Aku sadar ini bukan malam lagi. Ia telah beranjak menjadi pagi. Hanya perlu lewat sedetik saja.Aku masih saja menelusuri dan mencari-mencari sosokmu yang enggan datang kali ini. Bahkan bayang-bayang tak menghampiri.

Aku yang masih saja tersesat dalam labirin rindu, terus berjalan menemukan jalan yang hendak dituju. Penuh liku dan rambu. Jalan itu juga dipenuhi duri, tetapi aku tak mau peduli.

Aku masih saja menjajalnya walau tanpa alas kaki. Biar kakiku penuh luka dan bersimbah darah. Biar darahku mewarnai permukaannya. Merahnya darahku hendaknya akan meninggalkan jejak pada labirin ini.

Harapku, jika aku masih terjebak dalam labirin-labirin rindu yang kau ciptakan, kau dapat menemukan aku melalui jejak darahku yang telah mengering, tetapi, aku takut akan hujan, ia pasti akan menghapus jejak-jejakku. Nantinya kau tidak dapat menemukanku. Aku akan terus tersesat di dalamnya karena semakin tak tahu arah menuju pulang ke rumah kita.

Katakan, apa aku harus berhenti atau jalan lagi?

Katakan, apa aku harus kembali tidur dan bermimpi?

Riak-riak rindu masih terdengar sayup di telinga. Ia semakin jauh menyusuri aliran airnya. Sesekali gemericiknya terdengar jelas, karena berbentur dengan bebatuannya.

Jika kau menjadi sumber mata air atau aliran air sekalipun. Izinkan aku untuk tetap menyatu denganmu, izinkan aku untuk selalu menjadi riak-riakmu. Riak-riak rindumu. Riak-riak rindu kita.

Telaga Rindu, 11 Mei 2018