Nenny Litania

Guru SD Muhammadiyah 019 Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dia Anakku
Antologi Cerpen "Metamorproses Hati"

Dia Anakku

Dia Anakku

Oleh : Nenny Litania

Anak. Ya, satu kata yang tak pernah lupa aku selipkan, dalam setiap untaian doa yang kupanjatkan lirih di hadapan-Nya. Sosok yang selalu kupinta di setiap sujud panjang, dengan linangan air mata dan isak tangis tertahan, agar Sang Maha Pemberi menitipkannya padaku.

Kini, sosok mungil itu ada di hadapanku. Tapi, tak sedikitpun suka cita kurasakan. Tangisnya menyesakkan dada. Menambah perih luka yang menganga.

Ya Allah ... apa yang salah dengan doaku selama ini? Tidak dengan cara ini aku mengaharapkan kehadirannya. Tidak! Aku tak sanggup.

****

Mas Irwan, suami yang sempurna di mataku. Perhatian dan penuh kasih. Aku bahagia menjalani pernikahan ini. Bukannya tidak ada perselisihan yang terjadi di antara kami. Alhamdulillah, semua dapat teratasi dengan baik tanpa menyisakan simpul yang mengganjal. Ah, sungguh beruntungnya aku.

Tapi, Kasihan Mas Irwan. Aku belum bisa membahagiakannya secara utuh. Layaknya seorang istri, seharusnya aku bisa mempersembahkan buah cinta yang dapat mempererat pernikahan kami. Memasuki usia pernikahan yang ketujuh, belum juga ada tanda kehamilan. Meskipun kami sudah memeriksakan diri ke dokter, dan dokter menganalisis tidak ada masalah. Hanya menunggu waktu saja, kapan Yang Maha Pemberi menitipkannya.

Sebenarnya di sudut hatiku, tersimpan rasa takut akan kehilangan Mas Irwan. Tak sedikit contoh di luar sana, pernikahan yang harus berakhir karena alasan rumah tangga yang belum juga dikaruniai momongan. Ada yang berpisah baik-baik, karena bisa saling mengerti penyebab perpisahan mereka. Bahkan, tak sedikit pula yang harus berakhir dengan luka dan air mata karena sebuah perselingkuhan.

Mas Irwan anak tunggal. Alasan yang kuat untuknya agar segera mendapat keturunan sebagai generasi penerus di silsilah keluarganya. Tapi apa dayaku? Domainku sebagai manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, hasil sepenuhnya hak prerogatif Allah Yang Maha Kuasa. Sebagai istri, aku berusaha mengambil peran semaksimal mungkin, agar tidak besar kekecewaan Mas Irwan mempersuntingku.

Sebenarnya hingga detik ini, Mas Irwan tak pernah mempermasalahkan belum hadirnya sosok mungil lucu itu di tengah-tengah kami. Hanya saja aku yang sentimen sendiri, setiap pulang berkunjung dari rumah teman yang baru saja mendapatkan rezeki dengan kelahiran putra-putri mereka. Aku yang merasa iba setiap kali dari bibirnya meluncur cerita, alangkah bahagianya jika dia bisa merasakan juga apa yang teman-temannya rasakan. Aku yang terkadang menyimpan perih, ketika dia menceritakan tingkah lucu anak temannya yang dia temui. Sungguh, aku benar-benar ingin mewujudkan kebahagiannya itu. Tapi, apa dayaku?

“Apa yang harus aku lakukan, Disha?” suatu ketika pertanyaan itu terlontar dari mulutku, setelah aku curhat dengan sepupu Mas Irwan itu. Kami sudah sangat dekat, jauh sebelum aku menjadi istri Mas Irwan. Kami satu angkatan dan satu jurusan di kampus yang sama. Lewat dialah perkenalanku dengan Mas Irwan.

“Hidup ini seperti melewati sebuah perjalanan panjang. Tak selamanya perjalanan yang kita temui akan mudah untuk dilewati. Jika kelak harus menempuh sebuah jalan yang terjal dan berat, dan tak ada pilihan lain. Jalan itulah satu-satunya, maka kamu harus siap.”

Tak salah jika Disha memberikan jawaban itu. Keinginan kedua orang tua Mas Irwan untuk memiliki cucu, sepetinya sudah tak terbendung. Tidak sekali dua kali mereka menyampaikan hal itu setiap kali kami datang berkunjung.

“Kapan nih, Mama dan Papa dikasih cucu?”

“Kalian sudah periksa ke dokter?”

“Cari dokter yang lebih hebat, biar dikasih solusi untuk permasalahan kalian.”

“Tante Andin baru saja dapat cucu baru. Masak sih, Mama kalah sama adik sendiri.”

Begitu kalimat-kalimat yang sering Mama lontarkan, sehingga membuat aku tidak betah untuk berlama-lama di rumah mertua.

Ya, Allah ... Apakah aku masih berhak untuk tetap mempertahankan Mas Irwan? Apakah aku terlalu egois jika terus mendampinginya? Sungguh aku belum siap untuk berbagi cinta.

“Mas ....”

“Ya.”

“Menyesalkah Mas menikah denganku?”

“Mengapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku belum bisa memberi kamu anak, Mas.”

“Kita sudah sering membahas masalah ini dan kita sudah berusaha, Dik.”

****

Waktu terus berjalan, semua masih terasa normal. Aku dan Mas Irwan menjalani kehidupan seperti biasa. Seolah semakin terbiasa dalam rumah hanya ada kami berdua. Tak lagi anak menjadi permasalahan. Meskipun Mama mertua tak berhenti mempertanyakannya jika kami saling bertemu, telingaku sudah kebas. Menjawab dengan senyuman.

Bersyukur frekuensi ke rumah Mama mertua tidak sering seperti dulu. Mas Irwan semakin sibuk dengan pekerjaannya, sehingga ke rumah Mama hanya saat momen tertentu. Pun kalau ada keperluan mendadak yang mengharuskan ke rumah Mama, Mas Irwan kadang langsung singgah sepulang dari pekerjaannya. Aku hanya dikabari oleh Mas Irwan kalau dia harus menginap atau tidak pulang ke rumah. Aku fine saja, bersyukur dalam hati, dengan tidak mengajakku berarti pertemuan dengan Mama bisa dihindari.

Aku pun sibuk menjalani usaha yang mulai berkembang. Bimbingan belajar yang kudirikan, jumlah siswanya semakin bertambah saja setiap semester. Tepat sekali aku memilih usaha ini, karena di daerahku belum ada saingannya. Sehingga bimbingan belajarku masih menjadi favorit. Kesibukan ini mampu sejenak melupakan hal-hal yang selama ini mengganggu pikiranku. Setiap hari bertemu dengan siswa-siswi dan berbagi ilmu, membuatku memiliki dunia baru yang penuh semangat.

Alhamdulillah, finansial rumah tangga menguat. Tabungan semakin bertambah, membuatku berencana untuk mengikuti program bayi tabung. Melihat ada seorang teman yang berhasil, aku pun tergoda untuk mencobanya.

“Mas, bagaimana kalau kita ikut program bayi tabung?” tanyaku suatu malam saat kami akan beranjak tidur.

“Persentase keberhasilan bayi tabung masih kecil, Dik. Banyak pasangan yang mencoba, sering mengalami kegagalan.”

“Temanku ada yang berhasil, Mas. Kita bisa tanya-tanya informasinya.”

“Ribet, Dik. Prosesnya lama. Mas pernah baca informasinya. Sementara saat ini Mas sibuk.”

“Ini kan masih rencana, Mas. Kita bisa susun jadwalnya dulu, sehingga kita bisa sesuaikan dengan waktu luang kita.”

“Ya sudah, kamu cari informasinya. Yang jelas untuk saat ini Mas belum bisa, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”

Pembicaraan malam itu membuat semangatku menguap. Mas Irwan memang benar, butuh waktu khusus untuk mengikuti program bayi tabung ini. Karena ada beberapa tahapan harus dijalani dengan maksimal, dan semua itu memang tidak mudah.

Aku tak pernah berhenti berdoa, semoga Allah menitipkan bayi kecil mungil nan lucu yang dapat membuat rumah menjadi riuh dengan suara tangis dan tawanya. Suasana yang sangat aku rindukan. Hingga akhirnya, suatu hari Allah menjawab doaku.

Tiba-tiba Disha sudah ada di rumah saat aku baru pulang dari tempat bimbel.

“Tumben ke rumah nggak kasih kabar dulu,” tanyaku saat melihat Disha keluar dari arah dapur dan membuatku sedikit kaget.

Memang kunci rumah, aku dan Mas Irwan masing-masing pegang satu. Jadi siapapun yang lebih dulu pulang bisa masuk rumah.

“Mas Irwan mana?” tanyaku lagi karena tak menemukan sosoknya di dalam rumah.

“Mas Irwan di rumah Mamanya, aku baru dari sana. Mungkin besok pagi baru akan ke sini bareng Mama dan Papa,” ujar Disha menjelaskan.

“Mama dan Papa mau kesini? Besok pagi? Ada acara apa? Tumbenan, Mas juga gak cerita.”

Aku merasa ada yang aneh, karena tak biasa ini terjadi. Mama dan Papa sangat jarang sekali ke rumah kami. Wajar, tak ada cucu yang akan mereka kunjungi. Jadi yang sering itu kami mendatangi Mama dan Papa. Akhir-akhir ini saja, kami jarang berkunjung karena kesibukan aku dan Mas Irwan.

“Memangnya gak boleh Mama dan Papa kesini?” ujar Disha

“Bukannya begitu. Inikan sesuatu yang tidak biasa, makanya aku jadi sedikit mempertanyakan. Pun biasanya Mas juga akan cerita sebelumnya kalau Mama dan Papa akan datang. Oh, iya. Ngomong-ngomong kamu juga nih. Apa kabar?” Aku baru sadar, belum menanyakan kabar Disha, dan angin apa yang membawanya kemari.

“Alhamdulillah baik.”

“Anakmu sehat? Kok gak dibawa?”

“Dia harus sekolah besok, jadi tak bisa ikut.”

Disha, anak dari kakak Mama mertuaku, mereka tinggal satu kota. Waktu tempuh perjalanan dari tempat tinggalnya ke rumahku lebih kurang satu jam. Malam itu Disha menginap di rumah dan kami bercerita banyak. Mulai dari mengingat masa-masa saat kuliah dulu, hingga ujung-ujungnya membahas masalah anak yang belum juga hadir dalam pernikahanku. Disha sudah memiliki seorang putra yang kini berusia enam tahun.

“Kamu merasa ada yang berubah gak sama Mas Irwan?” tanya Disha di sela-sela percakapan kami.

“Mmm ... sepertinya gak ada. Memang sih, setahun terakhir ini kami sudah jarang ngobrol karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tapi aku rasa semua baik-baik saja. Tidak seperti sebelumnya, aku sering bermain dengan pikiran sendiri karena masalah anak. Waktu luang membuatku tidak waras. Sejak usahaku dan usaha percetakan Mas Irwan semakin berkembang, kami jadi jarang membahas masalah yang sebelumnya selalu menimbulkan sentimental dalam rumah tangga kami.”

“Kamu ingat tidak, Aku pernah bilang kalau hidup ini seperti melewati sebuah perjalanan panjang. Jika kelak harus menempuh sebuah jalan yang terjal dan berat, sementara tak ada pilihan dan jalan itulah satu-satunya, maka kita harus siap untuk menjalaninya.”

“Iya, Aku ingat.”

Disha beranjak dari tempat duduknya, dan mendekat ke sampingku. Menggenggam erat tanganku sambil berujar, “Sepetinya kamu akan berada di jalan yang terjal dan berat itu, Hani.”

Aku menatap lekat-lekat ke arahnya.

“Apa maksud perkataanmu, Disha? Apa yang akan aku hadapi? Kamu menyimpan sesuatu dariku?” Aku mencecarnya dengan pertanyaan.

Dadaku mulai bergemuruh, merasakan ada sesuatu yang luar biasa yang akan aku dengar darinya.

“Aku tidak merahasiakannya darimu, bahkan kehadiranku saat ini untuk mengungkapkan semuanya. Tapi janji, kamu harus kuat. Allah takkan menguji seorang melebihi kemampuannya. Mungkin saat ini kamu berpikir ini tidak baik, tapi Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kamu.”

“Katakan Disha, Katakan! Apa yang harus aku dengar?” Aku menguncang-guncang tubuh Disha. “Apakah ini tentang Mas Irwan? Apakah dia ...?”

Oh tidak, aku menutup mulutku dengan kedua telapak tangan, tak sanggup melanjutkan kalimat yang sungguh aku sendiri tak menginginkan hal itu terjadi.

Disha memelukku erat. Aku semakin yakin, semua ini ada hubungannya dengan Mas Irwan. Ia memegang kedua pipiku, jarak kami begitu dekat. Sehingga bisikan lirihnya sangat jelas terdengar di telingaku.

“Mas Irwan sudah menikah lagi,” lirih Disha mengatakannya padaku. Namun terdengar seperti sebuah sambaran petir yang sangat keras.

Tubuhku gemetar, lemas membuatku tersungkur ke lantai. Jantungku berdetak semakin kencang, seiring dengan buliran hangat yang berjatuhan deras mengalir di kedua pipiku, menggenangi lantai tempatku meringkuk tak berdaya.

Ya Allah. Aku memang sempat berpikir ikhlas melepaskannya, agar dia bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan hingga saat ini. Ternyata ketika ini semua benar-benar terjadi. Pedih terasa, sesak memenuhi rongga dada. Aku bahkan tak sanggup untuk bernapas.

“Mas Irwan ... Mas Irwan! sungguh tega dirimu, Mas.” Aku sesenggukan menahan tangis. Sebenarnya aku tak ingin tetangga mendengar jeritan pilu ini. Tetapi semua ini terlalu sakit untuk ditahan. Tiba-tiba aku seolah dirasuki sebuah hasutan yang membuatku memukuli wajahku, menyalahkan diri sendiri seakan menjadi wanita tak berguna. Sehingga dengan mudahnya untuk dicampakkan begitu saja karena kekuranganku sebagai wanita.

“Aku wanita mandul, Disha. Jadi pantas untuk menerima ini semua. Iya kan? ... iya kan, Disha?” tanyaku setengah berteriak.

Disha menarik tubuhku ke dalam pelukannya, ia menahan kedua tanganku agar tidak menyakiti diri sendiri lagi.

“Istigfar, Hani. Istigfar, Sayang. Kamu harus kuat. Kamu harus tegar dengan kenyataan ini.” Disha mencoba menenangkan diriku yang seperti kesetanan, ia memintaku untuk meneguk segelas air putih.

Meskipun susah, aku mencoba menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Disha mengarahkanku untuk melakukannya berulang kali agar aku bisa tenang. Ternyata aku belum mendengarkan semuanya, masih ada hal penting yang ingin Disha sampaikan. Dia memintaku untuk tetap menjaga kesadaran agar tidak histeris lagi. Dan, untuk informasi terakhir yang Disha sampaikan. Aku merasa tak berpijak lagi di bumi, tubuhku seakan melayang tinggi, aku benar-benar ingin terbang jauh dan menghilang.

Mas Irwan menikah dengan seorang gadis lugu yang hanya tinggal berdua saja dengan ibunya yang sakit-sakitan. Setelah gadis itu tinggal sebatang kara, karena akhirnya sang ibu meninggal dunia. Dengan alasan kasihan dan niat menolong, makanya Mas Irwan menikahinya. Gadis itu dikenalnya dari cerita seorang teman, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumah gadis itu.

Ternyata Mama dan Papa juga tidak tahu dengan pernikahan Mas Irwan ini. Mereka baru tahu setelah Mas Irwan datang ke rumah dengan membawa seorang bayi perempuan yang masih merah, anak dari penikahannya. Sayang, ibu sang bayi meninggal sesaat setelah melahirkan. Maka hal inilah yang membuat Mas Irwan terpaksa membongkar rahasianya sendiri. Perempuan yang dinikahi itu tidak punya sanak keluarga, sehingga membuat Mas Irwan membawa bayi mungil itu pulang ke rumah orang tuanya.

Entah bahagia, entah luka yang Mama dan Papa rasakan. Tetapi sepertinya mereka sudah bisa menerima Mas Irwan dan cucu barunya. Besok pagi, Mama dan Papa juga Mas Irwan akan pulang bersama bayi itu ke rumahku. Ya, makanya mereka mengutus Disha untuk menyampaikan ini semua agar aku tidak kaget ketika mereka datang.

Skenario hidup apa yang sedang aku perankan, Ya Allah? Setegar itukah aku? sehingga harus menjadi ibu dari anak suamiku dengan istrinya yang lain. Apakah ini jawaban atas doaku padamu, Ya Allah? Memang Aku menginginkan kehadiran bayi mungil dalam rumahku, tetapi bukan dengan cara seperti ini.

Semenjak kehadiran bayi itu di rumahku, tak sekalipun hatiku tergerak untuk menyentuhnya. Mama menyiapkan baby sitter untuk mengasuhnya, meskipun di awal Mama meminta pada Mas Irwan agar bayi itu Mama yang merawatnya. Mas Irwan keberatan, sepertinya dia ingin membangun chemistry antara aku dan bayi itu. Sungguh egois. Belum lagi aku bisa menerima pernikahannya yang diam-diam, aku dipaksa untuk menerima bayi ini. Aku benci! Benci dengan semua ini.

****

Aku tak sanggup lagi melihat mentari, hanya ingin berada dalam kegelapan. Menyembuhkan luka dengan air mata, tak mungkin. Luka hanya akan terus basah dan menganga, perih. Sampai kapan aku bisa bertahan? Helaan setiap napas, hanya membuat sesak, tak beraturan. Akankah semua segera berakhir? Hanya waktu yang bisa menjawab tanyaku. Tapi, kapan?

Hari-hari semakin berat kujalani, aku kehilangan semangat hidup. Makanan yang kutelan terasa pahit. Sehingga berat badanku turun drastis. Meskipun banyak tetangga yang bertanya, kok tiba-tiba ada bayi di rumahku. Tetapi dengan jawaban mengadopsi anak, cukup meredam rasa keingintahuan mereka. Namun, aku masih belum bisa menerima kenyataan ini.

“Dik, Mas minta maaf.”

Malam itu Mas Irwan sampai bersujud di kakiku, agar aku mau memaafkannya. Jujur, aku masih menyimpan cinta untuknya meskipun luka ini masih terasa perih. Aku diam tak bereaksi, dia mencoba untuk mendekapku. Sekuat tenaga kudorong tubuhnya. Masih belum menyerah, dia genggam kedua tanganku dan mencoba menatap wajahku yang kupalingkan jauh darinya.

“Katakan, dengan cara apa Mas bisa menebus kesalahan ini? Mas mohon, jangan membenci bayi itu. Dia tidak bersalah. Berulang kali Mas jelaskan kalau Ibunya perempuan baik-baik. Tak sekalipun pernah menggoda Mas. Mas khilaf, Dik. Semua berawal dari rasa iba, sempat terniat untuk berterus terang sama kamu. Tapi Mas urungkan, karena yakin kamu akan menolaknya. Allah yang akhirnya menguak semua rahasia ini. Bisakah kamu menganggap ini memang takdir yang harus dihadapi dalam penikahan kita?”

Aku terlalu lemah untuk berargumen. Mas Irwan menyerah, karena aku bergeming dengan kebisuan.

Di pembaringan, kata-kata Mas Irwan terus terngiang-ngiang jelas di telingaku. Malam semakin larut, samar-samar terdengar tangisan bayi dari kamar belakang. Aku memang merindukan tangisan itu, Ya Allah. Aku memang menginginkannya. Tapi ....

Tiba-tiba ada hasrat yang mencuat, tak dapat kucegah. Ingin rasanya kaki ini berlari dan mendekap sosok mungil itu. Ah, kasihan dia, tangisannya pilu. Ibunya telah tiada. Aku, bukankah aku ibunya juga? Ya Allah, berilah petunjukmu. Apa yang harus kulakukan?

Aku tak dapat lagi menahan rasa ini. Kerinduan yang selama ini kupendam dalam diam. Setengah berlari kusongsong suara tangis itu. Ya Allah, Bayi mungil itu kini ada dalam dekapanku. Aku merindukannya, aku memang menginginkannya. Engkau mengabulkan doaku untuk memilikinya dengan cara ini. Aku ikhlas, Ya Allah. Aku ikhlas. Aku akan mencintainya, Dia anakku juga. Anakku, yang selalu aku pinta dalam doa dan sujudku.

SELESAI

Terima kasih sudah membaca cerpen ini, semoga terhibur.

Instagram : @nennytaufik

YouTube : Narasi Hati

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasaa bun...alur ceritanya sungguh menyentuh.. ya terkadang sulit menerima kenyataan terpahit dalam hidup ini. Tapisemua harus kita terima dengan lapang hati...sukses bun..

10 Jul
Balas

Terima kasih, Bu

01 Aug

Bagus bu cerpennya

10 Jul
Balas

Alhamdulillah

01 Aug

Keren cerpennya bu

10 Jul
Balas

Alhamdulillah

01 Aug

Keren menewen....

10 Jul
Balas

terima kasih, mb

01 Aug



search

New Post