Kadang aku tak percaya. Perjalanan demi perjalanan yang kujalani membawaku sampai pada satu titik. Titik di mana aku seperti tak punya alasan untuk tidak singgah dan menetap ke dalam hatimu. Menerima surat demi surat yang harus aku tanda tangani dengan hatiku.

Ya, istilah "teken hati" itulah yang membuatku semakin percaya bahwa ini bukan sekadar soal menandatangani, tetapi lebih dari itu. Saat aku menyetujui isi surat demi surat yang tercipta, artinya aku bersedia menjalani hari-hari bersamamu. Bersedia menerima segala perubahan-perubahan yang tak terduga dan bersedia menerima segala tawa juga air mata.

Langit biru, awan pun berarak laju. Tak henti-hentinya bibir ini berucap rasa syukur. Kau dan aku tercipta untuk saling menyempurnakan. Walau kadang tak sedikit kerikil-kerikil tajam turut andil mengisi perjalanan yang kita lalui. Kadang, ada rasa inginku menghentikan ini semua. Sebab ada rasa tak siap bila terluka. Ada rasa yang luruh dan bergemuruh di dalam dada. Namun, jika segenap rasa itu datang, memoriku seakan kembali ke masa itu. Kembali ke masa di mana perjalanan kita dimulai. Kembali pada satu komitmen yang pernah saling kita ucapkan dan kita sepakati bersama.

Dengarkan, hari boleh berganti, waktu pun tak sama lagi. Tulislah surat-surat yang lain untukku , bubuhkan tanda tanganmu, aku pun akan turut menandatangani surat itu. Teruslah menuliskan aksara yang tak berhingga dan mari saling menandatangani dengan hati kita.

Medan, 7 Maret 2020