Awan terus berarak. Langit semakin kelabu. Suara gemuruh menghantam telingaku. Kepalaku tak beranjak dari sandaran kursi bambu kuning ini. Mungkin menunggu awan menumpahkan tangisannya dan aku bisa berhenti menatap alam ini.

Terlalu berat untuk kukenang. Sungguh berat. Mengapa kamu harus hadir dalam hidupku kemudian pergi begitu cepat. Mengapa begitu banyak kenangan tentang kita. Kenangan yang kau lukiskan dalam hati dan pikiranku. Memori otak ini tak cukup untuk mengarsipkan semua kenangan indah bersamamu. Aku butuh kamu di sisiku, saat ini dan masa yang akan datang, hadirlah kembali agar aku menua bersamamu. Aku ingin melihat kulitmu yang keriput, gigimu yang ompong, dan rambutmu yang memutih. Makan bersama di alun-alun, tempat kau berkeluh kesah tentang kehidupan. Aku ingin melihat anak kecil berlari memelukmu dan membawakan sepotong roti kismis sembari memanggilmu dengan sebutan “Oma”.

Kau sering bercerita tentang keadilan. Keadilan yang hakiki, yang sejatinya dialami oleh setiap manusia yang menumpang hidup di dunia ini. Kau selalu berbisik usai berjamaah di pertiga malam, kau tidak mau menghabiskan waktu tanpa aku. Kau juga selalu mengibarkan bendera kebahagiaan setiap aku kalah dalam permainan catur. Kau selalu mencoret wajahku dengan kedua bibirmu merahmu setiap aku ketiduran di meja bundar tempat kita berdua merangkai syair. Adilkah ini?

Mengapa kau diam? Kau kaku? Kau tak menampakkan senyummu? Mana keadilan yang kau ucapkan itu? Tuhan……

Bersambung….