Nenny Litania

Guru SD Muhammadiyah 019 Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Fajar Senja
Antologi Cerpen "DAR(L)ING"

Fajar Senja

Fajar Senja

Oleh: Nenny Litania

 

Kapan?

Satu kata tanya yang tak pernah luput dan terelakkan

Meluncur dari bibir-bibir mereka begitu saja tanpa beban

Entah karena peduli entah kenyinyiran

Ah, lebih baik aku tak suuzan

 

Jenuh?

Sudah pasti

Sakit hati?

Lama-lama seperti dianestesi

Kebas hingga tak terasa lagi

 

Andai mereka tahu

Aku juga tidak tahu kapan

Hanya Yang Maha Tahu

Bisa memberi jawaban

 

Satu yang selalu kuyakini

Terpatri dalam hati

Kini, hingga suatu hari nanti

Ada dalam genggaman Illahi

 

“Ah, puisi ini seperti mewakili perasaanku.”

Sebuah postingan dari akun facebook yang bernama Senja, membuatku sesaat terpaku. Bagaimana tidak, di usiaku yang sudah kepala tiga dengan status masih singlelillah, membuat semua keluarga, kerabat, dan sahabat bertanya-tanya. Kapan?

Senja. Aku jadi penasaran profil penulisnya. Aku mulai berselancar melihat satu persatu postingannya. Sepertinya, ia memang suka menulis. Rata-rata postingannya berupa puisi ataupun quote yang begitu memukau. Jariku terus men-scroll up and down. Satu yang tak bisa kutemukan dan aku makin penasaran. Gambar wajah Senja.

Facebook menjadi salah satu media sosial yang mulai sering aku kunjungi. Padahal sebelumnya tidak begitu tertarik. Paling hanya singgah sebentar saja untuk menghilangkan bosan. Aku lebih sering posting di instagram, karena kupikir dengan memposting setiap perjalananku, kegiatan bersama teman-teman di kantor, akan menjadi kenangan seperti album hidupku yang bisa kulihat kapanpun dan di manapun.

Senja mengubah kebiasaanku, aku seakan tak bisa berpaling dari setiap status yang ia tulis. Postingannya rutin, tiga kali sehari seperti makan obat. Kadang ia hanya menulis kalimat sapaan pada sahabat dunia maya, dan puisinyalah yang selalu aku tunggu. Semua kalimat yang ia tuangkan seolah mewakili semua rasa yang ada padaku. Kesepian, kesendirian, impian merajut kebahagiaan. Entahlah ..., mengapa bisa sama? Ada lega dan bahagia setiap kali membaca tulisannya.

 

Aku tersenyum, saat kau bahagia

Aku berduka, saat kau terluka

Aku tertawa, saat kau jenaka

Kumencoba berdamai kala rindu menggelora,

Kumencoba bertahan kala debaran menyiksa,

Hanya itu yang bisa kulakukan,

Seperti saat ini,

Di antara keramaian,

Menatapmu dengan sepi.

 

Hari ini ia menulis sebuah puisi lagi. Sepertinya ia sedang mencintai dalam diam. Kumaknai puisinya begitu. Mungkinkah ia mengagumi seseorang? Ah, kenapa aku jadi kepo dengan kehidupannya, ya?

Kalau memang benar, bukankah itu artinya dia juga singlelillah seperti aku? Tiba-tiba sebuah pemikiran “nakal” melintas, dan membuatku sangat yakin untuk melakukannya. Ya, aku akan mengirim pesan untuknya di inbox.

Menurutku, memperkenalkan diri sebagai pengagum rahasianya adalah ide yang cemerlang. Aku seakan mendapatkan chemistry setiap kali membaca tulisannya. Tak ingin berlama-lama dalam angan, aku harus segera mencari tahu siapa Senja. Ia sudah berhasil dengan rangkaian aksaranya membuatku terbuai. Ia mewarnai sudut hatiku dengan jingga yang perlahan mulai merona, hingga hidupku bergairah.

[Hai! Aku Fajar. Yang tak seharusnya menantikan Senja. Karena Fajar akan melemah cahayanya, ketika Senja menyapa]

Kubaca berulang kali. Setelah yakin tak ada yang salah, kukirim pesan singkat itu. Terlihat ia juga sedang online. Mataku masih tertuju pada pesan yang sudah telanjur terkirim. Mengapa tiba-tiba aku merasa menjadi lelaki yang lemah?

Namaku Fajar Anugerah, usia 33 tahun. Memiliki usaha penjualan komputer, laptop, dan perlengkapannya. Sekaligus membuka kursus komputer. Usaha yang kurintis dari nol alhamdulillah berkembang, sehingga lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Artinya aku sudah matang dan mapan.

“Kematengan,” kata kakak perempuanku yang cerewetnya minta ampun. Apalagi soal pasangan hidup yang belum nampak batang hidungnya.

Kami hanya dua bersaudara. Sepertinya, orang tuaku patuh pada pemerintah, dengan mengikuti program keluarga berencana.

“Dah mau Ramadan, loh. Betah banget buka puasa bareng teman-teman.”

Begitu sindirannya di Ramadan tahun lalu. Maklum, kalau Ramadan, awal bulan saja buka puasa bersama keluarga. Selebihnya buka bersama alumni dari tingkat SD, SMP, SMA, teman kuliah, teman kost, acara kantor, dan lain sebagainya.

Semoga Ramadan nanti aku bisa menyumbat mulut kakak dengan membawa adik ipar yang kecantikannya paripurna.

“Jangan utamakan cantiknya. Cari yang shalihah, taat pada Allah. Kalau sudah begitu, aura kecantikan seorang perempuan akan terpancar dengan sendirinya.” Pesan Ummi yang kadang suka ikutan nimbrung kalau bicara soal jodoh anak laki-lakinya ini.

Tiba-tiba, di layar ponselku muncul pemberitahuan pesan masuk. Yup, balasan dari Senja.

[Jika tahu cahayamu akan pudar, mengapa harus menyapa Senja?]

“Aduh!” Reflek aku tepuk jidat. “Mengapa tadi sok-sokan puitis sama pujangga. Kalau sudah begini, bagaimana harus membalasnya?”

Menulis bagiku bukan perkara mudah, apalagi menulis balasan untuk Senja.

[Karena, aku pengagum aksaramu. Untaian diksimu, seolah mewakili rasaku.]

[Rasa yang mana?]

Wadidaw! Nih perempuan, lama-lama bikin aku kehabisan kata-kata. Aku harus jawab apa lagi, ya?”

[Rasa kesendirian, dan cinta yang terlambat menyapa.]

Sedetik, dua detik, semenit, lima menit, ... tak ada balasan, meskipun pesanku sudah dibacanya. Kualihkan pandangan ke luar jendela. Terselip rasa bersalah.

“Apakah kalimat yang baru saja kukirim menyinggung perasaannya?”

Waktu terus berlalu. Senja masih terus menulis di facebooknya. Puisinya masih sama, penuh gairah dan memesona. Namun pesan terakhir yang kukirim tak kunjung ada balasannya. Mungkinkah ia berpikir, aku termasuk dari sekian banyak pengagumnya yang melakukan hal yang sama. Menyapa dalam percakapan yang tak penting baginya.

Namun, tak ingin menyerah, aku kembali menyapanya lewat sebuah puisi. Sepertinya, virus puisi-puisi Senja membangunkan bakat terpendamku dalam mengolah kata. Aku juga semakin suka dengan puisi.

 

Membangun harapan

Munculkan kekuatan menghadapi hidup

Kesabaran dalam penantian

Bagai irama klasik yang membosankan

Walau terkadang menenangkan

 

Sebuah puisi pertama yang berhasil kutulis, lahir dalam masa menunggu balasan Senja. Entahlah ... ada rasa yang terus bergejolak. Sepertinya hanya pertemuan yang mampu meredamnya. Aku harus bisa mengajaknya bertemu, agar semuanya jelas. Apakah semua ini adalah harapan atau angan belaka?

[Terkadang harapan tak seindah kenyataan.]

Aku membelalakkan kedua bola mata, seakan tak percaya. Senja membalasnya, meskipun singkat. Segera aku gerakkan jari menyusun kata agar bisa melanjutkan percakapan dengan Senja.

[Senja selalu hadir dalam rona jingga. Bolehkah aku menatapnya?]

[Jangan terlalu tinggi mainkan imajinasi. Akan hadir kecewa jika tak sesuai ekspektasi.]

Aku merasa, Senja mulai membuka diri. Semoga aku bisa mengajaknya bertemu.

[Aku mengagumi tulisanmu, Senja. Ajari aku mengenal aksara. Agar tak gagap berbicara, saat kita jumpa.]

[Perjumpaan hanya akan menyisakan luka, karena perpisahan itu pasti ada.]

Aku semakin larut dalam suasana yang tiba-tiba muncul dalam percakapan kami berdua. Ada rasa yang tak ingin aku ingkari. Debaran yang begitu terasa setiap kali menunggu balasannya.

Lelucon apa yang sedang aku jalani ini? Siapa sosok Senja sebenarnya, seolah aku tak peduli.

[Tak apa berpisah sesaat setelah perjumpaan. Kalau memang harus begitu demi perjumpaan berikutnya.]

[Baiklah, Insya Allah Senja akan hadir lusa. Di pelataran masjid At_Taubah. Tempat kita dulu pernah belajar mengaji bersama.]

“Apa?” Aku kaget luar biasa.

Masjid At-Taubah mengingatkan masa kecilku yang bahagia. Setiap selesai salat magrib berjemaah. Aku dan semua anak-anak seusiaku yang waktu itu masih SD, belajar mengaji hingga azan salat isya berkumandang. Kegiatan malam itu selalu di akhiri dengan salat isya berjemaah. Dulu, aku tinggal di samping masjid, hanya berjarak dua rumah saja dari masjid. Halamannya yang luas sering menjadi tempat anak-anak bermain atau sekedar duduk-duduk, di sore hari menjelang magrib tiba.

Dan, Senja bilang kalau masjid At-Taubah adalah tempat kami dulu pernah mengaji bersama.

“Apakah Senja teman masa kecilku?”

Waktu terasa lambat berganti lusa. Aku yakin, Senja sudah melihat profilku di facebook. Aku tak merahasiakan identitasku di sana.

****

            Lebih kurang seperempat abad yang lalu. Lingkungan yang tidak terlalu ramai, masih banyak ditumbuhi tanaman hijau, sehingga udara segar terasa memenuhi rongga dada. Kini hanya deru mesin lalu lalang tiada henti, meninggalkan kepulan asap yang membumbung menyisihkan oksigen yang semakin menipis.

Di seberang jalan masjid At-Taubah, ada sebuah cafe. Aku sengaja parkirkan motor kesayanganku di sana. Aku datang lebih awal dari jam yang sudah kami sepakati untuk bertemu. Aku duduk di dalam cafe mengambil posisi tepat menghadap masjid, sehingga aku bisa mengetahui kehadiran Senja. Secangkir kopi hitam menemaniku, aroma candunya cukup membuatku sedikit tenang dalam menanti gerakan jarum jam yang terasa begitu lambat berputar.

Sebuah sedan merah berhenti tepat di depan masjid. Kulihat seseorang keluar, namun tak begitu jelas karena tertutupi badan mobil. Ia keluar dari pintu sebelah kiri. Artinya, yang datang tidak sendiri. Karena yang menyetir masih duduk di dalam.

“Yang manakah Senja?”

Aku melirik ponsel. Tak ada pesan masuk. Perkiraanku, jika Senja sudah sampai. Mungkin ia akan menanyakan keberadaanku.

Aku merasa seperti pecundang, jika masih duduk dan diam di sini. Aku harus menemuinya.

Setelah membayar minuman. Aku melangkah keluar. Motor tetap kuparkir di depan cafe. Kalau pakai motor harus ambil jalan memutar, maka aku putuskan untuk menyebrang jalan saja.

Langkahku sedikit gemetar. Aku tak bisa mengatur skenario pertemuanku nanti. Biarlah terjadi secara alami saja. Jantung semakin berdegup kencang, seiring langkahku yang semakin dekat dengan lokasi pertemuan. Sepintas kumelihat sosok dalam balutan gaun berwarna jingga lembut dengan hijab berwarna senada bermotif bunga-bunga.

“Itukah Senja?” tanyaku lirih.

Sosok itu semakin dekat. Mataku tak ingin berkedip. Sosok itu pun membalas tatapanku.

“Fajar?” suaranya begitu lembut, selembut cahaya rembulan di wajahnya.

Maa Syaa Allah ... indah sekali ciptaan-Mu, Rabbi.

Aku seakan lupa dengan Senja, karena kupikir saat ini Purnama.

“Senja?” Aku tak menjawab tanyanya, dan malah balik bertanya untuk meyakinkan kalau dialah Senja.

“Bukan, aku Rania. Temannya Senja. Senja ada di dalam mobil. Dia takut salah orang, makanya aku yang disuruhnya turun.”

“Oh, bukan Senja,” ujarku dengan sedikit nada kecewa. Semoga Rania tak menyadari hal itu.

Akhirnya setelah Rania memastikan aku benar-benar Fajar. Ia mengajakku untuk melanjutkan pertemuan di cafe, persis di tempat aku memarkirkan motorku tadi. Ia masuk mobil, dan meninggalkan aku yang masih tercenung dengan peristiwa yang baru saja aku alami.

Kembali aku teringat kata-kata Senja, “Jangan terlalu tinggi mainkan imajinasi. Akan hadir kecewa jika tak sesuai ekspektasi.”

Semoga tidak berakhir dengan kekecewaan. Aku harus bisa menerima apapun, dan bagaimanapun Senja. Karena aku yang meminta pertemuan ini. Aku tak boleh menorehkan kekecewaan pada Senja dengan sikapku.

Aku kembali menyeberangi jalan yang sama, karena kulihat mobil sedan merah itu sudah terparkir. Aku tak sempat memperhatikan Senja turun. Aku harus bahagia bertemu Senja. Semoga pertemuan ini awal yang baik untuk merajut pertemananku dengannya.

Saat masuk pintu depan cafe, kulihat lambaian tangan Rania. Ia duduk di pojok barisan depan, persis di tempat dudukku tadi, menghadap ke masjid. Aku menghampirinya dan  duduk di depannya, sehingga kami sekarang saling berhadapan.

Aku tak melihat sosok Senja, yang ada hanya Rania.

“Kok, kamu sendirian. Senja mana?”

“Kamu serius mau bertemu Senja, ya?” tanya Rania

“Iya.” Aku mengangguk sambil mataku menyapu seluruh ruangan cafe, mencari-cari sosok Senja.

“Aku Senja.”

Kulihat wajah purnama itu tersenyum indah. Sepertinya bahagia membuatku kebingungan.

Alhamdulillah, sepertinya aku bisa menjawab tantangan kakak. Ramadan nanti aku tak akan sendiri lagi, melainkan ditemani bidadari. Insya Allah bidadari surga seperti yang ibu pinta dalam doa-doanya.

 

SEKIAN

 

Terima kasih sudah membaca cerpen ini, semoga terhibur. Silakan berkunjung untuk mendengarkan puisi-puisi lainnya dari Penulis di Channel YouTube: Narasi Hati ;)

 

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Lanjut pak

04 Jul
Balas

Insya Allah, Bu

10 Jul

alhamdulillah

10 Jul
Balas

Cerpen yg keren

04 Jul
Balas

alhamdulillah

10 Jul

Next ... Salam literasi

04 Jul
Balas

Salam Literasi

10 Jul

Keren Bunda Nenny. Maaf, semestinya penulisannya Mahatahu Bun. Salam literasi, saling support, sukses selalu.

04 Jul
Balas

Terima kasih, Pak. Salam Literasi

10 Jul

Bagus sekali Bu Guru ... Salam literasi ...

04 Jul
Balas

alhamdulillah, salam literasi. bu

10 Jul

Sudah seperti Tere Liye...bagus sekali Nenny...

04 Jul
Balas

Maa Shaa Allah. alhamdulillah Mb Lin. terima kasih

10 Jul

Mantuuul

04 Jul
Balas



search

New Post