Tersebut kisah yang entah kapan berhenti untuk dituliskan. Suatu kisah di mana kamu adalah objek utamanya. Dia sang penulis diam-diam membaca sikapmu. Dia diam-diam memperhatikanmu. Dalam tiap-tiap aksara yang dituliskan selalu berisikan kata-kata rindu untukmu. Walau hal itu abstrak dan mungkin berakhir semu.

Kamu tidak akan pernah tahu seberapa dalam rindu yang tenggelam dalam samudera perasaannya. Kamu tidak akan pernah mengerti betapa sulitnya ia menghadapi hari. Saat ia harus memposisikan dirinya dalam serat-serat harapan yang tak pasti. Saat ia harus membohongi kamu dan orang lain untuk menutupi semesta rindu yang selalu ia pelihara.

Tentu. Semua itu tentangmu. Tentu kamu mungkin tidak merasakan bagaimana sulitnya ia menuju peraduan. Di mana ketika ia ingin melepas lelahnya dan menutup matanya, wajahmu selalu muncul di depan matanya. Sendu. Itu yang selalu ada pada tiap-tiap malamnya. Sebab, ia merasa rindunya tak bertuan juga tidak beralamatkan. Jadilah ia berair mata tanpa diperintahkan.

Perihal menunggu, ini sudah menjadi makanan utama. Meski demikian, dia selalu memaafkan. Sebab dia tak mau ada kesedihan. Dia tak mau ada kerapuhan. Mungkin dia hanya punya rindu dan kesetiaan yang sejatinya akan selalu dipelihara untukmu.

Meskipun itu hanya tersimpan pada palung samuderanya yang paling dalam.

Dan malam ini, dia hanya bersenandung dengan rindunya sendiri sebab tanpa kata dan penjelasan yang kerap terjadi.

Medan, 16 November 2019