Bagaimana jika kukatakan hujan itu rindu? Setuju atau tidaknya itu menurut pribadi masing-masing. Hujan yang enggan pergi karena sang awan yang terus menangis sedari senja tadi berhasil membuatku kembali menuliskan tentang rindu. Pertanyaannya, kenapa sih aku suka sekali menuliskan tentang rindu? Jika kalian mengikuti tulisan-tulisanku sejak awal, ada rindu yang selalu tersemat di dalamnya. Ya, rindu. Tentu saja rindu.

Aku suka sekali menuliskan tentang rindu, aku sendiri juga tak tahu apa maknanya. Yang jelas ia selalu hadir bila ingatanku tiba-tiba melayang pada seseorang. Dan kau pasti setuju dengan pernyataanku kali ini. Seseorang itu tentu saja adalah orang yang amat sangat berarti bagimu. Bisa pasanganmu, orang terspesial, teman bahkan keluargamu.

Untuk rindu, sepatutnya kau berhasil membuatku kehilangan akal. Merana sepanjang waktu bila tiada penahanmu. Seringnya kau selalu datang pada saat senja mulai berlalu hingga penghabisan malam biru. Esoknya dini hari, bukankah kau tahu?

Rindu, mengapa kau tidak bisa dijelaskan dengan ucapan atau rayuan yang khusus diramu? Tersebab apa kau selalu muncul dalam benakku? Jawabannya hanya kau dan aku yang tahu.

Bicara tentang hujan, ia memang sahabatmu, Rindu. Ia pengantarmu. Hujan selalu membawamu masuk ke dalam relungku hingga aku sulit memejamkan mataku.

Hujan yang kali ini mengguyur dan membasahi setiap jiwa yang merindu, membuat aku pilu dan tersedu. Sudah tak terhitung lagi tetesan airmu, Hujan. Mungkin, rinduku sama banyaknya dengan tetesan airmu yang hingga kini enggan berhenti dan berlalu.

Jadi, setujukah kau jika kukatakan hujan itu rindu?

Peraduan, 17 September 2018