Ngatiran, M.Pd.I

BIODATA PENNULIS Nama &nbs...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ayo Belajar Bersama Ibnu Qudamah (2)

AYO BELAJAR BERSAMA IBNU QUDAMAH

Pada tulisan kali ini penulis mengajak para pembaca belajar bersama Ibnu Qudamah, dengan sesi tentang “Kondisi Politik dan Sosial-Kultural Masa Hidup Imam Ibnu Qudamah” selamat belajar .....

A,4. Kondisi Politik dan Sosial-Kultural Masa Hidup Imam Ibnu Qudamah

A.4.1. Kondisi Politis

Imam Abnu Qudamah hidup pada masa antara 521-620 H. Masa in terkenal dengan masa yang penuh dengan kekeruhan politik, banyak terjadi peristiwa-peristiwa dan perubahan arah politik. Ketika Imam Ibnu Qudamah pergi ke Bagdad tahun 561 H, masa ini adalah masa setelah runtuhnya kekuatan Bani Buwaihi ( 334-363 H / 974-1031) dari kelompok Syi’ah dan datangnya penguasa saljuk Turki (447-656 H/1055-1258 M) menguasai Baqdad.

Abbasiyah Abu Manshur Al-Fadhi Al-Mustarsyid Billah bin Al-Muustazhhir (512-529 H/1118-1135 M), Abu Ja’far Al-Manshur Ar-Rasyid bin Al-Mustarsyid (529-530 H/1135-1136 M), Abu Abdillah Muhammad Al-Muktafi Biamrillah bin Al-Mustazhhiri (530-555 H/1136-1160 M), Abu Al-Muzhaffar Yusuf Al-Mustanjib Billah bin Muktafi (555-566 H/1160-1170 M), Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mutadhi’ Biamrillah bin Mustanjid (556-575 H/1170-1180 M), dan Abu Al-Abbas Ahmad An-Nashir Lidinillah bin Al-Mustadhi’ (575-622 H/1180-1225 M).[1]

Imam Ibnu Qudamah telah mengalami beberapa pergantian penguasa pada masa hidupnya, mereka adalah :

A.4.1.1. Masa kekuasaan Bani Saljuk Turki /447-656 H/1055-1258 M, seperti Abu Abdillah Muhammad Al-Muktafi Biamrillah bin Al-Mustazhhiri (530-555 H/1136-1160 M), Abu Al-Muzhaffar Yusuf Al-Mustanjib Billah bin Muktafi (555-566 H/1160-1170 M), Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mutadhi’ Biamrillah bin Mustanjid (556-575 H/1170-1180 M), dan Abu Al-Abbas Ahmad An-Nashir Lidinillah bin Al-Mustadhi’ (575-622 H/1180-1225 M).[2]

A.4.1.2. Masa kekuasaan Daulah Murabitun, seperti Ishaq bin Ali (w.541 H).[3]

A.4.1.3. Masa kekuasaan Daulah Muwahhidin seperti, Abdul Mukmin bin Ali (541-558 H), Abi Ya’qub bin Yusuf I (558-580 H), Abu Yusuf Ya’qub bin Al-Manshur (580-595 H), Muhammad An-Nashir (595-611 H), Abu Ya’qub bin Yusuf II AL-Mustanshir (611-620 H), dan Abu Muhammad Abdul Al-Adil (621-624 H).[4]

A.4.1.4. Masa Al-Ghaznawiyin Bani Sabaktakin, seperti Muizzuddaulah Khasru Shah bin Bahram (547 H), dan Tajuddaulah Khasru Malik bin Khasru Shah (555 H).[5]

A.4.1.5. Masa kekuasaan Dinasti Saljuk Irak, seperti Muinuddin Malik Shah bin Mahmud bin Muhammad bin Malik Shah (547 H), Giyatsuddin Muhammad bin Mamud (548-555 H), Ruknuddin Arislan Shah bin Thughrul Abu Al-Muzaffar (556-573 H), dan Rknuddin Thughrul II bin Arislan Shah (573 H).[6]

A.4.1.6. Masa kekuasaan Dinasti Saljuk Kirman, seperti Mughitsuddin Muhammad I Malik Shah bin Arislan Shah (537-551 H), Muhyiddin Thugrul Shah bin Malik Shah (551-565 H), dan Bahram Shah bin Thughrul Shah (565-570 H), [7]

A.4.1.7. Masa kekuasaan penguasa Daulah Ftahimiyah, seperti Abu Al-Maimun Abdul Majid Al-Hafizh (526-544 H), Abu Al-Manshur Ismail Azh-Zhafir (544-549 H/1149-1154 M), Abu AL-Qasim Isa Al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M), dan Abu Muhammad Abdullah Al-Adhid (555-567 H/1160-1171 M).[8]

Secara umum pada mas itu telah terjadi kekeruhan politik karena adanya persaingan yang ketat di antara para khalifah atau penguasa ketika khususnya di Baqdad dan kelompok Bathiniyah di Mesir.

A.4.2. Kondisi Sosial

Kebanyakan kondisi sosial masyarakat di suatu masa, tidak terlepas dari kebijakan politis yang berlaku pada masa itu. Sementara itu pada masa Imam Ibnu Qudamah hidup diwarnai dengan kekacauan politik, banyak terjadi pergantian penguasa (khalifah), banyak peristiwa besar terjadi, dan umat Islam banyak bercampur dengan umat-umat lain yang non-Muslim. Semua itu telah menyebabkan adanya bentuk kehidupan sosial yang bervariatif dan tidak berpegang kepada satu pegangan yang sama.

Pada masa Al-Mustanjib Billah, buku-buku sejarah memaparkan bahwa dia adalah seorang penguasa yang baik kepada rakyat, masyarakat hidup dalam kemakmuran dan aman dari segala kelaliman yang mengganggu manusia. Di samping itu ada juga banyak memberikan keringanan pajak dan upeti kepada masyarakat.

Sedangkan di masa-masa kekhalifahan lainnya, masyarakat hidup dalam keprihatinan, kelaparan merajalela, harga-harga meningkat, dan banyak manusia yang binasa.

Dengan membaca keadaan keadaan manusia pada saat itu, mungkin kita bisa membagi mereka ke dalam tiga tingkat:

Tingkat pertama, Para penguasa. Mereka adalah keturunan Bani Abbas di Bagdad dan kelompok Fatimiyah di Mesir dan sebagian penguasa ada yang tinggal di negeri Syam. Mereka hidup dalam kesenangan, syahwat, larut dalam kelezatan, dan mendapatkan kemewahan yang luar biasa dalam kehidupan mereka. Seperti yang dinukil oleh para sejarawan, Ibnu Katsir misalnya, ketika berbicara tentang perlengkapan putri Raja Malik Syah yahun 450 H beliau berkata, “Di antara kemewahan yang tampak adalah ketika memindahkan perlengkapan anak perempuan Raja Malik Syah ke Darul K hilafah yang diiringi oleh seratus tiga puluh onta yang dihiasi dengan kain sutera dari Romawi, yang di atasnya membawa bejana yang terbuat dari emas dan perak. Juga di iringi dengan tujuh puluh empat keledai yang dihiasi dengan berbagai macam kain sutera kerajaan, bel dan kalungnya terbuat dari emas dan perak. Di atas enam keledai ada dua belas kotak yang terbuat dari perak yang di dalamnya ada berbagai macam jenis permata dan perhiasan. Di antara keledai-keledai itu ada tiga puluh tiga kuda yang di atasnya ada tenda yang terbuat dari emas dan dihiasi dengan permata dan tandu besar yang juga dilapisi dengan kain sutera kerajaan, yang atasnya dipupuk dengan emas yang dicampur dengan intas permata.[9]

Tingkat kedua : Para ulama. Mereka memiliki peran yang besar dalam mendidik umat dan menyeru mereka ke dalam kebenaran serta mengembalikan rasa percaya diri mereka. Mereka inilah yang nanti akan kita bicarakan atas izin Allah SWT pada pembahasan tentang kondisi keilmuan.

Tingkat ketiga, Manusia umum. Mereka itulah orang-orang yang banyak mengalami keprihatinan karena terjadinya peperangan-peperangan, sisi kehidupan yang kacau, dan banyaknya kerusakan yang menyebabkan mereka lari dari perhatian terhadap tntunan kehidupan primer mereka yang menyangkut masalah makanan, pakaian dan tempat tinggal.

Kondisi semacam ini telah menyebabkan menyebarnya kemunafikan, dekadensi moral, dan runtuhnya nilai-nilai kehidupan sehingga banyak di antara mereka yang terpedaya angan-angan hampa, yang didengungkan oleh sebagian orator dan penghayal sebagai jalan untuk mencari nafkah, maupun hanya sekedar untuk berhayal yang tidak ada realitasnya selain untuk meringankan beban kehidupan yang semakin berat, melupakannya atau menghindari kerusakan. Di samping itu, tempat-tempat kesenangan (hiburan) juga merajalela, seperti panti-panti pijat, rumah-rumah bordir, dan tempat-tempat biduan wanita.[10]

Sementara keadaan sosial di mana Imam Ibnu Qudamah sejak kecil yang dapat membentuk kepribadian Ibnu Ibnu Qudamah sehingga ia tumbuh dan berkembang di bentuk oleh kondisi sosial dan lingkungan di mana beliau berada, kondisi tersebut dapat kita cermati sebagai berikut; pada saat beliau belum di lahirkan kondisi masyarakat dalam keadaan kacau sperti tatkala Ibnu Qudamah berumur 5 tahun terjadi peristiwa di Syam, yaitu serangan tentara salib, sehingga Ibnu As-Sallar[11] pada tahun 546 H / 1151 M mempersipkan aramada laut dan rela mengeluarkan biaya yang besar. Kemudian ia mengadakan penyerangan terhadap kota-kota yang diduduki pasukan salib di kawasan Syam.[12]

Sementara di Mesir Kairo pada masa al-Zafir (khalifah Bani Fathimiyah) tahun 549 – 555 H /1154 – 1160 M, ia meninggal dan di gantikan oleh al-Adhid yang berumur sembilan tahun. Ia menjadi khalifah yang keempat belas dan yang terakhir dalam Dinasti Tathimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua abad setengah . kehidupan masyarakat yang sangat sulit , yang menjadi aliran sungai Nil sebagai sumber kehidupan mereka, semangkin parah oleh bencana kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah pajak yang tinggi dan pemerasan yang umum terjadi untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan bersenjatanya yang rakus. Keadaan semangkin parah dan rumit dengan datangnya pasukan Perang Salib dan serangan balasan dari Almaric, raja Yerusalem, yang pada tahun 562 H/1167 M telah berdiri di pintu gerbang Kairo. Keadaan menyedihkan itu diakhiri oleh Shalah al-Din yang pada tahun 566 H/1171 M menurunkan Khalifah Fatimiyah yang terakhir dari tahtanya.[13] Keadaan seperti ini muncul ketika Imam Ibnu Qudamah berumur 8-16 tahun.

Sementara ketika Imam Ibnu Qudamah berusia 26 tahun, yaitu 567 H/1171 M, Shalahuddin melakukan serangan sangat telak dan mematikan terhadap gerakan dakwah Syiah Dinasti Ubaidiyah di Mesir, yaitu dengan penghentian pelaksanakan Khhutbah Jumat dari Masjid Al-Azhar yang selama ini menjadi pusat penyebaran dakwah Syiah Ismailiyah. Tepatnya sejak jabatan hakim dipegang oleh Shadruddin Abdul Malik. Maka sejakitulah kemudian segala kebjikan yang ditempuh di Al-Azhar harus mengikuti paham (mazhab) yang dianutnya (Ahlus Sunnah). Termasuk tidak diperbolehkannya ada pelaksanaan Shalat Jum’at dalam satu wilayah , sebagaimana yang ada dalam madzhab Imam Asy-Syfi’i. Maka oleh karena itulah dihentikan palaksanaan Shalat Jum’at yang ada di Masjid Al-Azhar. Dan shalat jumat yang diakui secara sah adalah Shalat Jum’at yang ada di Masjid Hakim, selain juga karena pertimbagan masjidnya lebih luas bisa menampung lebih banyak jamaah . kondisi vakum Masjid Al-Azhar yang tidak dipakai untuk pelaksaan Shalat Jumat seperti ini brerjalan selama 100 tahunan sejak saat itu. Dan kemudian baru dipakai lagi untuk pelaksanaan shalat dan khutbah Jumat pada masa pemerintahan Sultan Azh-Zhahir Baibars.[14]

Selanjutnya kita akan belajar bersama Ibnu Ibnu tentang , “Kondisi Ilmiah “ untuk itu kita akan bertemu pada sesi yang berikut, sampai jumpa ........

[1] Salamah Muhammad Al-Harafi AL-Ballawi, AL-Mursyid AL-Wajiz Fi At-Tarikh Wa AL-Hadaharah AL-Islamiyyyah, (Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah:Kairo Mesir) penerjemah Masturi Irham dan Malik supar (Pustaka Al-Kautsar:Jakarta, tahun 2016), hlm, 887

[2] Ibid

[3] Ibid, hal, 889

[4] Ibid

[5] Ibid, hal, 891

[6] Ibid, hal, 892

[7] Ibid

[8] Ibid, hal, 893

[9] Ibnu Katsir, Al—Bidayah wa AN-Nihayah, XII (Maktabah Al-Maarif: Beirut, tahun 1991) hal, 232

[10] Ibid . XII. Hal, 105

[11] Imam Adz-Dzahabi berkata; Ibnu As-Sallar adalah seorang pahlawan yang gagah berani. Selalu tampil di depan dan memiliki wibawa. Ia merupakan pengikut paham ahlus Sunnah yang bermazhab Imam Syafi’i, dan tidak pernah menjadi pengikut paham Unadiyah (sekte Syi’ah)

[12] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa Juhuduhu fi Qadha’ ala Daulah Al-Fathimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis, Penterjemah Ahmad Tarmudzi, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, tahun 2013), hal. 221

[13] Philip K. Hitti, History of The Arabs,terbitan Palgve Macmillon, edisi revsi ke-10. New York, 2002. Penerjemah R. Cecep Likman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, tahun 2014), hal. 796

[14] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa Juhuduhu fi Qadha’ ala Daulah Al-Fathimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis, Penterjemah Ahmad Tarmudzi, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, tahun 2013), hal. 269

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post