Nike Ringgawany

Penyuka rindu, alat musik, especially piano, biola, gitar akustik dan saxophone. Nggak pernah kenyang untuk soal nulis dan baca. Hobi nonton film horor dan dram...

Selengkapnya
Navigasi Web
The Story of Tabek Patah
Nice view

The Story of Tabek Patah

Dataran tinggi selalu memesona. Nun jauh mata memandang selalu ada cerita yang tiada habisnya. Berfoto adalah cara yang paling cepat dan mudah dalam menceritakan apa dan bagaimana proses kegiatan yang kita lakukan.

Hari itu langit tampak cerah. Kami berangkat dari rumah pukul 10.30 WIB. Tubuh telah dilapisi jaket, sementara kaki dilapisi benda yang mirip sepatu, bisa dikatakan setengahnya sepatu, sebut saja sandal bertali.

Kaos kaki pun seolah tidak menolak menyarungi kaki-kaki kami yang tak tahan akan dinginnya udara di sana.

Jalur yang akan kami lewati adalah jalur atas. Artinya kami awalnya akan melewati sebuah puncak untuk sampai di sana. Puncak Pato namanya. Dengan bermodalkan RX KING yang mulai menua, jalanan mulus nan berliku akhirnya dapat kami lewati dengan sempurna. Alhamdulillah. Rasa syukur yang tiada terkira.

Dinginnya udara dan gerimis lokal berhasil kami tembus demi pemandangan cantik ini. Hingga si gadis kecil lebih sering tidur di perjalanan. Maklum, sejuk sepanjang perjalanan.

Bisa dibilang area ini mirip dengan Berastagi, Sumatera Utara, bedanya di sini ada rumah pohon dan permainan yang ekstrim, seperti naik sepeda di atas satu tali. Dalam hati ingin sekali mencobanya, tapi nyali menjadi ciut ketika melihat ke arah bawah. Alhasil di sana hanya foto-foto saja. Bahkan tidak mampir ke rumah pohonnya karena cuaca tengah tidak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya, tampaknya langit sangat bersedih hingga ia menangis menjatuhkan air matanya, tentu setelah ia puas bermuram durja.

Menyesal selalu datang belakangan ya? Tadinya saya mau pakai celana jeans biru. Tetapi melihat baju yang saya pakai, saya berubah pikiran. Celana jeans yang sudah dikenakan saya buka kembali dan saya ganti dengan baju ini. Saya pikir, hari ini tidak akan hujan, ternyata perkiraan saya salah. Hujan turun dengan derasnya. Ketika saya dan keluarga berteduh, percikan air bercampur tanah menghujani baju yang saya kenakan. Dan baju saya menjadi "cantik jelita" karena percikannya. Ah.. andai saja si celana jeans tadi yang saya pakai, tentu tidak begini jadinya.

Karena kesal, akhirnya saya memilih berteduh di warung. Sendirian. Sementara si gadis kecil bersama papa dan dua saudara lainnya masih berteduh di tempat semula. Awalnya saya sudah mengajak mereka, tetapi Papa Caca menolak dengan alasan penuh dan pasti tidak dapat tempat duduk. Tetapi, jika saya bertahan di tempat semula, bisa-bisa baju saya akan bertambah sangat "cantik" karena percikan-percikan tadi.

Dengan percaya diri saya melangkah menembus hujan menuju sebuah warung yang memang tampak ramai. Setelah tiba di sana, benar saja, warung penuh, saya cuma bisa mematung di tepian warung yang sesak dengan wisatawan domestik dari berbagai daerah, salah satunya dari Jakarta.

Entah, saya sering sekali menemukan orang-orang yang berasal dari Jakarta di daerah Sumatera Barat ini. Kata suami, orang Sumatera Barat memang perantau sejati. Apalagi merantau ke ibukota. Tak heran banyak perantau dari sana yang pasti memadati kampung halaman mereka di propinsi ini jika sudah tiba hari lebaran / Idul Fitri. Mereka membawa anak hingga sanak saudara untuk kembali berkumpul dengan saudara di kampung dan bernostalgia dengan alam di sini. Dan kampung pun rata-rata dipenuhi dengan perantau asal Jakarta.

Cukup lama saya merenungi nasib di bawah lindungan atap warung. Lumayan, baju terselamatkan. Akhirnya saya nekat masuk dan berdiri dengan tas ransel serta helm yang masih terpasang di kepala. Melihat saya berdiri di tengah keramaian, pemilik warung akhirnya mengambilkan saya tempat duduk, dan akhirnya duduklah saya, kebetulan ada seorang lelaki yang segera menyingkir dari tempat duduknya, bukan karena kasihan melihat saya kesempitan, namun karena ia ternyata sudah selesai menyeruput teh talua, minuman khas di daerah Sumatera Barat. Minuman ini wajib ada di setiap warung tradisional maupun restoran (rumah makan Minang). Sekadar info, teh ini terbuat dari teh yang dicampur dengan telur ayam atau telur bebek. Lalu dicampur susu dan gula, lalu dikocok hingga berbusa. Nikmat? Saya rasa iya ya? Saya juga belum pernah mencobanya.

Hujan deras akhirnya perlahan gerimis. Saya memanggil mereka untuk duduk sekadar ngopi dan makan mie. Perut saya sudah keroncongan, saya memesan pop mie. Padahal ada menu makan rumah khas Sumatera Barat di sini. Saya lapar tingkat dewa. Ditambah cuaca dingin dan hujan, rasanya akan sesuai bila saya minum teh dan makan pop mie panas saja, tidak dengan nasi dengan dan lauk pauknya. Sementara pak suami hanya minum kopi hitam saja. Dua lainnya tidak mau makan atau minum.

Perjalanan ini sangat singkat karena kami harus melanjutkan perjalanan ke danau Singkarak.

Selamat tinggal Tabek Patah. Kau meninggalkan berjuta cerita dan kenangan di hatiku dan hati mereka. Semoga kita bertemu lagi di lain kesempatan. Aamiin. 😊

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post