Udaaah ah. Ayo masuk kelas.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post