MAHNIAR SINAGA,M.Pd.

Guru SDN 068008 Medan ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Membalut Warna Literasi di TBM Lingkaran
#7

Membalut Warna Literasi di TBM Lingkaran

Membalut Warna Literasi di TBM Lingkaran

Apa yang terpikir oleh kita jika bicara tentang literasi saat ini? Apakah literasi yang kita pahami saat ini adalah sekadar literasi baca dan menulis? Tentu bukan, dong. Literasi terus berevolusi dari zaman ke zaman. Perubahan pola pikir dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh literasi. Apalagi di era revolusi industri 4.0 saat ini, literasi merambah kearah digitalisasi. Ketajaman literasi digitalisasi sangat berpotensi dalam mendukung aktivitas manusia. Liku-liku perkembangan peradaban manusia di muka bumi bisa terdeteksi ke belahan dunia lewat literasinya. Sungguh, revolusi literasi itu begitu cepat. Diakui. Negara yang membangun budaya literasi yang sangat baik otomatis menjadi negara yang maju dan berkembang mengikuti arus zaman.

Bagaimanakah sepak terjang literasi di Indonesia? Apakah sudah mampu memberdayakan manusia? Kita bandingkan dengan negara lain di dunia, tingkat literasi anak-anak dan orang dewasa di Indonesia tergolong rendah. Sebut saja, durasi membaca orang Indonesia rata-rata hanya 30-59 menit per hari. Masih kurang dari satu jam. Dan jumlah buku dibaca tuntas per tahun rata-rata 5-9 buku. Sedangkan menurut standar UNESCO, waktu membaca setiap orang adalah sekitar 4-6 jam per hari. Sungguh perlu perhatian khusus dalam membudayakan minat baca orang Indonesia.

Di Negara-negara maju, mereka berani menghabiskan waktu rata-rata 6-8 jam per hari untuk membaca. Miris, waktu 5 jam lebih itu kadangkala kita habiskan untuk bermain gawai yang belum tentu mengasah ketajaman literasi digitalisasi dalam mengolah informasi. Toh, hoaks masih dipercaya dikalangan masyarakat kita. Kenyataannya tidak berbanding lurus antara kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi terhadap peningkatan minat baca masyarakat. Seharusnya, era revolusi industri 4.0 ini bisa menjamin tajamnya budaya literasi di Indonesia. Masyarakat seharusnya adaptif terhadap perkembangan zaman, pengelolaan informasi sangat dibutuhkan lewat membaca agar kita bisa bertahan hidup di era yang super cepat ini. Jika kita tak mampu memilah dan memilih informasi sesuai kebutuhan kita, siap-siap terpeleset di jurang ketidakberdayaan di era 5.0 yang akan datang. Semoga budaya baca tak disingkirkan apalagi dikebiri.

Sebaiknya kita merenung atas apa yang kita lakukan saat ini. Tingkat literasi suatu bangsa rendah berdampak fatal pada peradaban bangsa itu sendiri. Apalagi jumlah penduduk Indonesia yang banyak, dengan keliteratan bangsanya yang jauh panggang dari api, maka kriminalitas pun menjadi-jadi, sebab hoaks semakin marak dan gaya hidup pun semakin tinggi. Untuk itu, kita mencari solusi atas permasalahan-permasalahn yang kian pelik dengan menadikan literasi di kehidupan zaman milenial.

Dikutip dari PWINews.id, ada beberapa dampak jika tingkat literasi rendah :

1. Kebodohan masyarakat yang tidak berujung dan terus-menerus.

2. Tingkat produktivitas manusia yang rendah jadi sebab sulit untuk maju.

3. Mudahnya pendidikan berhenti atau masih tingginya angka putus sekolah anak.

4. Kemiskinan yang tidak terobati bahkan makin meluas.

5. Kriminalitas dan premanisme yang meninggi jadi sebab tidak tertib masyarakat.

6. Sikap bijak yang gagal menyeleksi setiap informasi dan perilaku berkomunikasi yang emosional dan penuh sentimen.

Baik, pengantar di atas adalah bagian refleksi kita agar mulai saat ini bergerak bersama dalam membudayakan membaca pada kehidupan kita pribadi, keluarga, peserta didik maupun masyarakat.

Bicara pembudayaan membaca sebagai solusi, pemerintah atau masyarakat harus memberi ruang lebih besar kepada taman bacaan masyarakat (TBM). Perlu dibuka taman bacaan yang lebih banyak. Harus ada kepedulian terhadap aktivitas membaca dan gerakan literasi yang ada di taman bacaan. Taman bacaan adalah ujung tombak dalam rangka mengkampanyekan tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak dan masyarakat. Apalagi di tengah gempuran era digital. Sebab sekolah sebagai pendidikan formal memiliki keterbatasan pergerakan literasi, yaitu jenjang usia. Bagaimana dengan masyarakat dan orangtua siswa? Apakah sekolah memiliki kapasitas dalam hal mengkampanyekan literasi?

TBM merupakan suatu lembaga atau tempat yang dapat melayani kebutuhan masyarakat akan berbagai hal informasi seperti ilmu pengetahuan dalam bentuk bahan bacaan maupun bahan pustaka lainnya. Secara utuh TBM mampu membangun pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tidak minus informasi. Di Kabupaten Deli Serdang tepatnya di Jalan Balai Desa Dusun II, Desa Denai Lama, Kecamatan Pantai Labu, terdapat sebuah TBM “Lingkaran”. TBM Lingkaran tersebut didirikan oleh Irwanto yang dahulunya merupakan sebuah Sanggar Tari Bernama Lingkaran. Namun, melihat kondisi di desanya yang dahulunya marak hiburan masyarakat yang notabene adalah merusak karakter anak-anak desa, maka pendiri TBM Lingkaran pentolan Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (Umsu) itu merasa resah dengan adanya hiburan erotis yang memicu terputusnya masa depan anak untuk lebih memilih menjadi “Biduan” hiburan yang manohok tersebut. Indikasi yang sangat jelas adalah ketika anak-anak sekolah dasar menjadi kecanduan menghirup lem jenama “kambing” yang mengandung inhalansia (obat hirup) yang dihirup bisa berefek mabuk atau halusinasi. Penurunan karakter pun terjadi.

Pendirian TBM Lingkaran hadir membawa angin segar bagi masyarakat Desa Denai Lama. Berasaskan komunikasi dan sinergitas, TBM ini sudah diberi kepercayaan oleh Direktorat PMPK sebagai tempat dalam kegiatan Magang Literasi tahun 2021. Bagaimana bisa? Sepak terjang TBM ini menggaungkan enam konsep literasi dasar yang dikemas dengan apik dan ciamik. Ketika saya mengikuti kegiatan magang literasi saat ini, saya melihat berbagai praktik baik keenam literasi dasar yang dipraktikkan oleh relawan . Dengan area lahan yang tidak terlalu luas dan berdataran rendah, sungguh TBM Lingkarang menjadi taman mini pendidikan karakter, menurut penulis.

Selain menyediakan bahan bacaan untuk meningkatkan minat dan kebiasaan baca anak-anak dalam pogram kegiatan literasi baca, TBM ini menyediakan berbagai permainana tradisional seperti egrang, bakiak, yeye, congkak, dan ular tangga yang didalam praktiknya melekat karakter seperti kolaborasi, berpikir kritis, bernumerasi, berimajinasi. nSedangkan dalam praktik literasi finansialnya, TBM Lingkaran membuka “Kafe Baca” dalam memberdayakan anak remaja desa untuk mempertajam skill kewirausahaan serta keterampilan berkomunikasi kepada pengunjung. Selain itu, secara tidak langsung juga menyentuh pengunjung kafe agar gemar membaca. Untuk konsep literasi sosial budaya, terdapat pendidikan seni tari dan musik tradisional bangsa, dan panggung teater. Dan tetap memberdayakan pemuda-pemudi setempat dalam melatih anak-anak desa menari, bermain musik, serta berlakon.

Setiap dua pekan sekali, pertunjukan seni ini di gelar. Tujuannya memberikan penghargaan kepada anak-anak sanggar yang sudah lulus dalam mengikuti pelatihan seni dan juga melestarikan keragaman budaya serta meningkatkan motivasi anak-anak dalam mencintai budayanya serta menarik pengunjung kafe agar lebih lama berada di dalamnya. Dan secara perhitungan, pendapatan “Kafe Baca” tersebut bisa dimanfaatkan untuk perawatan sarana prasarana TBM itu sendiri. Digitalisasi pun dimanfaatkan dalam mengundang pengunjung luar desa. Wah, sudah mengacu pada literasi digitalisasi juga, ya? Tentu. Apalagi, ya, yang ada di TBM Lingkaran? Hmm, terdapat homestay ala desa (berbahan bampu dan atap rumbia) untuk menambah kenyaman pengunjung apabila tak ingin pulang dari TBM tersebut.

Sungguh TBM Lingkaran penuh warna praktik literasi. Bagaimana dengan literasi sainsnya? Wah, ternyata mereka juga mengedukasi anak-anak tentang cara pembenihan padi. Seperti makan martabak komplit,ya, berada di TBM ini.

Lima hari magang literasi di TBM ini, penulis begitu banyak mendapatkan pemelajaran yang berharga dalam memajukan program-program literasi di PPPSU (Perkumpulan Pendidik Penulis Sumatra Utara). Ya, penulis berasal dari sebuah organisasi yang concern-nya membidani para pendidik dan siswa, serta mahasiswa dalam hal kepenulisan yang produk akhirnya adalah buku. Sepak terjang PPPSU selama dua tahun lebih terbentuk, sudah menularkan beberapa daerah di Sumatra Utara untuk menulis/ berkarya. Baru-baru ini, PPPSU dipercaya sebagai wadah dalam menyelenggarakan uji sertifikasi penulis buku nonfiksi dari BNSP.

Beranjak dari program literasi di PPPSU, maka penulis sendiri memberikan sebuah gagasan praktik baik literasi baca tulis di TBM Lingkaran yaitu mengajak anak-anak maupun remaja untuk berlatih menulis agar praktik literasi yang telah dikemas sebelumnya menjadi lebih sempurna dan lebih berwarna. Banyak manfaat yang terberi pada anak-anak dari kegiatan menulis yaitu: melatih daya pikir anak untuk berimajinasi, kritis, bertanggung jawab, memecahkan masalah, dan mampu menarik kesimpulan. Selain itu, anak juga terbiasa hidup disiplin dalam menyelesaikan tugas, mampu bertanggung jawab dan minat bacanya pun semakin meningkat. Sebab, keberhasilan dalam menulis seseorang diukur dari intensitas membacanya . Tentunya dengan kegiatan ini lebih menguatkan TBM Lingkaran dalam hal penguatan pendidikan karakter abad 21, dong.

Seiring dengan adanya gagasan penulis dalam hal praktik menulis di TBM Lingkaran, penulis juga ingin mengulas sedikit tentang keinginan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim bahwa semua pendidikan baik formal maupun nonformal melalui berbagai programnya mampu membantu mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Program – program pendidikan karakter sebisanya mengandung konten-konten yang meningkatkan pengalaman nilai-nilai pancasila. Mengapa ini penting? Profil Pelajar Pancasila dimaksudkan untuk menambah kekuatan pendidikan karakter bangsa, menyiapkan generasi masa depan yang unggul dan mampu menjawab tantangan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

Bagaimanakah TBM Lingkaran mampu mewujudkan konten-konten Pancasila dalam praktik literasinya? Ada sebuah praktik baik yang telah penulis lakukan sebelumnya pada anak-anak sekitaran rumah, yaitu dengan mengajak anak mengenal lagu anak maupun lagu nasional kebangsaan Indonesia. Mengapa demikian? Sebab salah satu cara yang efektif selain keteladanan dalam membentuk karakter sesorang adalah menyentuh hati dan perasaannya lewat bernyanyi atau mendengarkan lagu. Ketika anak mendengarkan lagu apalagi hapal liriknya, maka suasasan hatinya terbentuk dan perasaannya terlibat seolah-olah dirinya adalah orang yang ada dalam lirik lagu tersebut. Imajinasi anak terasah dan pengalaman rohaninya juga tercipta. Anak imajinatif adalah anak yang mampu mengasah keaktifannya dalam bertindak. Itulah yang kita harapkan dalam tumbuh kembang anak.

Beranjak dari kegiatan bernyanyi, kita tentu mafhum bahwa saat ini anak-anak lebih cenderung mencintai musik yang tidak sesuai dengan porsi usianya. Kebanyakan lagu zaman sekarang adalah lagu bermakna konotasi negatif. Tenggelamnya lagu-lagu anak–anak tempo dulu yang dijadikan sebagai sebuah sentuhan dalam pendidikan karakter, maka di TBM Lingkaran-lah memperkenalkan dan melestarikan kembali lagu tersebut.

Caranya bagaimana? Setiap hari Minggu ajak anak duduk menonton dan mendengarkan lagu anak, kemudian ajak mereka bernyayi bersama sampai lirik lagu tersebut dikuasai. Tentu perlu waktu. Selanjutnya, ketika anak tersebut mulai merasakan kebahagian dalam menyanyikannya, ajak mereka menelaah makna dari setiap lirik lagu. Giring mereka sampai menemukan karakter apa yang baik untuk ditiru dari lagu tersebut. Apakah kita mau sebagai orang yang ada di lagu tersebut? Atau sebaliknya? Nah, kita bisa juga mengaitkannya dengan kehidupan nyata saat ini dengan membandingkan seseorang yang ada seperti di lagu tersebut. Untuk mangajak anak-anak cinta terhadap bangsa dan negaranya dengan memutar lagu kebangsaan “Lagu Tanah Airku” kemudian, setiap ada hari besar nasional, maka TBM Lingkaran melakukan kegiatan edukatif seperti pentas budaya atau kegiatan lomba menyanyikan lagu anak dan lagu nasional Indonesia sembari mengenalkan aneka kebudayaan bangsa secara sederhana.

Bicara tentang pentas budaya, penulis juga mengharapkan di TBM Lingkaran, setiap sudut tempat baca anak-anak maupun di “Kafe Baca” sebaiknya dihiasai dengan beberapa tokoh pahlawan Indonesia beserta profilnya. Terutama pahlawan yang bergerak di bidang membaca seperti Soekarno Hatta dan BJ. Habibie. Ini akan menambah literasi kewarganegaraan dalam konteks mengagumi pahlawan bangsa. Manis, ya!

Penulis berharap semoga gagasan yang disampaikan bisa membalut warna literasi di TBM Lingkaran dalam praktiknya. Aamiin. Jika pelangi memuat tujuh unsur warna usai hujan turun disiang hari, maka TBM Lingkaran akan menciptakan lebih dari warna-warna pelangi lainnya dalam mengerakkan literasi untuk negeri ini. Cukup, ya, ulasan saya tentang perjalanan mengikuti “Magang Penggiat Literasi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semangat berliterasi, Bun.

07 Jan
Balas



search

New Post