Nike Ringgawany

Penyuka rindu, alat musik, especially piano, biola, gitar akustik dan saxophone. Nggak pernah kenyang untuk soal nulis dan baca. Hobi nonton film horor dan dram...

Selengkapnya
Navigasi Web
Panggil Aku Sabda

Panggil Aku Sabda

"Sabdaaa! Sabdaaaa!"

"Iya, Bulek!"

"Kamu ini darimana aja sih? Dipanggilin dari tadi ndak nyahut!"

"Maaf bulek, tadi Sabda disuruh paklek beli rokok. Baru aja sampai dari warung."

"Alah.. kamu ini banyak alasan. Tiap kali dipanggil selalu begini!"

Bulekku marah besar setiap kali aku terlambat datang memenuhi panggilannya. Kadang aku sedih sekali, setiap hari aku tak luput dari kemarahan bulek. Entah sebab apapun itu. Aku hanya bisa pasrah.

"Sabda, minggu depan bulek mau ngadain pesta sunat rasul si Ardi. Kamu boleh ikut duduk nanti ya. Kebetulan kamu kan belum di pestain sunat rasul sama Bapakmu. Ibumu juga sih.. merantau jauh-jauh ke negeri orang juga ndak ada hasilnya! Pusing bulek! Mana kiriman dari ibumu juga belum ada sampai sekarang. Sementara pesta kita udah dekat. Haduuh!"

Bulek tampak pusing, setiap banyak pikiran yang terasa memenuhi kepalanya ia acapkali meletakkan tangannya yang gempal itu di keningnya. Rasanya aku ingin tertawa saja. Gayanya selalu khas. Aku tak sanggup menahan tawa.

"Lha! Ini bocah kok ketawa sih! Nggak ngerti apa bulek lagi pusing?"

"Ya bulek sih.. kalo ndak ada uangnya ngapain Sabda dibuatin pesta juga. Gitu aja kok repot sih bulek...."

"Sabdaaaaaaaa!"

Aku berlari menjauhi bulek, aku yakin ia tidak bisa mengejarku. Badannya yang gempal dan tak tinggi itu membuat dirinya sulit menyusulku. Dan kali ini aku menang.

**

Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku, di bawah rindangnya pohon aku duduk sendirian sambil memegang rumput ilalang yang sengaja aku patahkan. Jika habis, aku mencabutnya kembali. Begitu saja, terus berulang.

Sejujurnya aku ingat ibuku. Sudah lama ia merantau ke negeri seberang. Kata orang negeri itu terus mengalami perputaran uang yang manakala akan dapat menghasilkan jika kita terus bekerja keras. Sama seperti ibu, sudah hampir empat tahun ia meninggalkan aku dan bapak di kampung. Sesekali aku dititipkan dengan bulek jika bapak keluar kota seperti ini. Sudah seminggu ibu diam membisu, tanpa kabar.

"Ah, Ibu.. Sabda rindu." Gumamku dalam hati.

Aku merebahkan tubuhku, mataku sudah tak dapat bekerja sama lagi. Dan aku tertidur di bawah pohon rindang tadi.

Tatkala senja datang, matahari memaparkan warna jingganya. Burung-burung sibuk mengepakkan sayapnya untuk kembali ke sarangnya.

Sejam kemudian.

Aduh.. bagaimana ini? Aku ketiduran. Aku bangkit dan berlari menuju rumah bulekku.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam.... Sabda dari mana saja kamu? Kamu dicariin tuh sama bulekmu dari tadi. Kucel sekali tubuhmu. Ayo mandi dulu."

Paklek yang baik hati, tak pernah marah seperti bulekku. Tiap aku pulang terlambat ia hanya tersenyum. Tak pernah berkata kasar apalagi menyentuh tubuhku.

"Maaf paklek, Sabda ketiduran di bawah pohon ujung sana." Aku menunduk dan menyadari kesalahanku.

**

Setelah mandi dan bersih-bersih tiba saatnya makan malam bersama. Ardi dan Dita, kedua anak bulekku lagi asyik makan dengan lahapnya. Ayam goreng dan sayur lodeh, tak lupa buah-buahan memenuhi meja makan yang dirasa tak pantas lagi untuk digunakan. Terlalu kecil untuk diisi oleh lima orang yang tengah makan bersama.

"Ma, Dita udah ya makannya? Kenyang banget perut Dita." Ujar sepupuku yang paling manis, semanis gula di rumah ini.

"Lho.. lho.. lho.. kok dikit banget makannya, ayo nambah.. mama banyak masak ni.. nanti siapa yang habisin?" Bulek sedikit kecewa, raut wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat.

"Tenang, Ma. Kan ada Ardi. Nanti Ardi yang habisin semua." Ardi menepuk-nepuk dadanya.

Sepupuku yang ini, abangnya Dita. Makannya banyak, dia suka mengisi piringnya dengan nasi hingga membentuk gunung. Belum lagi lauk pauk dan sayur mayurnya. Ah.. aku rasa akan meledak sebentar lagi. Seperti gunung yang hendak erupsi.

"Kamu ndak nambah, Sabda? Ayo diambil lagi nasi dan ayam gorengnya. Siapa yang makan nanti, bantuin tu Ardi ngabisin ya?"

Aku mengangguk. Tetapi, belum sempat aku ambil ayam gorengnya, piringnya keburu ditarik bulek.

"Wes.. jangan makan lagi. Jatahmu udah cukup. Percuma, makan banyak-banyak kamu tetap kurusan kayak lidi."

Aku menunduk. Sementara paklekku menggeleng pelan. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Lalu Ardi, terus melahap ayam gorengnya, sementara aku hanya menahan ludah.

"Nanti, kalau udah siap makan jangan lupa ya diberesin. Bulek udah capek, mau istirahat!"

Ah.. lagi-lagi begini. Setiap ditinggal bapak keluar kota, aku pasti sengsara. Dimarahi selalu seperti pembantu. Sambil menyusun piring, aku teringat ibu lagi. Air mataku menggenang di sudut mata.

"Bu, kapan pulang?" Aku bertanya sendiri di dalam hati. Aku tahu, aku seperti orang gila kalau begini terus. Bertanya tanpa menemukan jawaban yang pasti.

**

Pagi yang cerah, teratak yang telah dihias indah ini menjadi pelengkap pelaminan yang tengah kami duduki. Aku dan Ardi duduk berdua di sebuah bangku panjang empuk yang kayunya dihiasi ornamen ukiran kayu jepara. Bunga-bunga yang berwarna-warni menjadi penghias di sisi bawah pelaminan kami. Pelaminan sederhana, namun indah dipandang mata.

Panas sekali. Selain cuaca yang terang benderang, aku dan Ardi tak biasa memakai baju adat Jawa yang tebal seperti ini. Wajah kami juga dipenuhi dengan bedak yang membuat kami tampak lebih ganteng dari biasanya. Ibu-ibu perwiritan di lingkungan kami melantunkan irama marhaban yang merdu. Aku mengusap mataku. Ada setitik air mata yang jatuh, keluar dari sudut mataku. Di hari yang penting bagiku, ibu tak bisa hadir karena tak dibolehkan pulang oleh atasan tempatnya bekerja. Aku melirik ke arah seorang pria yang biasa kusebut Bapak. Ada binar-binar rasa haru yang terpancar dari wajahnya. Sesekali kulihat ia seperti menyeka sesuatu di dekat matanya. Aku rasa bapak terharu. Atau mungkin juga punya perasaan yang sama denganku. Merindukan ibu.

Sementara, di depan gerbang penyambutan pesta tampak bulek dengan pakaian wah dan riasan yang cantik, berbanding terbalik dengan paklek yang seolah tampak biasa saja. Sederhana.

Setelah marhaban selesai, aku melihat ada sesosok wanita yang memperhatikanku. Ia ibu guruku. Wanita yang gemar memperhatikan murid-muridnya termasuk aku. Lalu ia mendatangiku.

"Wah, Sabda, selamat ya sayang, ibu doakan yang terbaik buat Sabda ya!"

Aku tersenyum senang. Kebetulan, aku juga suka sekali dengan guruku itu. Ia mengajariku dengan sabar. Ia tahu bagaimana menghadapi aku.

Aku lalu turun dari pelaminan, aku lapar. Perutku sudah keroncongan. Aku mendatangi suatu meja panjang dengan berbagai makanan di atasnya. Makanan yang tentu saja jarang sekali aku makan. Setelah mengambil makanan, aku duduk dan makan dengan lahap.

"Kamu lapar sekali ya, Sabda? Kamu belum makan dari pagi?" ujar wanita cantik di belakangku. Aku terkejut, ternyata orang yang menepuk pundakku adalah ibu guruku.

"Ng..iya bu, belum makan dari pagi."

"Ya sudah, makan yang banyak ya?"

"Iya bu." Aku pun mengangguk.

Guruku ini memang paling perhatian. Kata-katanya tadi semakin membuat aku kagum padanya. Setelah makanan yang kuambil tadi masuk seluruhnya ke dalam perutku, aku bergegas mengambil minuman cincau dingin. Ah.. sejuknya.. air cincau dingin mengalir membasahi kerongkonganku.

Musik pun belum menampakkan tanda-tanda akan dimainkan. Aku minta izin kepada guruku untuk mengganti baju. Kulihat Ardi tengah sibuk mengganti baju yang kami pakai tadi dengan baju adat yang lain. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu ruang tamu.

Aku sudah akan bersiap mengganti bajuku. Namun, aku tak menemukan sisa baju yang lain.

"Mbak, baju gantinya ada lagi ndak? Aku mau ganti baju yang sama dengan Ardi."

"Oalah lee.. ndak ada lagi. Cuma itu aja. Itu bulekmu mesennya cuma satu baju yang itu. Yang baju Jawa tadi bulekkmu mesennya dua. Ya.. jadi gimana ini?" ujar wanita muda itu. Kelihatannya ia pemilik baju adat tersebut.

"O.. ya udah mbak, ndak apa-apa. "

Sejujurnya aku sedih. Melihat Ardi yang sudah dua kali berganti baju. Sementara aku, hanya ini. Hanya baju ini yang melekat pada tubuhku. Baju yang dari pagi aku kenakan. Aku bingung, mondar-mandir. Tampak ibu guru memperhatikan aku. Sepertinya ibu guru tahu apa yang sedang aku rasakan.

Ada rasa kecewa yang enggan pergi dari relung hatiku. Kali ini benar-benar memukul jiwaku. Apalagi saat kulihat Ardi sibuk diperkenalkan oleh teman-teman bulek, sementara aku tidak. Ya.. mungkin karena aku bukan anak kandung bulek. Jadi wajar saja jika bulek bersikap demikian.

Bulek, izinkan aku menyampaikan sesuatu padamu.

Bulek, meskipun aku tidak lahir dari rahimmu, aku harap kau tahu, kasih sayangku padamu sama dengan halnya kasih sayangku pada ibu. Bulek sudah kuanggap ibuku sendiri. Terima kasih ya bulek, aku diizinkan duduk di pelaminan bersama Ardi. Meski tak ada baju ganti dan tak diperkenalkan sama sekali. Sabda tetap sayang bulek.

Aku melirik dan menatap lekat bulekku. Ah.. andai saja bulek tahu.

-TAMAT-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post