Aku terlalu naif untuk kembali membuka hati. Bukan hanya masalah ekonomi yang membebani kami selama ini tapi masalahnya dia terlalu sangat menyakiti hatiku dan tubuhku. Entah setan apa yang merasukinya, peralatan- peralatan di rumah dan badan rikihku sudah menjadi sasaran empuknya, aku tak bisa menutupi bekas tamparan dan lembamnya. Sekali dua kali sampai ratusan kali tetap aku memaafkannya, aku coba dan selalu mencoba menata hatiku yang sudah tercabik- cabik agar aku rido menerimanya. Namun ini hanya bayangan karena suatu saat nanti akan menjadi kenyataan.

Masih teringat ketika ibu melarang hubungan ini, feelingnya mengatakan kalau dia bukanlah laki- laki terbaik. Tapi dasarnya aku yang keras kepala tidak mengindahkan pandangan kedua orang ruaku. Cinta yang teramat dalam membuat aku buta segalanya, sekarang akupun baru menyadarinya. Awalnya semua aku pendam sendiri dan aku selalu bersandiwara dihadapan keluarga besarku. Namun sebaik- baiknya aku menyimpan bangkai akhirnya tercium juga, ibu yang tak sengaja melihat bagaimana aku diperlakukan suami langsung menjerit, membuat seisi rumah geram dan menggusirnya. Keluargaku tak mau menerima kenyataan ini, adik satu satunya perempuan jangankan menampar menyentikpun tak pernah.

Hampir dua bulan kami berjauhan, aku sudah mantap untuk berpisah. Aku bukanya memetingkan diri sendiri, tidak sayang ke anak- anak atau malu dengan statusku nantinya...tidak. Aku tak ingin mati konyol di tangan orang yang amatku cintai dan yang teramat penting aku ingin membahagiakan diriku sendiri yang sudah terlalu lama tersakiti.

Tanjung Pati, 17 Maret 2022