Nining Suryaningsih

Guru Bahasa Inggris SMP di Bandung Barat ini tak pernah merasa bisa menulis, sampai akhirnya MediaGuru mendongkrak rasa percaya dirinya untuk menghasilkan karya...

Selengkapnya
Navigasi Web
HANYA DITOLAK, bukan DITALAK

HANYA DITOLAK, bukan DITALAK

Tiupan angin menyibakkan rambut hitam sebahunya. Dia kibaskan rambut yang menutup mukanya yang bersih dan segar. Setelah berjalan melewati koridor ruangan jurusan Ekonomi sampailah dia di sudut taman, dekat perpustakaan pusat. Sudah ada dua pemuda menunggu. Sesuai kesepakatan dia mau diajak ngobrol kalau sang pemuda tak sendiri.

"Duduk di sini aja, Ran," kata Henhen membuka percakapan, sesaat setelah dilihatnya sang gadis yang dinanti tampak kebingungan memilih tempat duduk yang nyaman.

"Azhar gak usah pergi ya,” pinta Ranti pada rekan Henhen yang tampak hendak beranjak menjauh.

Yang disebut malah memeletkan lidahnya, lalu beringsut sedikit tanpa mengalihkan perhatiannya dari HP. Ia pun lalu memasang headset.

Henhen tersenyum lalu mengangguk dan mengacungkan jempol pada Azhar. Namun tampak Henhen jadi kikuk saat Ranti menoleh padanya.

Setelah Ranti duduk Henhen langsung memberondongnya dengan pertanyaan yang sudah diprediksi Ranti.

"Jadi gimana, diterima gak? Atau ada yang harus aku lakukan agar kamu terima aku? Sampaikan saja, jangan ragu," ujarnya menggebu.

Ranti tampak resah dengan semua pertanyaan Henhen. Namun dia berusaha mencari kata terbaik agar Henhen yang dikenal sangat halus perasaannya tidak lantas membencinya gara-gara apa yang dia kemukakan nanti.

"Kalau boleh aku tau, kenapa sama aku? Banyak lho cewek lain yang ngarep jadian ama kamu. Apa kamu gak tau? Kalo gak tau ntar aku kasih tau," ucap Ranti sambil bercanda.

"Ntahlah, Ran. Makin lama kenal kamu aku makin merasa nyaman. Kamu orang yang paling bersemangat yang pernah kutemui. Senang sekali kalo rasanya kalo bisa temani aku terus, seperti saat-saat kita dulu ke pasar untuk cari barang-barang yang ditugaskan saat OPSPEK, atau ke perpustakaan untuk sama-sama mengerjakan tugas," tak disangka Henhen menjawab panjang lebar.

"Duh, gimana ya. Aku ini gak bisa diem. Gak bisa juga manjain kayak cewek lain. Aku kan sibuk les sana les sini. Aku khawatir gak punya waktu cukup untuk nemenin kamu," ujar Ranti sambil memandang ke arah jalan besar, tempat lalu lalang mahasiswa yang hendak ke jurusan Teknik Elektro.

Henhen menatap Ranti penuh harap. Ranti gadis sibuk, setiap waktunya sepertinya padat dengan kegiatan. Selain jadi mahasiswa dia juga mengajar di beberapa les-lesan. Pembawaannya yang ceria, easy going, dan humoris sering bikin Henhen merasa nyaman berada di dekatnya. Itu sebabnya Henhen memberanikan diri menembak Ranti beberapa hari lalu, di perpustakaan. Waktu itu mereka sedang berkumpul menunggu jam perkuliahan siang. Ranti tak langsung memberi jawaban. Dia hanya meminta Henhen memberi dia waktu untuk berpikir. Karena sudah seminggu berlalu, Henhen jadi penasaran. Henhen pun meminta waktu Ranti yang super sibuk itu untuk ngobrol di taman depan perpustakaan, tempat yang mungkin akan disukai Ranti. Begitu pikir Henhen.

Ranti tak suka nongkrong di cafe atau jalan-jalan di mall. Ranti bukan gadis penyuka belanja. Maka sulit untuk Henhen mengajaknya ketemuan dan ngobrol d tempat-tempat umumnya orang mengungkapkan perasaan terdalamnya.

Walau pelan tapi pasti Henhen merasakan penolakan. Terutama saat Ranti mengungkapkan bahwa dirinya punya prinsip "Tak akan pacaran bila tak berencana menikah". Henhen malah balik ditembak, "Emang mau ngajak aku nikah cepat? Gak kan?" tanya Ranti dengan lembut namun tegas.

Henhen hanya terseyum. Walau dia harus menerima kenyataan tak mengenakkan, namun cara Ranti yang begitu elegan mengalahkan rasa kecewa yang wajar ada.

“OK, aku harus akui kamu emang gak bisa disamakan dengan yang lain. Itu justru membuatku makin sayang sama kamu. Kita mungkin belum ditakdirkan bersama. Tapi izinkan aku kasih ini sama kamu. Aku tahu kamu tipe cewek yang keki sama yang suka kasih-kasih barang ke kamu. Tapi please terima ini,” ucap Henhen sambil menyodorkan satu pak besar coklat.

Ranti membelalakkan mata, tak percaya.

“Kamu kok repot-repot gitu? Aku gak enak nerimanya nih,” Ranti sedikit merengut.

“Please, Ran. Aku sudah melepaskanmu, aku tidak memaksamu jadian sama aku sekarang. Tolong terima ini, ya. Anggap saja sebagai tanda persahabatan. Mau ya, Ran?” tanya Henhen sambil menatap Ranti penuh harap.

Ranti pun mengambil coklat itu lalu memasukkannya ke dalam tas setelah sebelumnya mengucap terima kasih.

Henhen pun menatapnya menjauh setelah Ranti berpamitan karena ada jadwal les.

Henhen belajar menerima, sekaligus belajar melepaskan harapan ....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Weey, jadi serasa anak muda neeh! Keren!

17 Jan
Balas

Ihihi, nostalgia ya

19 Jan

Wowwww, Henhen yang luar biasa, bisa mengungkapkan dan melepaskan itu sulit loh. Sukses selalu dan barakallah

15 Jan
Balas

Yg g sulit itu melepas sepatu ya Bu. Hehehe. Btw, thanks ya dah ngomen

15 Jan

Kayaknya Hengen gak doyan coklat ya Bun.. hehehe.. sukses selalu bunda

15 Jan
Balas

Yg g doyan Ranti. Hihihi ....

15 Jan



search

New Post