Nenny Litania

Guru SD Muhammadiyah 019 Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Takdir Cinta Kemuning
Antologi Cerpen "Predestinasi Cita"

Takdir Cinta Kemuning

“Ayolah, Ning. Terima saja. Jangan terlalu lama memikirkannya.”

“Aku sudah merasa terlambat untuk semua itu, lebih baik aku sendiri saja.”

“Apa-apaan sih kamu, Ning. Seperti orang yang hilang semangat hidup saja. Bukankah dengan menikah, akan menyempurnakan setengah dari agama kita?”

“Sudahlah, Ra. Kita bicarakan ini lain waktu saja. Maaf, aku masih ada pekerjaan.”

Kemuning beranjak dari tempat duduknya. Ia merasa makan siangnya kali ini hambar. Aira, sahabatnya yang juga teman sekantor, sudah hampir seminggu ini membahas masalah yang sama. Kemuning jengah, ia bahkan sudah mengahapus kata itu dalam kamus hidupnya. Menikah.

Aira menatap punggung sahabatnya yang perlahan menghilang dari pandangan setelah keluar melewati pintu kafe. Sahabatnya itu lebih memilih kembali berkutat dengan pekerjaan yang tak pernah habis-habisnya, daripada membicarakan masalah yang baru saja mereka bahas.

Sejak kuliah mereka sudah bersama-sama, hingga akhirnya bekerja di sebuah perusahaan yang sama pula. Aira sangat menyayangi sahabatnya itu, meskipun ia sudah menikah, tetapi ia tak lupa menyisihkan waktunya untuk Kemuning. Sahabatnya yang masih setia menyendiri hingga saat ini, sementara ia sendiri sudah memiliki dua orang putri yang beranjak remaja.

****

Kemuning Lestari, cantik dan pintar. Perawakannya tinggi semampai, memiliki body goal setiap wanita di usianya yang tidak bisa dibilang muda lagi. Ia rajin berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Dengan penampilannya itu, tak sedikit laki-laki yang datang dan menyatakan cinta padanya. Namun, semua berakhir kecewa karena Kemuning terlalu rapat mengunci pintu hatinya.

“Cobalah untuk membuka hati, Ning.”

“Aku hanya ingin menikmati kesendirianku.”

“Ini sudah terlalu lama. Jangan selalu dibayangi masa lalu, tak semua laki-laki seperti Panji.” Aira tak henti-hentinya mencoba meyakinkan.

Panji Persada. Pria yang menjanjikan masa depan semu untuk Kemuning. Mereka telah merajut kebersamaan indah bertahun-tahun. Semua rencana menuju pelaminan yang tersusun rapi, tiba-tiba hancur berserakan akibat sebuah pengkhianatan. Sejak peristiwa itu, Kemuning rapuh. Hilang kepercayaan diri dan tak ingin memercayai siapa pun.

Perlahan namun pasti, keluarga dan sahabat mencoba menyalakan kembali semangat hidup Kemuning yang hampir redup. Alhamdulillah, Aira kini bisa melihat sahabatnya itu bangkit dari keterpurukan, hanya saja Kemuning membangun benteng pertahanan dirinya terlalu tinggi untuk semua kaum pria.

“Aku tak membenci mereka. Hanya saja aku tak ingin mengenal mereka lebih dekat.”

Begitu ia menjelaskan, setiap kali Aira mencoba mengenalkan beberapa pria untuk menjadi teman dekatnya.

Namun Aira tak pernah berhenti, selalu mencari cara agar Kemuning membuka benteng pertahanan hatinya. Hal inilah yang kadang membuat Kemuning jengah, tetapi tak bisa marah dan meninggalkan Aira. Airalah satu-satunya sahabat yang selalu hadir dalam beragam skenario hidup yang ia jalani. Di sudut hatinya, Kemuning tahu betul bahwa semua yang Aira lakukan adalah untuk kebahagiaannya. Namun saat ini, menikah bukanlah satu hal yang akan membuatnya bahagia.

Bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang desain periklanan, sudah cukup membuatnya bahagia. Meskipun kelihatan sibuk setiap hari, ia sangat menikmatinya. Tak ada waktu memikirkan pria. Secara finansial sudah lebih dari cukup. Rumah, mobil, dan tabungan, semua ada, lengkap untuk menunjang aktifitasnya.

“Aku sudah memiliki segalanya, Ra. Aku tak butuh mereka.”

“Tapi kamu belum punya cinta, mencurahkan rasa, dan berbagi kasih sayang. Kita butuh mereka, Ning.”

“Bukankah aku sudah pernah menjalaninya, dan akhirnya apa? Apakah aku bahagia? Kamu tahu semuanya kan, Ra. Penderitaan yang aku rasakan.”

“Mereka bukan Panji, Ning.”

“Tapi masih banyak yang seperti Panji.”

“Bagaimana kalau ada yang tidak seperti Panji, dan datang menemuimu.”

“Aku tidak yakin.”

****

Hari ini Kemuning ada janji dengan klien dari sebuah perusahaan makanan yang akan meluncurkan produk baru. Mereka membutuhkan jasa desainer periklanan dalam peluncuran produk tersebut. Seperti biasa, Kemuning harus bertemu langsung dengan pengguna jasa agar lebih tahu keinginan mereka seperti apa.

Kafe di depan kantor merupakan tempat yang cocok untuk digunakan sebagai pertemuan dengan klien. Selain menunya yang pas di lidah, tempatnya juga luas dan nyaman. Mereka juga memiliki ruang VIP dengan fasilitas yang lengkap. Tidak sekali dua kali Kemuning bersama asistennya memilih tempat ini, sehingga pemilik kafe sudah tahu harus mempersiapkan apa kalau Kemuning booking tempat.

“Semua sudah siap, Bu,” ujar pelayan kafe.

“Baik, terima kasih, ya.”

Kemuning sudah duluan tiba. Ia menunggu klien sambil menikmati segelas jeruk peras hangat favoritnya.

Tak lama kemudian, seorang pria berpenampilan rapi masuk dan mengucapkan salam ketika melihat Kemuning dan asistennya sudah lebih dulu ada dalam ruangan.

Aroma woody menyebar saat pria dengan sosok tubuh tinggi dan atletis itu duduk tepat di hadapan Kemuning.

Pria itu langsung memperkenalkan dirinya sebagai perwakilan perusahaan tempatnya bekerja yang mengurus bidang pemasaran. Rencananya akan bekerjasama dengan Kemuning.

“Perkenalkan, nama saya Panji, Panji Purnama.”

Kemuning tercekat mendengar nama pria itu. Nama yang sama yang sudah lama tak ingin ia dengar. Meskipun begitu, Kemuning mencoba untuk bersikap profesional. Cepat-cepat ia buang jauh rasa tidak nyaman yang sempat muncul, agar klien tidak menyadarinya. Bersyukur Kemuning bisa melewati semua tahapan dalam pertemuan pertama mereka dengan baik, sehingga ia bisa menghela napas lega setelah pria itu baranjak dan meninggalkan ruangan.

“Nina, kamu kembali saja ke kantor, sepertinya saya kurang enak badan, jadi mau pulang dulu,” ujar Kemuning pada asistennya.

“Baik, Bu.”

****

Kemuning merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Ia menarik napas panjang, dan melepaskannya perlahan. Ingatannya kembali melayang ke masa-masa indah yang pernah ia lewati bersama Panji. Pria yang berhasil mengisi hatinya, dan membuat hari-harinya penuh warna. Ia sangat bahagia, bahagia ... sekali. Hingga peristiwa itu terjadi dan mengakhiri segalanya.

“Maaf, Sayang. Aku khilaf.”

Begitu Panji menjelaskan kesalahannya yang ia anggap sebagai kekhilafan.

Semudah itukah dirimu berpaling, saat langkah menuju pelaminan semakin jelas untuk kita berdua.

Tiba-tiba ponselnya berdering, tertera nama Aira di layar.

“Pasti nih anak dapat kabar kalau aku sakit dari Nina,” pikir Kemuning.

Benar saja, ketika ponsel diangkat, Aira langsung mencecar Kemuning dengan pertanyaannya.

“Kamu sakit, ya? Sudah minum obat? Atau perlu aku antar ke dokter?”

“Aku hanya pusing sedikit saja, mungkin kecapekan.”

“Itu akibat kamu memaksakan diri bekerja terlalu keras. Sebentar lagi aku ke rumah kamu, mau dibawakan makanan apa, nih?”

Kemuning tersenyum, betapa Aira memperhatikan dirinya seperti saudaranya sendiri.

Orang tua Kemuning sudah lama meninggal dunia, ia anak bungsu dari dua bersaudara. Abang tertuanya sudah menikah, dan tinggal di kota kelahiran mereka. Kemuning merantau sejak kuliah hingga kini ia bekerja. Kota ini membuatnya sudah merasa nyaman meskipun jauh dari sanak saudara. Airalah yang menjadi saudara terdekatnya saat ini.

Tak lama kemudian, Aira sampai di rumah Kemuning.

“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Ning. Kalau nanti aku enggak ada, kamu sakit siapa yang jagain?”

“Kalau begitu doakan aku selalu sehat, dong.”

“Ah, kamu. Pasti mengelak kalau aku ajak bicara ke arah itu.”

****

Panji Purnama, memiliki seorang putri berusia lima tahun. Sudah dua tahun menyandang gelar duda keren. Istri tercinta mengidap kanker otak, sejak divonis hanya bertahan selama enam bulan, hingga akhirnya menghadap Sang Khalik. Rasa cinta pada istrinya, membuat ia sampai saat ini masih bertahan sendiri. Kesibukannya dalam mengelola perusahaan dan kebersamaannya dengan putri tercinta, cukup mampu mengisi kekosongan waktunya yang tersisa.

Namun sejak pertemuan itu, dan berlanjut dengan percakapan di whatsapp membuat warna baru muncul dalam kesehariannya. Meskipun dalam percakapan yang dibahas masih seputar pekerjaan, namun momen itu sangat dinantikan.

[Materinya sudah bagus, sudah tersampaikan seperti yang diinginkan perusahaan.]

[Alhamdulillah kalau begitu, kami akan segera selesaikan tepat waktu.]

[Terima kasih, perusahaan senang bisa bekerjasama dengan seorang desainer seperti anda.]

[Terima kasih kembali, semoga kerjasama ini akan terus berlanjut.]

“Ah, aku inginnya bukan hanya kerjasama perusahaan kita yang berlanjut, tapi hubungan pertemanan di antara kita juga,” gumam Panji sambil memandangi ponselnya, menyesal sekali percakapannya telah usai.

Panji sudah mendapatkan banyak informasi dari informan terpercaya. Ia sudah memantapkan hati kalau niatnya untuk mengenal lebih dekat harus dimulai dari sekarang. Sepertinya ia harus berjuang keras untuk mengembalikan kepercayaan wanita itu yang menganggap kaumnya adalah pengkhianat. Ia akan patahkan anggapan itu, semoga usahanya akan berbuah manis.

****

Farisha, gadis kecil yang menggemaskan. Siapa pun yang melihatnya, tak akan kuat menahan diri untuk tidak menowel pipinya yang chubby. Kulitnya putih bersih, rambut panjang selalu dikepang. Meskipun sang mama sudah tiada, namun cinta dari papa mampu membuatnya terus tersenyum bahagia. Oma dan opa juga sama, mereka menyayanginya. Hingga ia tumbuh dalam kasih sayang yang berlimpah.

Hari ini, Papa akan mengajaknya ke taman bermain. Tempat yang paling ia senangi. Di sana banyak mainan dan pastinya es krim. Sesuatu yang wajib ia dapatkan jika berkunjung ke sana. Biasanya hanya berdua papa saja, namun kali ini ada tante cantik dan baik hati yang akan menemaninya. Mereka akan bersenang-senang bersama. Sejak papa mengenalkannya, Farisha jadi sering bertanya-tanya pada papa, kapan akan bertemu kembali dan bermain bersama dengan tante cantik itu.

Pertanyaan yang sepertinya juga dinantikan sang papa, sehingga ada alasan untuk mengulang kembali pertemuan agar dapat merajut asa menjadi nyata.

****

Panji, satu nama yang sama dari orang yang berbeda. Sebuah nama yang dulu memadamkan lentera di hati Kemuning, sehingga bertahun-tahun menjadikannya sebagai ruang gelap yang dingin dan sepi. Kini nama itu lagi yang mulai menyalakan lentera yang sempat terpadamkan. Meskipun belum terang benderang, nyalanya mampu mengubah dunia Kemuning menjadi bersinar.

Aira yang paling berbahagia melihat perubahan pada sahabatnya itu. Sepertinya benteng pertahanan Kemuning, perlahan mulai runtuh dengan sikap dan perhatian Panji Purnama. Aira memainkan peran ganda dengan sangat baik, di balik layar sebagai informan bagi Panji dan di hadapan Kemuning sebagai sahabat setia yang selalu memberikan dukungan. Semua yang ia lakukan hanya untuk kebahagian Kemuning.

Panji, satu nama yang menjadi takdir cinta Kemuning. Semoga mereka berbahagia selamanya.

SEKIAN

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah, terima kasih pak

08 Sep
Balas

Cerpen keren Bu Nenny. Salam literasi, sukses selalu.

08 Sep
Balas



search

New Post