Edukasi untuk Orangtua/Wali
Edukasi untuk Orangtua/Wali
Kalau orang tua silaturahmi, jelas sebuah kemajuan. Maka tak heran saat aku didatangi sepasang suami istri aku bahagia sekali.
Keduanya adalah pendidik, seperti diriku kini. Setelah berbasa basi tibalah tujuan mereka datang ke rumah, sore hari. Putrinya mendadak tak mau sekolah setelah pulang siang tadi. Setelah dibujuk untuk bercerita orang tua lalu menyimpulkan kalau anaknya keberatan dia duduk dengan cara dipasangkan. Setelah orang tua mengetahui siapa yang meminta sang putri duduk sebangku dengan seorang siswa yang tak disukai giliran orangtua yang mencoba mencari sokusi. Mendatangi rumah guru dianggap solusi.
Sebagai wali kelasnya aku sambut gembira, usulan agar anaknya tak disandingkan dengan siswa yang dianggap tak disuka. Namun bagiku, yang sudah 17 tahun jadi guru tidaklah begitu saja menuruti permintaan pasangan tersebut.
Kutanya baik-baik apa yang menjadi pasal putri mereka tak suka duduk dengan temannya yang kupasangkan siangnya. Mereka mengatakan beberapa sifat rekan putrinya yang kuyakin juga tak disuka banyak orang.
Sebagai guru yang mengusung tugas mengajarkan karakter aku tak begitu saja menuruti kemauan orangtua. Kusampaikan pada mereka bahwa setting tempat duduk yang kubuat bukanlah settingan selamanya. Suatu saat anak tersebut akan berpasangan dengan rekan lain.
Tanpa diduga sang bapa berkata bahwa anaknya sering mengeluh ketidakcocokannya dengan sebagian besar siswa. Tentu saja aku semakin curiga. Dari 40 siswa hanya dua yang disebutkan sang bapak yang dianggap bisa sehati sejiwa dan putrinya.
Setelah kukorek segala hal yang kuperlukan aku berjanji akan mempelajarinya. Jelas dong, kan aku jadi wali kelasnya baru dua minggu, maka tak elok rasanya bila aku langsung memutuskan mengubah segalanya hanya ataa permintaan satu dua anak saja.
Hari berikutnya seksi absensi di kelas mengatakan sang putri si bapak yang tempo hari datang ke rumah tak ada di kelas. Hari berikutnya begitu juga. Lalu haroi ketiga pun tiba. Saat itu settingan tempat duduk sudah berubah namun sang putri duduk berdekatan dengan teman yang konon tak disukanya. Walau tak satu bangku sang putri siwaku itu tampak tak nyaman.
Tak habis pikir, sorenya sang ibu si putri datang kembali, Kali ini hanya sendiri. Dengan menghiba dia memohon agar putrinya dipindahlan duduk TIDAK DENGAN rekan yang tak disuka putrinya. Aku sampai ternganga dibuatnya. Orangtua itu begitu reaktif dengan apa yang dialami putrinya.
Sedikit emsoi aku katakan bahwa sebagai guru yang bertanggung jawab terhadap perbaikan perilaku siswa aku walasnya tak bisa terima begitu saja usul dan saran yang penuh tekanan. Wali kelas sepertiku butuh waktu untuk mempelajari segala sesuatu sebelum memutuskan mengubah pola ini itu.
Kuberi logika sederhana, bila sang putri tak mau sekolah dengan ketidaknyamanan yang dirasakan, bagaimana dia menghadapi kerasnya kehidupan. Tidak semua yang kita inginkan akan hadir seperti impian, bukan? Andai pun ada yang tidak kita suka, mengapa tidak diri kita yang belajar menyesuaikan diri.
Sang ibu tak serta merta paham maksudku. Bahkan dengan sedikit mengancam dia mengirimkan pesan di Hpku kemudian bahwa anaknya kaan dipindahkan bila tak ada perubahan.
Aku termenung. Sampai sejauh itulah orangtua harus membela dan memanjakan anaknya? Aku rasa ada yang slaah dengan sikapnya itu. Aku lalu berdiskusi dengan rekan guru BK untuk meminta tanggapannya.
Salah satu solusi yang diberi adalah mempelajari situasi dan kondisi kelas di mana aku jadi wali kelasnya. Dia membantu dengan sering memasuki kelasku, terutama bila ada guru yang berhalangan hadir, untuk sekadar melihat dan mempelajari kemungkinan solusi yang bisa kuambil nanti.
Sebelum ide dan gagasannya disampaikan tetiba da kabar bahwa sang putri mau minta surat pindah. Aku tak heran, karena sebelumnya sang ibu sudah pernah menyampaikan. Yang aku heran, mengapa orangtua tak sabaran, memberi kesempatan pada gurunya di sekolah untuk mengambil tindakan yang dianggap diperlukan untuk memecahkan masalah ketidakcocokan di antara siswa.
Beberapa hari kemudian aku diajak berdiskusi oleh rekan guru BK. Dia menceritakan bahwa pagi hari dia menemukan sang siswa berdiri di depan pintu gerbang. Dengan ragu sang siswa ternyata berniat mencabut keputusannya meminta kepindahan. Menurutnya sang Ibu sedang berada di dalam ruang TU untuk sebuah urusan. Rekan guru BK pun membenarkan bahwa ide kepindahan akhirnya tidak diteruskan. Sang orangtua sudah mengubah keputusan. Walau tak langsung disampaikannya padaku sebagai wali kelas, karena mungkin malu, sang orang tua menyampaikannya kepada pegawai TU di hadapan guru BK, rekanku.
Lega ....
Satu masalah sudah terpecah.
Masalah berikutnya adalah bagaimana membuat sang siswa nyaman kembali berada di kelas, setelah sebelumya sebagian siswa menganggap dia benar-benar akan pindah sekolah.
Setelah sekian kali pertemuan, kuberi sekian treatmen yang disarankan guru BK. Alhasil ada perkembangan menggembirakan. Sang siswa mulai mau terbuka untuk bercerita. Bahwa apa yang dia rasakan sebenarnya dirasakan oleh sebagian besar siswa, terutama perempuan.
Siswa yang dia tak suka sebenarnya juga tidak disuka oleh yanng lainnya. Lalu dia ceritakan apa yang sering terjadi baik saat itu maupun dulu.
Aku paham. Aku pun mengiyakan sebagian hal. Yang kutahu siswa yang dibicarakan memiliki karakter yang agak berbeda dari siswa kebanyakan. Kebiasaannya yang ‘bossy’ membuat suasana pelajaran di kelas pun kadang tidak nyaman.
Aku mencoba mendekatinya. Aku berikan waktu untuk ‘menariknya’ agar dia mau terbuka. Dan ....
Suatu saat dia bercerita panjang lebar tentang keluarganya. Bukan hanya itu, dia pun bercerita ketidaknyamanannya atas masalah keluarga yang mempengaruhi cara dia bersikap kepada teman di kelasnya.
Aha, sekarang aku paham mengapa dia berlaku demikian. Aku pun menasihatinya untuk bisa menerima segala yang terjadi di keluarga. Kekecewaannya terhadap realita tak mengenakkan atas hubungan orangtuanya harus perlahan tapi pasti dihilangkan, diganti dengan keberterimaan, keikhlasan. Dia harus mampu menhadapinya dengan ikhlas.
Satu masalah ternyata tak berdiri sendiri. Diperlukan kepiawaian dalam mencari solusi dari benang kusut ini. Dan aku sungguh berterima kasih pada rekan guru BK yang dengan sabar mengajariku bagaimana menghadapi siswa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
tahun ajaran baru siswa itu datang awal cari tempat duduk bun
Ni bukan d SD
Masalah tempat duduk baiknya diroling setiap sebulan sekali dan diberikan edukasi bahwa mereka adalah teman dan harus bersosialisasi satu sama lain
That's what I'm thinking
Setuju pak mulya bu, agar anak dapat bersosialisasi dengan teman mereka. Tidak inklusif.
Yup